Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin untuk pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [Q.S. At Taubah:122].
Ayat ini menunjukkan keutamaan ilmu syariat. Bahwa ilmu syari termasuk perkara yang paling penting. Ayat ini mengajarkan pula bahwa wajib bagi yang berilmu untuk mendakwahkan ilmunya, menyebarkannya pada kaum muslimin. Dalam ayat yang mulia ini Allah mengingatkan hamba-Nya kaum mukminin terhadap perkara yang seharusnya mereka kerjakan. Yaitu tidak sepantasnya mereka berangkat berperang seluruhnya. Karena hal ini akan sangat memberatkan sekaligus akan melewatkan mereka dari maslahat yang lainnya. Tetapi, hendaknya dari tiap wilayah ada sebagian dalam jumlah cukup yang tidak ikut berperang untuk belajar agama. Agar mereka bisa mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh kepada kaum muslimin yang ikut berjihad. Inilah barakah ilmu syariat sekaligus pahala dari buah limu yang ia ajarkan.
Dalam ayat ini pula terdapat teguran lembut, bahwa seyogiyanya kaum muslimin menunjuk orang yang bertanggungjawab untuk memperhatikan maslahat-maslahat umum. Ia konsentrasikan waktunya untuk hal ini, bersungguh-sungguh, dan fokus dalam tugasnya. Agar kepentingan umum tidak terabaikan sehingga sempurna manfaat yang mereka dapatkan. Diharapkan kemudian langkah mereka menjadi satu, cita-cita mereka pun satu, yaitu tegaknya mashlahat dunia dan akhirat mereka.
Ayat yang mulia ini menunjukkan kepada kita pula bahwa menuntut ilmu agama, ada yang hukumnya fardhu kifayah. Apabila telah ada sebagian kaum muslimin yang melakukannya, maka kewajibannya menjadi gugur bagi yang lainnya. Sekali lagi, sebagian di sini maksudnya adalah dalam batas jumlah yang cukup untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada kaum muslimin. Demikian makna penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam tafsir beliau.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan bahwa menuntut ilmu syariat hukumnya fardhu kifayah. Apabila sudah ada sejumlah orang cukup yang melaksanakannya, maka kewajibannya menjadi gugur bagi orang lain. Tetapi, kadang-kadang menuntut ilmu hukumnya wajib atas individu. Yaitu ketika ia hendak mengamalkan ibadah atau muamalah tertentu, pada kondisi seperti ini ia wajib mempelajarinya. Selain ini hukumnya adalah fardhu kifayah. [Kitabul Ilmi].
Fardhu ‘ain dan fardhu kifayah
Imam Abu umar ibnu Abdil Barr Rahimahullah dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi menyebutkan bahwa para ulama bersepakat bahwa ada bagian ilmu yang fardhu ‘Ain (wajib atas setiap individu), ada pula yang hukumnya fardhu kifayah.
Kemudian para ulama bersilang pendapat tentang perinciaannya. Kewajiban yang menyeluruh atas setiap muslim adalah perkara agama yang tidak ada kelonggaran bagi siapa pun untuk tidak mengetahuinya. Yaitu ilmu yang berkaitan tentang pokok-pokok keagamaan berupa lima rukun Islam dan enam rukun Iman sekaligus lawannya berupa pembatal-pembatal keislaman dan keimanan tersebut. Secara ringkas ilmu yang wajib tersebut sebagai berikut:
1. Mengucapkan syahadat dengan lisan, mengimaninya dalam kalbu bahwa Allah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi, tiada sekutu bagi-Nya, tiada yang menandingi, dan menyerupai. Allah tidak beranak dan diperanakkan tidak ada sesuatupun yang menyamainya. Pencipta segala sesuatu, kepada-Nya lah semua akan kembali. Yang menghidupkan dan mematikan. Yang Maha Hidup tidak mati. Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan nyata. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sedikitpun apa yang di langit dan bumi. Menetapkan bagi Allah semua sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-mana yang maha mulia. Sebagaimana yang Allah tetapkan dalam Al Quran dan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam tetapkan dalam hadits-hadits beliau. Tanpa menyerupakannya dengan makhluk, membagaimanakan, menyelewengkan maknanya, atau bahkan menolaknya. Serta menyucikan Allah dari seluruh sifat cacat, aib, dan kekurangan.
2. Wajib pula mengilmui syahadat Muhammad Shallallhu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba dan Rasul-Nya. Beliau Shallallhu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi. Mengimani pula para nabi dan rasul yang diutus sebelum beliau sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al Quran. Mengimani hari kebangkitan setelah kematian untuk pembalasan amal, kekekalan di akhirat bagi orang yang beruntung dengan keimanan dan ketaatannya dalam surga, dan kekekalan bagi orang yang binasa karena kekafiran serta pembangkangannya dalam neraka.
3. Al Quran adalah kalamullah (firman Allah). Semua yang ada di dalamnya adalah kebenaran yang datang dari sisi Allah sehingga harus diimani seluruhnya, mengamalkan semua ayat yang sifatnya muhkam (yang diketahui tafsirnya) serta mengimani semua ayat yang bersifat mutasyabih (yang tidak diketahui maknanya).
4. Shalat lima waktu adalah kewajiban, harus mengilmu tata cara shalat dan segala yang berkaitan dengan kesempurnaannya, seperti thaharah (bersuci) dan seluruh hukum-hukumnya. Ilmu tentang kewajiban puasa ramadhan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kesempurnaannya dan segala yang merusak serta membatalkannya.
6. Apabila memiliki harta dan kemampuan, ia wajib belajar tentang haji, sebagaimana kewajibannya belajar zakat. Kapan diwajibkan dan berapa kadarnya. Harus tahu pula bahwa haji adalah kewajiban yang wajib di tunaikan sekali dalam hidup.
7. Mengimani para malaikat dan kitab-kitab-Nya Yang disebutkan dalam Al Quran, serta beriman pula terhadap takdir Allah. Bahwa segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi adalah takdir dari Allah. Semua itu terjadi atas keinginan dan kehendak-Nya. Allah telah tetapkan segalanya dengan segala hikmah dan kebijaksanaan-Nya yang maha sempurna.
Demikian juga mengetahui secara global perkara yang memang harus diketahui seperti haramnya zina, minum khamer, daging babi, makan bangkai (termasuk binatang yang tidak disembelih atas nama Allah), haramnya semua yang najis. Dilarangnya mencuri, riba (bunga), merampas, menyuap, kesaksian palsu, memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar dan tanpa keridhaannya. Harus tahu pula haramnya seluruh kezaliman yaitu segala sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Haramnya menikahi ibu, anak, saudara kandung dan semua yang disebutkan dalam surat An Nisa’ ayat 23, haram pula membunuh seorang muslim dan semua perkara semacam yang disebutkan dalam Al Quran dan disepakati umat tentang keharamannya.
Adapun mempelajari ilmu lain yang disebutkan, mengajarkannya kepada kaum muslimin, mengarahkan mereka pada maslahat agama dan dunia mereka, hukumnya adalah fardhu kifayah sebagaimana ditunjukkan oleh ayat di atas. Allahu a’lam. [Ustadz Farhan].