Oleh: [Ustadz Hammam]
Ibu seseorang memiliki hak yang sangat besar di sisi anaknya. Mereka memiliki hak yang wajib ditunaikan oleh anak. Meninggalkan kewajiban tersebut berarti terhitung kemaksiatan kepada Allah l. Itu artinya, ia telah berbuat dosa dan terancam dengan neraka.
Demikian pula kedudukan para istri nabi. Mereka memiliki hak atas kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi kaum muslimin untuk menunaikan hak-hak mereka. Di antara hak-hak mereka adalah kewajiban mencintai dan menghormati mereka.
Cinta terhadap ibunda kaum muslimin adalah bentuk ibadah dan penunaian kewajiban. Dalam Al Quran, Allah telah mengabarkan kepada kita tentang mereka, para istri Nabi dengan sebutan ummahatul mukminin (ibunda kaum mukminin). Allah berfirman ;
“Nabi lebih utama atas kaum mukminin dibandingkan diri-diri mereka, dan istri2 nya(Nabi) adalah ibunda-ibunda mereka.” [Q.S. Al Ahzab:6]
Penyebutan lafazh “ibu” dalam ayat ini, mengisyaratkan tingginya hak dan kedudukan mereka atas kaum mukminin. Sebagaimana kedudukan ibu atas anak-anaknya, di mana bermaksiat kepada mereka adalah kedurhakaan terbesar setelah kesyirikan.
Al Imam Al Qurtubi menafsirkan makna ayat ini;
شَرَّفَ اللهُ أَزْوَاجَ نَبِيِّهِ – صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلم – بِأَنْ جَعَلَهُنَّ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَيْ : وُجُوْبُ التَّعْظِيْمِ وَالْمُبَرَّةُ وَالْإِجْلَالِ وَحرْمَةُ النِكَاحِ عَلَى الرِجَالِ ، وَحَجَبَهُنَّ – رضي الله عَنْهُنَّ – بِخِلَافِ الأُمَّهَاتِ
“Allah memuliakan para istri Nabi-Nya dengan menjadikan mereka sebagai ibu bagi kaum muslimin. Yakni (maknanya) wajib untuk mengagungkan mereka, berbuat baik kepada mereka, memuliakan mereka, dan diharamkan atas seluruh kaum laki-laki untuk menikahi mereka, dan (wajibnya) meletakkan tabir di hadapan mereka, tidak seperti kepada ibu-ibu mereka.” (Tafsir Al Qurthubi 14/123) Kecintaan, keridhaan, dan pengagungan terhadap para istri nabi, semisal wajibnya cinta, ridha, dan pengagungan kepada para shahabat nabi seluruhnya.
ISTRI NABI, ADALAH AHLU BAIT NABI
Istri seseorang adalah ahlu baitnya. Termasuk pula para istri nabi, mereka adalah ahlu bait beliau. Hal tersebut sesuai dengan makna dari sisi bahasa, dan istilah syariat baik dari Al Quran ataukah dari As sunah. Di antara contoh penggunaan lafazh ahlu bait yang dibawa kepada makna istri adalah pada firman Allah l:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” [Q.S. Al Ahzab:33]
Ahlu bait yang Allah sebutkan dalam ayat ini adalah para istri Nabi (lihat Tafsir Jalalain, tafsir Ibnu Katsir). Lebih jelas lagi apabila membaca ayat sebelumnya, bahwa kata ganti kalian adalah untuk para istri nabi.
Demikian pula dari sisi bahasa ahlun, bila disebut secara mutlak maknanya adalah istri, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَهَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ إِذْ رَءَا نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوٓا۟ إِنِّىٓ ءَانَسْتُ نَارًا لَّعَلِّىٓ ءَاتِيكُم مِّنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu ia berkata kepada keluarganya, ‘Tinggallah kalian (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepada kalian atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.” [Q.S. Thaha :9-10] Para ahli tafsir telah bersepakat bahwa ahlu (keluarga) dalam ayat ini adalah istri Nabi Musa.
Demikian pula sebuah riwayat dari Aisyahx bahwa beliau berkata;
“Belum pernah sama sekali keluarga Muhammad n merasa kenyang dari adonan roti selama tiga hari, hingga bertemu dengan Allah” [H.R. Al Bukhari Muslim dan lainnya]. Aalu (Keluarga) di sini maknanya adalah beliau dan para istri nabi yang lain.
Di antara yang menunjukkan kewajiban berbuat baik kepada para istri Nabi adalah wasiat Rasulullah n tentang keluarga beliau. Sedangkan kita tahu bahwa wasiat seseorang adalah perkara yang dipentingkan oleh orang tersebut. Sehingga saat Rasulullah n mewasiati sebuah perkara, maka itu adalah sebuah perkara yang agung di sisi beliau. Hal ini beliau sebutkan dalam suatu khutbah di sebuah tempat antara Makkah dan Madinah.
Dalam hadis tersebut, Rasulullah n pernah mewasiati kaum muslimin tentang keluarga (ahlu) beliau sepeninggal beliau. Di riwayatkan oleh shahabat Zaid;
….وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي…..
“…..Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku, Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku, Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku….”
Maka Hushain sebagai perawi hadis tersebut pun bertanya kepada shahabat Zaid tentang makna ahlu bait dalam riwayat ini. “Dan siapakah ahli bait beliau wahai Zaid? Bukankah para istri beliau adalah ahlu bait beliau? Maka zaid pun menjawab: ’istri-istri beliau adalah ahli bait beliau, namun (yang dimaksud beliau dengan) ahlu bait dalam hadis ini adalah seluruh anggota keluarga beliau yang diharamkan menerima shadaqah sepeninggal beliau, yaitu keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga Aqil bin Abi Thalib, keluarga Ja’far bin Abi Thalib, dan keluarga Abbas bin Abdil muthalib. [H.R. Muslim]
Dalam riwayat ini, shahabat zaid menyebutkan bahwa para istri beliau adalah ahli bait Rasulullah di samping keluarga beliau lainnya yang diharamkan mendapatkan shadaqah.
Istri-istri beliau memiliki banyak keutamaan. Di antara keutamaan mereka adalah;