Tashfiyah
Tashfiyah

kisah ashabul ukhdud

6 tahun yang lalu
baca 8 menit
Kisah Ashabul Ukhdud

Ashabul ukhdud adalah kaum yang dilaknat oleh Allah. Mereka adalah sekelompok kaum yang membuat parit di jalan-jalan kota kala itu, kemudian mereka nyalakan api yang besar didalamnya. Dengan api inilah mereka memaksa orang-orang yang beriman untuk kembali kepada agama mereka semula, agama yang menjadikan makhluk sebagai sesembahan selain Allah. Setiap orang yang beriman kepada Allah dan mengingkari peribadahan kepada selain-Nya, mereka lemparkan kedalam api, sebagaimana Allah kisahkan dalam ayat-Nya,

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ * النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ * إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ * وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ * وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [Q.S. Al Buruj:4-9].

Tiba giliran seorang ibu yang sedang menggendong bayi mungil. Wanita itu dipaksa untuk memilih antara dua pilihan. Ia masuk kedalam api tersebut dalam keadaan beriman kepada Allah ataukah jiwanya selamat namun dia harus kembali kepada kekafiran. Demi melihat kobaran api yang menyala, timbul dari dalam dirinya keraguan dan rasa takut untuk tetap berada dalam keimanan. Ia tidak tega melihat keadaan anaknya yang dalam gendongannya. Apakah jiwa yang masih suci ini harus mati bersamanya. Allah pun memberikan kemampuan kepada bayi tersebut untuk berbicara. Bayi itupun berkata, ”wahai ibuku! Bersabarlah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran”. Tatkala mendengar perkataan bayi tersebut, bulatlah tekadnya untuk masuk ke dalam kobaran api mempertahankan keimanannya.
Memang, telah menjadi ketetapan Allah, bahwa sebagian manusia akan menjadi musuh bagi sebagian lainnya. Tatkala ada yang membela kebenaran, ada pula orang yang menjadi pembela kebatilan. Demikian pula ketika Allah mengutus para Rasul dan para Nabi, dengan hikmah dan keadilan-Nya, Ia ciptakan musuh-musuh yang gigih menentang mereka. Ketetapan Allah ini akan berlaku pula kepada para pengikut mereka, supaya jelas siapakah yang jujur dan siapakah yang dusta dalam pengakuan keimanannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya,

الم * أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Alif lam mim. Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengaku ‘kami beriman’ sedang mereka tidak diuji. Sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka sehingga Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah yang berdusta.” [Q.S. Al Ankabut:1-3].
Kisah kekejian yang luar biasa ini bermula dari seorang pemuda yang diutus oleh raja untuk belajar ilmu sihir kepada tukang sihir istana. Ia diharapkan akan dapat menggantikan tugas tukang sihir tersebut setelah kematiannya. Pemuda tersebut tinggal pada suatu kampung yang berbeda dengan tempat tukang sihir tersebut berada. Di tengah perjalanan antara kampung dan tempat tukang sihir berada, tinggallah seorang Rahib yang beriman kepada Allah. Ia hidup mengasingkan diri dari masyarakat yang telah rusak agamanya karena menjadikan raja mereka sebagai sesembahan.
Singkat kata setiap kali pemuda tersebut melewati tempat rahib ini, ia tertarik mendengar ajaran-ajaran yang dianut rahib tersebut. Mulailah ia singgah untuk menimba ilmu yang dibawa oleh sang Rahib. Tiap kali berangkat dan pulang dari belajar sihir, ia menyempatkan diri untuk belajar kepada rahib. Ia pun mempelajari dua ilmu yang tidak akan bersatu, ilmu sihir dan ilmu agama.
Suatu ketika, pemuda tersebut melihat binatang besar yang menghalangi perjalanan manusia. Maka timbullah keinginan dalam pikiran pemuda tersebut untuk menguji manakah ajaran yang lebih utama, ajaran rahib ataukah tukang sihir. Berdoalah ia kepada Allah, “Ya Allah, jika engkau lebih mencintai apa yang dibawa oleh rahib dari pada apa yang dibawa oleh tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia bisa bebas dari gangguannya.” Ia pun melempar binatang tersebut dengan batu yang mengakibatkan binatang itu mati seketika. Yakinlah si pemuda tentang keutamaan dan kebenaran ajaran sang rahib.
Waktu terus berlalu, si pemuda menjadi terkenal sebagai orang yang mahir mengobati orang yang buta, sakit belang, dan penyakit lainnya. Suatu ketika datanglah seorang pejabat dekat raja. Dengan membawa hadiah yang banyak ia datang untuk minta disembuhkan dari kebutaan yang dideritanya. Pejabat itu mengatakan, “Hadiah-hadiah yang aku bawa ini kuberikan kepadamu jika engkau dapat menyembuhkanku.”Si Pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan, apabila engkau beriman kepada Allah aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkanmu.” Maka pejabat itu pun beriman kepada Allah, kemudian Allah menyembuhkan sakitnya.
Pulanglah sang pejabat kerumahnya dan kembali duduk bermajelis bersama raja. Demi melihat kesembuhan pejabat tersebut, heranlah raja. Ia bertanya, “Siapakah yang menyembuhkan penglihatanmu?” Sang Pejabat berkata, “Rabbku.” Mendengar jawaban tersebut murkalah sang raja, dengan marah ia mengatakan, “Apakah kamu mempunyai Rabb selain aku?” Sang pejabat menjawab, “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.” Seketika itu pula ia disiksa dan terus disiksa sampai akhirnya ia menunjukkan keberadaan si pemuda.
Dicarilah si pemuda tersebut, kemudian ditangkap dan dihadapkan kepada Raja. Raja mulai bertanya kepada si pemuda, ia tahu bahwa pemuda inilah orang yang ia utus untuk belajar kepada tukang sihir. Dengan nada lembut ia bertanya, “wahai anakku, sungguh sihirmu itu telah mencapai tingkatan untuk dapat menyembuhkan kebutaan, sakit belang dan lainnya.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan.” Maka pemuda inipun disiksa sebagaimana sang pejabat sampai akhirnya si pemuda menunjukkan keberadaan sang rahib.
Ditangkaplah sang rahib dan dipaksa untuk kembali kepada agama sang raja. Maka sang rahib ini menolak dan memilih tetap berada di atas agama Allah. Ia enggan untuk menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Allah. maka sang raja membunuh sang rahib yang beriman ini dengan cara yang keji. Dengan angkara murka sang raja menggergajinya sehingga terbelah menjadi dua bagian. Tidak berbeda pula nasib sang pejabat, ia pun dibunuh dengan digergaji menjadi dua bagian, semoga Allah membalasi keteguhan iman mereka dengan surga.
Adapun nasib si pemuda, berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Sang raja menginginkan agar pemuda tersebut dibunuh dengan cara yang berbeda. Ia dibawa ke suatu gunung kemudian dilemparkan dari puncaknya. Akan tetapi, Allah menyelamatkannya dari percobaan pembunuhan ini. Usaha ini dilakukan beberapa kali dengan cara yang berbada. Setiap mereka ingin membunuhnya, si pemuda selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Maka Allah pun menyelamatkannya sehingga terbebas dari makar pembunuhan itu dan kembali kepada raja dalam keadaan selamat. Raja pun merasa bingung mencari cara menghabisi si pemuda tersebut.
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya si pemuda memberitahukan kepada raja cara membunuh dirinya, ia berkata kepada raja, “Engkau tidak akan bisa membunuhku sampai engkau melakukan apa yang aku perintahkan”. Kumpulkan manusia dalam satu tempat yang luas, saliblah aku pada batang pohon, lalu ambillah anak panah dari tempat anak panahku, kemudian katakanlah ‘Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini dan panahlah aku dengannya.” Sang raja pun melakukan perintah si pemuda. Ia menginginkan untuk segera menghabisinya. Pemuda itu ibarat duri dalam daging, penghalang yang harus segera dimusnahkan. Raja tidak mengetahui rencana Allah yang Maha Mengetahui. Dikumpulkanlah manusia pada suatu tempat, ia ambil anak panah dari tempat anak panah si pemuda, kemudian ia panah si pemuda sembari mengatakan, “Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini.” Anak panah melesat tepat mengenai pelipis si pemuda. Dengan izin Allah matilah pemuda itu di tangan raja.
Namun tanpa diduga oleh raja, rakyat yang menyaksikan peristiwa ini pun serta merta beriman kepada Allah. Mereka mengatakan, “Kami beriman dengan Rabb anak ini, kami beriman dengan Rabb anak ini.”
Telah datang waktunya kebenaran menyusup ke dalam relung hati rakyat. Tatkala keimanan telah menancap kokoh dalam hati, ia laksana batu karang yang tidak hancur diterpa gelombang. Demi melihat peristiwa ini, murkalah sang raja. Ia perintahkan pengikutnya untuk membuat parit-parit di setiap ujung jalan. Kemudian dinyalakan api di dalamnya. Sang raja memerintahkan pengikutnya untuk membunuh siapa saja yang tetap berada dalam keimanan kepada Allah. Satu persatu mereka digiring dan dibawa ke parit tersebut, menemui ajal dengan mendapatkan keridhaan Allah.
Demikian sepenggal kisah dari orang-orang terdahulu yang beriman kepada Allah. Dalam kitab-Nya yang mulia, Allah banyak mengisahkan perjalanan hidup hamba-hamba-Nya. Sebagian mereka menentang, adapula yang tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Allah menjadikan kisah-kisah ini sebagai pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengikuti kebenaran walaupun beresiko harus mendapatkan penentangan manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sungguh dalam kisah mereka ada pelajaran bagi orang-orang yang berakal, bukanlah (Al Qur’an ini) sebagai ucapan yang diada-adakanakan, tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang terdahulu dan sebagai penjelas atas segala sesuatu petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.” [Q.S. Yusuf:111]. Allahu a’lam. [Ustadz Hammam].

Maraji’: Shahih muslim
Tafsir AlQur’an Al ‘Adzim

Sumber Tulisan:
Kisah Ashabul Ukhdud