Tashfiyah
Tashfiyah

fatwa tetesan kencing yang menimpa baju dan mencium setelah berwudhu

7 tahun yang lalu
baca 3 menit
Fatwa Tetesan Kencing Yang Menimpa Baju dan Mencium Setelah Berwudhu

Tetesan Kencing Yang Menimpa Baju
T: Saya seorang pemuda yang tidak lebih dari tiga puluh tahun. Saya menegakkan shalat pada waktunya. Setelah saya berwudhu dan hendak berangkat ke masjid, saya merasakan ada air kencing yang menetes pada waktu berangkat ke masjid. Bahkan terkadang pada pertengahan shalat. Setelah saya memastikan, saya malah menjadi ragu-ragu. Apakah saya mengulangi wudhu jika saya mengetahui sebelum memulai shalat? Sebagai pertimbangan, hal ini terjadi berkali-kali, bahkan terkadang saya tidak bisa mengikuti shalat berjamaah karenanya. Ataukah, saya terus shalat walaupun merasakan ada kencing yang menetes ketika shalat? Ataukah saya mengganti pakaian dalam saya setelah shalat, padahal hal ini merupakan hal yang berat bagi saya?

J: Yang disebutkan oleh penanya ini terkadang merupakan waham (prasangka yang tidak benar) dan was-was, tidak perlu dianggap. Karena kesuciannya sifatnya yakin, sedangkan keluarnya kencing sifatnya ragu. Sesuatu yang yakin tidak digeser dengan sesuatu yang ragu. Dan, ketika sebagian sahabat mengatakan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya dirinya ragu apakah kentut atau tidak di dalam shalatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan yang artinya,

“Janganlah dia berpaling hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” [H.R. Al-Bukhari].
Tetapi apabila seseorang merasa yakin bahwa ada kencing yang menetes, maka (ada beberapa keadaan): jika terus menerus tanpa henti, orang ini terkena penyakit “salasil al-baul”, kencing ini terjadi terus menerus. Hukumnya adalah dia wudhu setiap hendak shalat lalu segera shalat, tidak mengapa jika ada kencing yang keluar. Hal ini didasarkan firman Allah ta’ala:

اتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kalian semampu kalian.” [Q.S. At-Taghabun:16]. Dan:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuan dia.” [Q.S. Al-Baqarah:286].
Kemudian, jika keluarnya tetesan air kencing ini kadang-kadang saja, tidak terus-menerus, maka wajib baginya untuk mencuci baju dan tubuh yang terkena air kencing, istinja` (cebok), lalu mengulangi wudhunya. Allahu a’lam.

Mencium Setelah Berwudhu

T: Kami berharap dari fadhilatusy syaikh -semoga Allah menjaganya- untuk menjelaskan dan menerangkan hukum seorang laki-laki yang mencium istrinya dengan syahwat dan tanpa syahwat, demikian pula mengenai orang yang menyentuhnya langsung (tanpa penghalang) yakni kulit bertemu dengan kulit, apakah hal ini membatalkan wudhu? Kami berharap Anda menjelaskan hukumnya.

J: Terjadi silang pendapat di antara ulama tentang masalah ini menjadi tiga pendapat:
1.Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Adapun yang diinginkan di dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “… atau kalian menyentuh perempuan …” [Q.S. An-Nisa:43, Al-Ma`idah:6] adalah jima’ (berhubungan intim), bukan sekedar menyentuh (sebagaimana hal ini adalah kebiasaan bangsa Arab dalam mengungkapkan jima’, red.). Menurut pendapat ini, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak (baik dengan syahwat atau tidak, red.).

2.Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak jika tanpa penghalang. Ini adalah madzhab Syafi’iyah, mereka menafsirkan firman Allah yang artinya, “… atau kalian menyentuh perempuan …” [Q.S. An-Nisa:43, Al-Ma`idah:6] yakni menyentuh dengan tangan, misalnya.

3.Pendapat madzhab Hambali mengatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat membatalkan wudhu, sedangkan menyentuhnya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu.
Ini pendapat para ulama yang saya ketahui mengenai masalah ini. Yang lebih berhati-hati adalah pendapat ketiga, yakni jika dengan syahwat membatalkan wudhu karena kemungkinan besar menyebabkan keluarnya sesuatu darinya (mani atau madzi). Dan suatu perkara yang memiliki kemungkinan besar dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi dalam beberapa hukum.
Jika tanpa syahwat, hal itu tidak membatalkan wudhu karana bukan merupakan kemungkinan keluarnya sesuatu karenanya.

Dialihbahasakan dari kitab Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah.