Tashfiyah
Tashfiyah

kaya tak selalu berlimpah harta

8 tahun yang lalu
baca 7 menit
Kaya Tak Selalu Berlimpah Harta

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kita jalan Islam. Segala sanjungan untuk-Nya, Dialah yang memberi taufik atas kita untuk menempuhnya. Mudah-mudahan Dia menyampaikan kita hingga akhir masa dalam kondisi tetap beristiqamah di atas jalan itu. Sungguh beruntung seorang yang diberi keislaman, diberi rezeki ‘pas-pasan’, namun jiwanya ‘kaya’ dengan qana’ah.

Orang tua yang bijak dan mengerti hakikat kehidupan, saya rasa tidak akan terluput untuk memberi nasihat putra-putrinya agar menjadi manusia berjiwa qana’ah. Putra yang sudah menapaki hidup berumah tangga atau yang belum berpikir sampai ke sana sangat perlu diarahkan dari sisi ini. Bahkan sejak dini semestinya terus dilatih untuk memiliki jiwa itu.

Ya, di satu sisi mereka harus disulut api semangatnya agar tidak suka bertopang dagu berpangku tangan, ingin memenuhi apa yang dibutuhkan namun dengan cara mengiba menunggu belas kasihan. Ditempa mentalnya untuk menjadi pria sejati yang siap menarik lengan baju, bekerja mencari harta yang halal untuk menghidupi diri dan keluarga. Dan sisi lain mereka sangat perlu disadarkan untuk tidak memandang dunia sebagai tujuan hidupnya.

Terbiasa qana’ah dengan apa yang Allah beri menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Itulah petuah dari seorang tua teruntuk pewaris keluarga dan penerus perjuangan. Nasihat tulus dari seorang penasihat bagi saudaranya. Namun pesan bijak tak selalu diterima dengan baik. Bisa jadi menimbulkan berbagai reaksi.

Ada yang merasakan adem mendengar pesan-pesan itu, hatinya menjadi plong setelah dililit frustasi sebab impian tak kunjung terbukti. Pahit-getir kegagalan yang lebih sering ditelan daripada mengecap buah usaha berangsur tawar. Ada yang menganggap sepi tak peduli. Tak jarang pula diperoleh orang-orang yang memang alergi. Sehingga hatinya makin gatal. Dorongan menggaruk dunia, bukan sembuh malah tambah menjadi.

“Dunia harus kugenggam,” tekadnya.

“Yang di tangan ini belum seberapa. Belum cukup untuk bekal hidupku. Apatah lagi untuk sebuah kelayakan?”
Tak sedikit juga yang coba membantah pesan-pesan itu dengan ‘ilmiah’, memandangnya sebagai patahan-patahan kalimat yang kurang ‘konstruktif’. Pandangan yang justru mengendurkan tekad dan mematahkan semangat.

Ada lagi yang murka dengan petuah-petuah tadi. Akibatnya, Ia tidak mau begitu saja menerima takdir. Berburuk sangka kepada Allah. Sulit meridhai pemberian-Nya. Rumah terasa sempit, makan-minum tak lagi nikmat, baju yang masih baik dianggapnya usang, kendaraan ikut terkesan jadul dan butut.

Duhai sekiranya dalam kalbu ada embun-embun qana’ah, niscaya rumah sederhananya yang cukup sebagai tempat peristirahatan adalah rumah idaman. Kendaraan tua yang bisa mengantarnya dari satu ke tempat lain, untuk satu ke urusan berikutnya adalah kendaraan ideal. Makanan ala kadar yang asal bisa menegakkan tulang punggung adalah hidangan istimewa, baju yang menutupi auratnya sudah sangat serasi. Kurang apalagi?

Mestinya cukup memang. Namun tetap saja, masih banyak jiwa-jiwa yang belum bisa qana’ah, justru antipati dengannya. Subhanallah. Mungkin ada salah paham. Bisa jadi ada pembiasan dalam memaknai qana’ah.

Kalau memang itu pangkal persoalannya, mari kita pelajari lagi tentang qana’ah. Semoga akhlak yang mulia ini terpahami dengan benar. Dengan itu niscaya masing-masing jiwa akan merindukan qana’ah, berharap mendapatkannya, berusaha keras meraihnya, berlomba menggapai ‘hadiah’ yang lebih berharga dari harta ‘qarun’. Bahkan berjuta kali lipatnya.

Hubungan Erat Qana’ah, Ridha, dan Zuhud

Qana’ah memiliki pertalian makna yang erat dengan ridha. Qana’ah adalah menerima sesuatu, ia ridha dan puas kepadanya.

Qana’ah juga punya hubungan yang sangat dekat dengan zuhud. Zuhud berarti meninggalkan ambisi terhadap hal-hal yang tidak berguna bagi urusan akhirat. Walaupun ada manfaat untuk dunianya namun jika tidak ada manfaat untuk akhirat, ia pun menjauh. Ridha dengan harta yang sangat sedikit. Sekadar bisa untuk bertahan hidup, itulah zuhud. Bisa pula dikatakan bahwa zuhud adalah tingkat qana’ah yang tertinggi.

Namun qana’ah bukan terbatas pada makna zuhud saja. Jika ada seseorang hidup dengan dunia yang ‘cukup’ tak kurang tak lebih dan hal itu bagi dia adalah jatah hidup yang telah membahagiakannya. Rezeki yang datang, kadang berlebih kadang juga sebaliknya. Namun saat mengalami kekurangan ia tidak lantas dirundung duka nestapa. Tidak frustasi, tetap tenang dan ridha dengan keputusan Allah. Keadaan jiwa yang demikian ini pun termasuk qana’ah.

Dari sinilah, qana’ah tidaklah menghalangi seorang pengusaha berbisnis dan melebarkan sayap usaha. Tidak mencegah seorang muslim untuk ‘peras keringat’ ‘banting tulang’, mengolah bumi, atau berkarya dan menghasilkan apa saja yang halal demi penghidupannya.

Namun bila pebisnis berlaku curang. Bila karyawan tidak menjaga amanah, job-job banyak tak terurus namun upah inginnya naik terus. Bila pejabat tidak lagi jujur, demi sebuah posisi rela agama tergusur. Da’i tak lagi giat berdakwah di jalan Allah. Bersikap lembek, berbasa-basi dengan kemungkaran, tidak malu menghinakan diri kepada selain Allah, demi pamor atau fulus. Di saat-saat itulah maka qana’ah telah sirna pada dirinya.

Penghalang Qana’ah

Qana’ah adalah anugerah yang mahal harganya. Ia tidak bakal diperoleh tanpa berjuang mengikis ambisi serta mengenyahkan sikap-sikap tercela yang menodai usahanya dalam mencari penghidupan.

Qana’ah tidak akan diperoleh jika dalam hati masih tersimpan iri dengki terhadap kesuksesan saudaranya, suka memprotes keputusan Allah. Suka mengeluh kepada makhluk lain yang lemah seperti dirinya, mengadukan Sang Penciptanya yang memberinya rezeki.

Qana’ah juga tak akan diraih dengan kebiasaan suka berangan-angan mendapat sesuatu yang bukan miliknya. Suka marah-marah jika cita-cita dunia tertahan di tengah jalan. Merasa tak disayang oleh Allah, padahal bisa jadi kebaikan untuknya adalah gagalnya apa yang direncanakan.

Qana’ah Bukan Harus Jatuh Miskin

Qana’ah bukan hal mustahil untuk diraih seorang hamba yang memiliki simpanan emas dan perak, atau memenuhi brangkasnya dengan uang dinar atau membawa ribuan lembar riyal dengan kedua tangannya.

Hanya saja, jika harta yang memenuhi brangkas itu, emas perak yang terjaga dalam peti tadi, lembar riyal dalam setangkup telapak tangan ini berpindah ke dalam kalbu, merasuki relung hatinya, sehingga jiwa menjadi budaknya, sulit dilepaskan dari ketergantungan dan kecintaan kepadanya, hak-hak Allah tak ditunaikan, ketaatan demi ketaatan terabaikan, zakat tak dibayarkan, sedekah tak lagi diindahkan, malas beribadah, yang fardhu pun kian berat dijalankan. Yang haram justru terasa gampang diterjangnya. Riba, menyuap, mengembangkan harta dengan cara-cara curang jadi biasa, maka ketahuilah, qana’ah telah tercabut dari jiwanya.

Betapa banyak dari pemilik harta, saudagar yang kaya raya namun ia bisa qana’ah. Tidak pernah ada kecurangan dalam bisnis, tidak menahan hak-hak para pekerja sewaannya, upah dibayarkan dengan sempurna dan tepat waktu, ia pun tidak menghinakan dirinya kepada sesama manusia hanya karena alasan melicinkan bisnis, menjaga aset, atau memelihara kesetiaan pelanggan dan macam-macam alasan lain.

Di samping itu, ia tidak lupa dengan hak-hak Allah terkait dengan hartanya. Zakat ditunaikan dengan baik, gemar bersedekah, rajin beribadah. Yang fardhu dijaga, perkara yang diharamkan dijauhi. Jika beruntung dan sukses, ia bersyukur. Jika lagi apes dan menderita kerugian, ia ridha dengan keputusan Allah. Seperti ini adalah orang yang qana’ah. Ya, walaupun ia memiliki harta sebanyak harta Qarun.

Dan berapa banyak orang yang diberi rezeki “ngepres”, ternyata hatinya terbungkus rapat oleh ketamakan dunia. Tidak ridha dengan rezekinya. Jengkel dengan Allah yang telah membagi-bagi, banyak mengeluh kepada sesama, di sini mengeluh di sana sama. Memilih cara-cara yang diharamkan, yang penting bisa kaya. Nah orang seperti ini telah dicabut dari hatinya rasa qana’ah. Ya, walaupun ia tak punya rupiah, apa lagi dinar dan dirham. Kasihan.

Wahai jiwa, selagi mata kepala dan mata hati selalu menuju ke atas, memandang orang yang lebih sukses, tidak mau merunduk, mengamati banyak saudara-saudaranya yang hidup ‘ngenes’ dan menyedihkan, maka nikmat apapun yang Allah anugerahkan untukmu tak bisa memuaskan hati. Selalu saja ingin yang lebih banyak dan lebih banyak lagi. Kau tak ubahnya seorang yang hendak mati kehausan lalu diminumi air laut. Tiap kali meneguknya rasa dahaga makin menyiksamu.

Sungguh, bila qana’ah tidak dimiliki, kebahagiaan pun jelas terluput. Mengapa? Sebab ukuran kebahagiaan menurutnya adalah bila telah menjadi yang terkaya, paling terhormat, dan paling ter- ‘apa saja’. Kalau itu timbangannya maka ia tak kan pernah merasa bahagia. Bukankah jika seorang mendapat kesempurnaan dari satu sisi ia akan atau masih kehilangan kesempurnaan dari banyak sisi yang lain?

Sadarilah kenyataan ini. Dan ingatlah bahwa hanya Allah yang Mahasempurna dari segala sisi. Kesempurnaan mutlak yang tidak terselip sedikit pun kekurangan pada Dzat Allah, nama, sifat dan perbuatan-Nya. Sedangkan kebahagiaan hakiki adalah bila hati ini ridha kepada Allah, qana’ah dengan pemberian-Nya
Benar, qana’ah merupakan permata marjan yang berharga. Raihlah, kejarlah jika Anda ingin menjadi orang kaya sejati.

[Ustadz Fauzi Abu Humayd]