Pagi hari saat kita keluar rumah, dengan semangat penuh ingin memulai aktivitas hari ini, tak jarang di jalan kita bertemu tetangga. Senyum dan sapaan hangat menghiasi wajah kita untuk tetangga. Tadinya niatan kita hanya sampai di situ, memberikan senyum dan tegur sapa sambil terus berjalan melanjutkan rencana kita dari rumah. Namun ternyata langkah kita harus terhenti karena tetangga ingin ‘berbincang’ sedikit. Mumpung ketemu, katanya.
Sebenarnya alasan mumpung ketemu juga kurang tepat, karena toh namanya tetangga, kalau memang ingin ketemu insya Allah bisa dilakukan di rumah. Tapi mungkin itu hanya alasan saja yang lebih tepatnya adalah basa-basi untuk memulai ‘perbincangan’.
Mau tidak mau kita pun akhirnya duduk bersama di teras rumahnya, atau di manalah tempat yang dianggap enak saat itu. Mulailah sang tetangga ini membuka diskusi pagi yang tak disengaja. Dia mulai bercerita bahwa kemarin terjadi peristiwa ini dan itu. Kemudian sampailah pada inti pesan yang ingin dia sampaikan, yaitu bahwa ‘Fulan anak anda’ katanya berbuat demikian dan demikian. ‘Tolong dia diberi nasihat supaya tidak mengulangi perbuatan itu’ kira-kira seperti itulah akhir pembicaraan tetangga.
Bagaimana kira-kira perasaan orang tua ini? Bagaimana pula dengan semangat yang tadinya membara untuk memulai aktivitas hari itu? ini bukanlah poin yang ingin kita bahas. Namun yang kita bahas adalah tindakan orang tua yang mendapat pesan serupa dengan kejadian di atas, bagaimana pun bentuk pesan itu. Bisa jadi melalui telepon, SMS, pesan WA dan sebagainya.
Tak jarang orang tua langsung kecewa dengan buah hatinya. Sehingga walau penuh emosi, ia langsung ‘menasihati’. Berdalih karena membuat malu orang tua, akhirnya si anak pun kena marah. Maksud hati ingin berbuat baik kepada anak, tapi karena disertai emosi, anak pun semakin lari.
Bila saat itu kita marah, maka diamlah. Berusaha untuk tidak bertindak apalagi langsung menghukum anak. Bukankah, dalam agama ini seorang hakim saja dilarang membuat keputusan saat marah mendominasi? Tunggu ketika kita mulai tenang maka saat itulah kita bisa menyampaikan nasihat indah dari orang tua kepada buah hatinya. Ingatlah bahwa kita ingin agar ia menjadi anak yang saleh dan berakhlak mulia. Kita berharap nasihat kita bisa mereka terima. Karena itu sampaikanlah dengan penuh bijaksana, bukan disertai emosi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا بَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
“Permudahlah jangan engkau persulit. Berilah kabar gembira dan jangan engkau membuat lari.” [H.R. Al-Bukhari no 5659]
Maka demikian pula saat kita memberi nasihat kepada anak, sampaikanlah dengan bahasa yang membuat anak senang menerimanya. Bimbinglah mereka agar merasa mudah melaksanakannya. Jangan sampai nasihat yang kita berikan justru membuat mereka merasa sulit sehingga menyebabkan mereka lari. Wal ‘iyadzu billah. Tentu bukan hal itu yang kita inginkan. Tentu menyenangkan bagi anak apabila memiliki orang tua yang mengerti cara yang tepat dalam menyampaikan nasihat. Allahu a’lam bish shawab.
[Ustadzah Ummu Umar]