Menjadi sosok yang berjiwa qana’ah dengan seketika tentu tak bisa. Bila Allah tidak memberinya taufik, tidak melindunginya dari kebakhilan diri dan hawa nafsu yang rakus niscaya jiwa akan tetap pada tabiat aslinya. Tabiat senang memiliki apa saja dan enggan memberi kepada yang lain. Ingin di atas, tidak ingin disaingi.
“Mujahadah” untuk meredam tabiat asli ini wajib dilakoni agar jiwa makin mengarah pada zuhud dan qana’ah. Ibarat seorang prajurit yang ingin bertempur, sederet latihan baik fisik dan ketangkasan harus ditempuhnya. Bila ditekuni dengan ikhlas dan sabar, niscaya medan laga akan jadi saksi atas kemenangannya, bi idznillah. Demikian pula “mujahadah” berikut ini, jika dilakoni dengan serius maka qana’ah akan terwujud dengan izin Allah.
Qana’ah bersarang di dalam kalbu. Jika iman masih rapuh, jiwa pun akan terasa selalu kering. Bila saya punya kekayaan sepenuh bumi, namun ada kekurangan seribu perak saja yang belum tercapai, saya tidak akan puas. Baru saya rasa cukup setelah didapatkan saya pegang uang seribuan itu.
Sebaliknya, jika iman di dalam kalbu makin kokoh maka menjadi kuat pula jiwa qana’ah. Kamu akan merasa cukup dengan yang ada, ridha dengan takdir, meskipun dirimu masih sering memelintir otak, berpikir bagaimana mendapat beras untuk jatah makan sehari-hari.
Jatah rezeki adalah sesuatu yang telah ditetapkan buat manusia semenjak di dalam rahim. Seperti yang tersebut dalam hadis ibnu Mas’ud yang menyingkap proses pembuahan dan pembentukan janin hingga menjadi makhluk bernyawa. Dalam hadis itu disebutkan bahwa saat janin berusia empat bulan, maka ada malaikat yang dikirim untuk meniupkan ruh dan menuliskan jatah rezeki, umur, amalan, serta nasibnya sebagai hamba yang binasa atau bahagia.
Jika demikian, tugas kita hanyalah berupaya membuka pintu-pintu rezeki dengan kunci yang halal dan baik. Usaha kita pun wajib disertai keyakinan bahwa rezeki yang telah dicatat untuknya gak bakal nyasar kepada yang lain.
Sadar bahwa rezeki tidak selalu manut dengan otak-atik perhitungan manusia, kecerdikan akal, keuletan, manajemen, besarnya modal, atau luasnya pengalaman. Sebagiannya memang boleh saja disebut faktor. Namun yang namanya rezeki tidak bisa digantungkan sepenuhnya dengan hal-hal itu. Kalau kesadaran ini dimiliki maka seorang hamba lambat laun akan mendapat qana’ah bahkan merasakan manisnya. Lebih–lebih saat dia melihat orang lain yang biasa-biasa saja, cerdik tidak, pengalaman pun tak punya, modalnya pun seadanya. Namun ternyata lebih sukses dari sisi rezeki.
Di antara sebab tumbuh berseminya qana’ah adalah dengan memerhatikan keadaan orang-orang yang lebih rendah darimu dalam segi dunia dan tidak terbiasa memandang kepada orang yang berada di atasmu. Seperti nasihat emas dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Perhatikanlah kepada orang yang di bawah kalian dan jangan kalian memandang kepada orang yang berada di atas kalian. Yang demikian itu lebih membantumu untuk tidak menyepelekan nikmat Allah.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]
Mungkinkah kamu menjadi orang yang betul-betul paling menderita dalam segala-galanya? Sehingga kamu tidak menjumpai satu orang pun yang mengalami satu atau beberapa keadaan yang melebihi penderitaanmu? Tidak ada. Selalu saja ada yang jauh di bawahmu.
Jika kamu miskin, maka pasti ada yang lebih miskin darimu. Jika kamu sedang menderita sakit parah pasti ada yang lebih parah sakitnya darimu. Kalau kamu sedang ditimpa kesusahan atau tersiksa, maka di sana ada yang lebih susah, di sana ada yang lebih tersiksa. Kenapa engkau hanya suka memandang ke atas? Tundukkan tatapanmu, lihatlah orang yang ada di bawahmu.
Barangkali kau melihat ada orang yang mencapai kesuksesan harta atau dihormati di tengah warga, sedangkan dirimu tidak mendapat harta atau kedudukan itu. Namun mungkin dari sisi kecerdasan, ilmu, fisik, dan adab, Allah memberikan kelebihan untukmu dari orang itu. Maka dari itu ingatlah selalu anugerah ini agar engkau bisa meredam jiwa agar tetap qana’ah dengan pemberian Allah.
Doa memiliki peran besar bagi suksesnya segala urusan. Jika kita ingin memiliki qana’ah, mintalah dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Allah telah berjanji akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya. Apalagi jika doa-doa tersebut dipanjatkan pada waktu-waktu mustajab.
Sebenarnya perbedaan antara orang yang lapang dan sempit rezekinya cukup sederhana. Orang kaya, hanya bisa memanfaatkan sebagian dari hartanya. Yang jelas ‘berguna’ ialah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhannya. Selebihnya, meskipun dimiliki namun belum tentu dinikmati. Dan harta yang tidak termanfaatkan lebih banyak.
Orang miskin atau orang biasa dalam sehari bisa makan kenyang tiga kali. Si Fulan yang konon jadi orang terkaya pun makannya tiga kali saja. Mungkin beda sedikit dari sisi menu dan modelnya. Namun hasilnya, sama saja. Sama-sama mengenyangkan.
Uang sepuluh ribu yang ingin saya tukar dengan sebungkus nasi ternyata tidak berbeda jauh dengan seratus ribu yang ingin dibelanjakan tetangga kaya itu untuk seporsi hidangan berkelas. Jika dimakan, ternyata hasilnya sama juga. Andaikata ia belikan sepuluh porsi nasi bungkus pun yang dia makan hanya sebungkus. Tak mungkin dia santap sekaligus.
Ya, saya rasa dia takkan ‘kelar’ untuk makan di atas porsi wajar. Apakah karena statusnya ‘kaya’ lantas kuat makan sepuluh kali?
Begitu pula perbedaan dalam sandang, papan, dan tunggangan. Walaupun sanggup membeli seratus lembar jubah sekali belanja, toh tak kan dipakai sekaligus di badan. Tidak beda dengan orang yang kekurangan.
Walau kuat membeli kontan seratus mobil mewah, toh dalam sekali waktu hanya satu yang bisa ia tunggangi. Bagian bumi yang menopangnya saat tidur pun tidak lebih dari satu kali dua meter saja, meski ia bisa memiliki entah berapa vila. Dengan perbedaan yang seberapa ini apa layak kita iri dengannya?
Orang yang qana’ah mungkin tidak berkesempatan mencicipi makanan lezat. Baju bermerek pun tak terjangkau isi dompetnya. Hidup serba seadanya, bukan ‘serba ada’. Namun, ia bisa begitu menikmati hidup ini dengan jiwa yang ridha. Jauh lebih nikmat ketimbang yang dirasakan orang-orang yang tamak kepada dunia.
Sebabnya, ketika ia melihat orang lain yang berkelapangan harta, ia saksikan bahwa ternyata yang termanfaatkan cuman sedikit dari yang dipunya. Sedangkan yang dimiliki akan diperhitungkan semua tak terkecuali.
Diriwayatkan ucapan hikmah dari Abud Darda, “(Jika) para pemilik harta makan, maka kita juga makan. Mereka minum, kita pun bisa. Mereka berpakaian, kita pun sama. Mereka berkendara kita pun berkendara. Mereka punya kelebihan harta yang menarik pandangan mata, kita pun turut serta memandang keindahan itu bersama mereka. (Bedanya) mereka akan dihisab, sedangkan kita bisa berlepas diri darinya. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang-orang kaya berangan angan, ‘andaikan kami seperti kalian.’ saat kematian menghampiri mereka. Maka di saat itulah, keinginan untuk menjadi seperti mereka hilang, (tak tersisa walau sehelai benang).” [Siyar A’lam An Nubala (2/350-351) Az Zuhdu libnil Mubarak (592)]
Apa yang disampaikan oleh Abud Darda’ selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika Abdullah bin Syikhir datang menghadap, beliau sedang membaca yang artinya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian.” Lalu bersabda, “Anak Adam selalu bilang, ‘Hartaku, hartaku.’ Hai anak Adam, hartamu tidak lain hanyalah yang kau makan sampai habis, (hartamu adalah) pakaian yang kau kenakan hingga usang, (hartamu adalah) yang engkau sedekahkan), maka itulah yang sejatinya engkau simpan.” [H.R. Muslim, no. 2958]
Betapa indahnya qana’ah bila telah bersemi dalam kalbu. Kita semua sungguh butuh dengan qana’ah. Apalagi para ulama, pecinta ilmu, dan para pegiat dakwah. Mereka sangat butuh untuk berhias dengan qana’ah. Dengan itu ia akan menjadi lentera yang menerangi jalan-jalan menuju jannah. Kita sebagai orang awam pun tidak boleh ketinggalan untuk meraih qana’ah. Jika hati manusia berhias dengan qana’ah, tentu akan hilang iri dengki. Hidup ini akan diselimuti dengan kasih sayang. Ya, pertikaian di antara kita seringnya bersumber dari urusan dunia. Hati menjadi keras, iman dan amal kita makin lemah pun sebab utamanya adalah berebut dunia. Maka sungguh benar sabda Nabi kita belasan abad silam:
“Demi Allah, kefakiran bukanlah sesuatu yang aku khawatirkan jika menimpa kalian, justru aku khawatir ketika dunia ini dibentangkan di hadapan kalian lalu kalian saling bersaing seperti persaingan yang terjadi pada umat sebelum kalian. Akhirnya dunia membinasakan kalian sebagaimana mereka binasa karenanya.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]
Menyimak perjalanan dan sejarah hidup generasi terdahulu yang saleh. Bagaimana zuhud mereka terhadap dunia, bagaimana qana’ah mereka dengan sesuatu yang amat sedikit. Bila mereka telah mendapatkan sesuatu yang cukup dari dunia maka yang tersisa tidak mereka kejar. Dengan menyelami kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga nabi-nabi terdahulu, para sahabat dan generasi tabi’in setelahnya, akan membangkitkan gelora jiwa untuk menyusuri jejak-jejak kebaikan itu, untuk mengutamakan amal-amal akhirat dan menyisihkan hiasan dunia yang sirna dan menipu belaka.
Semoga Allah memperbaiki kalbu kita sehingga amalan badan kita pun menjadi baik. Semoga Allah menganugerahkan qana’ah atas semua yang direzekikan untuk kita, dan meringankan hisab kita. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan Doa.
[Ustadz Abu Humayd Fauzi Isnaini]