Dulu, orang akan gelisah jika pergi dan lupa membawa uang. Namun sekarang, bukan berarti uang tersingkirkan, namun banyak yang lebih gelisah jika yang ketinggalan adalah gadget-nya.
Bagaimana tidak?! Sepuluh menit saja tak melihat ke layar monitor, berpuluh informasi dan notifikasi terbaru bisa terlewatkan. Belum lagi jika ada momen-momen yang ‘indah’ dalam perjalanan, tentu kurang asik jika hanya menangkapnya dengan mata telanjang dan menikmatinya sendiri tanpa komentar teman. Rasanya nggak ‘afdhal’ lagi kalau nggak ber-selfie-selfie.
Mendengar dan membaca sekilas berita-berita yang ada, terkadang pikiran ini sulit mencerna, semakin aneh dan mengherankan. Hanya karena membalas pesan di ponsel, ada yang tewas tertabrak mobil di jalan saat menyebrang. Demi adu keren, ada yang nekat ber-selfie ria di tempat-tempat membahayakan, hasilnya ya tak jauh dari foto mengerikan dan berita kematian. Benar atau tidaknya sulit dipastikan, namun rasanya hal ini semakin akrab saja terdengar di dunia kita.
Pada sebagian orang, sikap ketergantungan ini memang sudah keterlaluan. Dari membuka mata di pagi hari hingga ingin memejamkannya kembali, smartphone menjadi kawan setia mengiringi kegiatan sehari-hari. Bukan sebuah cela memang jika dia bisa menguasai dirinya dan bijak memanfaatkannya. Namun kenyataan yang ada, gadget yang semakin canggih ini benar-benar cerdas seperti namanya, smartphone, ‘cerdas’ mengalihkan segala perhatian pemiliknya.
Bukan hal yang asing lagi, jika gadget-gadget ini memiliki pengaruh negatif dalam hidup seseorang. Dari mengacaukan konsentrasi, membuat lebih suka tenggelam dalam dunia sendiri, hingga mengubah kebiasaan baik menjadi suka bersantai-santai menunda pekerjaan yang ada. Belum lagi jika sudah terkoneksi dengan media sosial, rasanya jari-jemari pun gatal jika disapih meski hanya sehari.
Tentu tanpa menutup mata dari adanya beberapa manfaat yang ada, seperti menyambung pertemanan, menambah wawasan, atau memperluas jaringan bisnis dan manfaat-manfaat lain. Namun, kenyataannya sangat sulit menghindari kemungkaran-kemungkaran yang ada di dalamnya, dari sekadar menundukkan mata hingga sikap bermudah-mudah mentolelir sebuah dosa dan kesalahan.
Secanggih dan semodern apa pun perkembangan dunia dan teknologi, seorang muslim yang baik memiliki prinsip dan aturan hidup yang terus membimbingnya, sehingga kondisi apa pun dan bagaimana pun, label muslim pada dirinya benar-benar hidup dan bukan sekadar pengakuan dan isapan jempol belaka. Ya, merupakan suatu hal yang wajib kita yakini, bahwa Islam adalah agama Allah l di seluruh waktu, di semua tempat hingga akhir zaman.
Imam Ibnu Abi Dzi’b v berkata, “Kebenaran tidak akan digeser oleh waktu dari tempat-tempatnya dan tidak akan mampu mengubah arahnya” (Ibnu Abi Dzi’b, Akhbar Ibni Abi Dzi’b Ar-Rib’i)
Arti Sebuah Waktu
Dalam Al-Quran Allah seringkali menyebutkan tentang pentingnya waktu. Sekilas jika kita membuka dan membaca juz 30 saja, kita akan mendapati hal tersebut. Allah l menyebut bahkan berkali-kali bersumpah dengan waktu; dalam surat Al-Falaq (waktu petang), surat Al-Qari’ah (Hari kiamat), surat Az-Zilzalah (Goncangan), Al-Qadr (Malam Lailatul Qadr), Adh-Dhuha (Waktu Dhuha), Al-Lail (Waktu malam), Al-Fajr (Waktu Fajar) dan masih banyak lagi.
Bahkan ada sebuah Surat dalam Al Quran yang khusus menerangkan tentang pentingnya waktu; Al-’Ashr (Waktu). Tidakkah ada pelajaran yang bisa dirasakan di dalamnya?
Tentu, seorang muslim adalah seorang yang pintar mengatur waktunya. Baginya waktu adalah hal terpenting dalam hidupnya. Lihat bagaimana Allah l memberi isyarat seorang muslim tentang cara menghabiskan waktunya di dunia, dalam surat Al-Ashr Allah l berfirman yang artinya, “Demi masa, sesungguhnya seluruh orang berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.”
Yang pertama dan kedua adalah bagaimana ia memanfaatkan waktunya untuk terus beriman, dan terus menumbuhkan imannya. Tidak lain caranya adalah dengan terus menambahkan pada dirinya wawasan tentang agamanya, dan melatih raganya tunduk kepada Allah l dengan mengamalkan ibadah-ibadah yang akan mendekatkan dirinya pada Penciptanya, terus-menerus meski sedikit demi sedikit.
Yang kedua dan ketiga adalah tentang bagaimana andil hidupnya dalam sebuah pergaulan masyarakat. Seorang muslim bukanlah seekor bunglon yang bisa berubah-ubah warna menyesuaikan tempat dan waktu yang diuntungkan. Ia selalu memiliki prinsip yang berguna bagi dirinya, dan bermanfaat bagi orang lain.
“Ajari seorang pemuda tentang tauhid dan akidah yang benar, lalu letakkan dia di mana pun (dia akan memberikan manfaat)” (Asy-Syaikh Muqbil v – nukilan secara makna-)
Sebuah kenyataan yang memalukan, ketika seorang muslim menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk selain agamanya, apalagi untuk suatu hal yang mengandung dosa. Padahal Allah l menyatakan yang artinya, “Tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” [Q.S. Adz-Dzariyat:56]
Inti tujuan hidupnya adalah untuk beriman, beribadah, dan berdakwah, setelah itu memanfaatkan sisa-sisa waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan sebaliknya; menghabiskan hampir seluruh harinya dalam seminggu dan menyisakan satu hari saja untuk agamanya.
Allah l berfirman yang artinya, “Dan carilah apa yang Allah berikan kepadamu berupa negeri akhirat dan jangan engkau melupakan bagianmu dari dunia.” [Q.S. Al Qashash:77]
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa adanya gadget dan medsos di tangan kita benar-benar menyita waktu. Pengaruh negatif ‘terkecil’ yang bisa dirasakan adalah dalam memanfaatkan waktu longgar: di saat menunggu, di waktu istirahat, dan waktu-waktu senggang, sebuah gadget mungil lebih hangat dan terasa akrab di tangan ini daripada sebuah mushaf Quran berukuran mini yang -seharusnya- bisa membantu seorang muslim, memudahkan baginya untuk memanfaatkan waktu sesempit apa pun, untuk membaca, berpikir, dan bertafakkur.
Sudah sebaik apa bacaan Al-Quran kita, sekuat apa hafalan kita, dan berapa ayat yang benar-benar telah kita pahami makna dan kandungannya, hingga mengganti sebuah rutinitas indah nan mulia dengan hanya memikirkan sebuah status dinding atau ber-chatting-chatting ria?!
Hidayah itu mahal, kawan!
Islam yang kaudapatkan tanpa usahamu yang berarti, dan ajaran sunnah yang tak Allah subhanahu wata’ala berikan kepada seluruh hamba-Nya ini adalah sebuah karunia yang tak akan mampu kausyukuri; sebanyak apapun ibadahmu dan sepanjang apa pun syukurmu.
Lagi-lagi kita harus menelan kenyataan pahit, ternyata begitu sulit kita menghargai nilai sebuah hidayah. Begitu panjang usaha kita mencari dan menempa diri, begitu lama melatih dan menggembleng jiwa untuk mengislamkan secara sempurna diri-diri ini. Bak panas setahun disiram hujan sehari, begitu mudahnya kita menyia-nyiakannya.
Entah sejak kapan, bermenit-menit seorang muslim menghabiskan waktunya di depan sebuah layar monitor, merangkai kata dan merias dindingnya seindah mungkin, layaknya seorang gadis pingitan, yang was-was menantikan sebuah ‘lamaran’ pertemanan atau sekadar komentar dan pernyataan suka dari seseorang.
Entah sejak kapan, seorang muslimah yang tampaknya baik dalam berpakaian dan berjilbab syar’i nan Islami, begitu mudah menanggalkan hijabnya, berekspresi semanis mungkin di depan sebuah kamera dan menebar pesona di seluruh penjuru dunia, hanya demi sebuah komentar ‘wah’ atau demi mencari sebuah ‘cinta sejati’, di tengah jutaan pasang mata yang bebas melihat dan menikmati.
Semurah itukah nilai Islam dalam diri kita?! Seremeh itukah cara kita menghargai sebuah karunia?! Para ulama mengatakan, “Tidak ada yang mengerti nilai sebuah keutamaan kecuali orang-orang yang utama.”
Sebuah wasiat yang berharga, yang Rasulullah n berikan kepada seluruh pengikutnya, tentang bagaimana caranya memelihara Islam, bagaimana caranya menghargai sebuah anugerah pemberian yang artinya, “Termasuk kebaikan dalam Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” [H.R. At Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah z, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani t dalam Shahihul Jami’].
Meski sulit dibayangkan, bukan hal yang tak mungkin hidup tanpa sebuah ponsel dan koneksi internet. Dari dulu manusia tetap bisa berkomunikasi meski tanpa sebuah telpon pintar atau media sosial online semacam fb, Twitter, Instagram, dan medsos lainnya. Bahkan bisa dibilang kehidupan sosial mereka lebih sehat dan selamat tanpa terhalang oleh layar ponsel setiap saat.
Jadi, hapus akunmu dan putus selamanya koneksimu…Wallahu a’lam.
[Ustadz Abu Hanifah Fauzi]