Tashfiyah
Tashfiyah

kumpulan fatwa salat di pesawat

8 tahun yang lalu
baca 5 menit
Kumpulan Fatwa Salat di Pesawat

Soal:

Apabila saya sedang safar menggunakan pesawat terbang, kemudian tiba waktu salat, apakah boleh bagi saya salat di dalam pesawat?

Jawab:

Apabila tiba waktu salat, sementara pesawat masih di udara dan khawatir terlewatkan waktu salat sebelum mendarat di bandara, maka ulama sepakat wajibnya melaksanakan salat sebatas kemampuan, baik dalam rukuk, sujud, dan menghadap kiblat. Berdasarkan firman Allah subhanahu wataa’la yang artinya, “Maka bertakwalah kalian kepada Allah sebatas kemampuan kalian.” [Q.S. At Taghabun:16]. Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Apabila aku perintahkan kalian dengan sebuah perkara, maka kerjakanlah sebatas kemampuan kalian.“ [H.R. Al Bukhari dan Muslim]. Apabila ia tahu jadwal mendarat sebelum keluarnya waktu salat dalam kadar waktu cukup melaksanakan salat tersebut, atau salat tersebut bisa dijamak dengan salat lain, misalnya salat Zhuhur dengan Ashar, atau salat Maghrib dengan Isya’, ia juga tahu bahwa pendaratan sebelum keluar waktu salat yang kedua sebatas kadar waktu cukup untuk melakukan dua salat tersebut, maka jumhur ulama berpendapat bolehnya tetap salat di pesawat. Berdasarkan adanya perintah melaksanakan salat ketika masuk waktunya sebatas kemampuan, sebagaimana telah disebutkan. Inilah pendapat yang benar. Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

[Soal pertama fatwa no 145 Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’].

 


Soal kedua fatwa no 6275: Seorang musafir melaksanakan salat di dalam pesawat atau perahu, tidak mendapat air, tidak bisa pula bertayamum. Ketika masuk waktu salat, sementara ia juga tidak mengetahui kiblat, bolehkah baginya melaksanakan salat, bagaimana pun keadaannya dan ke mana pun menghadap?

Jawab: Apabila tiba waktu salat sementara masih di dalam pesawat, atau perahu, maka wajib bagi muslimin untuk salat pada waktunya sesuai keadaan dan kemampuanya. Apabila ada air maka wajib berwudhu. Apabila ada air, namun tidak mampu mengunakannya maka bertayamum, apabila ada tanah atau semacamnya. Apabila tidak ada air atau tanah, atau yang bisa menggantikan tanah, maka gugur darinya kewajiban thaharah dan salat dalam keadaan apapun. Berdasarkan firman Allah l yang artinya, “Maka bertakwalah kalian kepada Allah sebatas kemampuan kalian.” [Q.S. At Taghabun:16]. Saat memulai salat harus menghadap kiblat, selanjutnya mengikuti kemana pun pesawat mengarah (tidak harus selalu mengarah ke kiblat apabila di tengah salatnya pesawat tersebut berbelok arah, red). Ini dalam salat wajib, dikerjakan semaksimal kemampuan. Adapun salat sunah bisa dikerjakan ke arah mana pun pesawat berjalan. Karena Nabi ` pernah dalam safar beliau mengerjakan salat sunah di atas tunggangan beliau, dan mengarah kemana pun kendaraan itu mengarah. Dan telah shahih pula dari hadisnya Anas bin Malik z yang menunjukkan disyariatkannya menghadap kiblat saat memulai salat (takbiratul ihram) ketika salat sunah dalam safar. Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. [Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’].

 


Soal ketujuh fatwa no 12087: Apakah boleh salat di dalam pesawat dengan duduk, padahal mampu berdiri karena malu?

Jawab: Tidak boleh salat dengan duduk di pesawat ataupun selainnya apabila mampu berdiri. Berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya, “Dan berdirilah kalian untuk Allah dalam keadaan tenang.” [Q.S. Al Baqarah: 238]. Juga hadis Imran bin Hushain z dalam Shahih Al Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya yang artinya, “Salatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka sambil duduk, apabila tidak mampu maka sambil berbaring pada sisi tubuhnya.” An Nasai menambahkan dalam riwayatnya, “Apabila tidak mampu maka dengan tidur terlentang.” [H.R. Ahmad, Al Bukhari].
Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. [Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’].

 


Soal keempat fatwa no 5156: Apabila seseorang melakukan safar menggunakan pesawat dengan jarak yang jauh, namun bisa ditempuh dalam waktu dua jam atau kurang, apakah musafir ini meng-qashar (meringkas) salat, boleh tidak puasa saat Ramadhan atau tidak? Demikian pula seorang yang safar dengan menggunakan mobil sejarak 200 mil atau lebih ditempuh dalam dua setengah jam misalnya, kemudian sore harinya pulang ke rumah, lalu ia mengqashar salat. Dan berdalil dengan hadis, “Ini adalah hadiah dari Allah. Maka terimalah hadiah-Nya.” Apakah qashar ini boleh, atau tidak boleh kecuali apabila perjalanan itu berat, dan melelahkan?

Jawab: Meng-qashar salat dalam jarak safar yang disebutkan adalah sunah. Demikian pula tidak puasa pada keadaan itu adalah rukhsah (keringanan) untuk musafir. Baik ia tempuh dalam waktu yang lama atau sebentar, satu jam atau kurang atau lebih. Sama saja apakah ia merasa berat dalam safar tersebut atau tidak. Karena safar itu sendiri adalah sesuatu yang berat, walaupun tidak didapatkan kesusahan itu saat melakukannya. Dan ini termasuk keutamaan Allah subhanahu wata’ala dan kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya.
Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. [Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’].

 


Soal kedua fatwa no 15904: Seseorang melakukan safar ke luar negeri. Saat ingin kembali ke negaranya, ketika tidur di malam itu ia mimpi basah (ihtilam). Waktu itu ia menginap di rumah salah seorang temannya. Sementara udara di negara tersebut sangat dingin, hingga ia tidak mampu mandi. Jadwal penerbangan juga mendekati waktu salat subuh. Kemudian naik pesawat, dan saat sampai negaranya (mendarat) menjelang terbitnya matahari. Maka ia segera berwudhu (tanpa mandi junub) karena khawatir waktu salat Shubuh habis. Ia masih dalam keadaan junub. Dan ia saat itu juga masih sebagai musafir, untuk melanjutkan penerbangan ke negara kedua pada waktu itu juga. (waktu transit sangat sempit, red). Pertanyaannya adalah apakah salat tanpa mandi itu boleh, atau ia harus mengulanginya? Pada keadaan seperti itu, apa yang harus dia kerjakan, mohon penjelasan berserta beberapa kemungkinan akibat dari keadaan semacam ini. Di akhir surat ini, saya ucapkan terima kasih atas usaha keras yang telah Anda sekalian lakukan untuk membalas dan menjawab surat-surat pertanyaan kaum muslimin. Semoga Allah membalas Anda sekalian atas kebaikan kepada kami, beribu kebaikan, dan selalu menjaga Anda sekalian. Terima kasih.

Jawab: Orang ini wajib mengulangi salat. Karena ia salat dalam keadaan hadas besar dan belum mandi.
Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. [Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyati Wal Ifta’].