Pembaca yang dimuliakan Allah, setiap kita tentu pernah bercermin. Dan memang kita butuh untuk bercermin. Melihat bagaimana penampilan kita. Apakah sudah pantas, rapi, sebagaimana yang kita inginkan? Ataukah masih berantakan, ada sesuatu yang kurang pas pada wajah, rambut atau pakaian sehingga merusak penampilan kita? Untuk mengetahui semua itu tentunya kita membutuhkan sebuah cermin.
Sampaipun zaman dahulu, di saat cermin belumlah mudah ditemukan, orang-orang tetaplah bercermin. Mengambil sewadah air, atau melangkahkan kaki ke pinggir sungai, demi melihat penampilan diri. Karena tabiat manusia, ingin terlihat indah, menawan di hadapan orang lain. Tidak ingin ada setitik noda pun yang bisa merusak kesempurnaan penampilan.
Begitulah pentingnya sebuah cermin. Dengannya seseorang bisa terbantu melihat kebagusan atau keburukan rupa serta seluruh tubuhnya. Bila sudah terlihat bagus maka ia pun akan merasa tenang. Namun bila masih ada keburukan, tentunya ia akan berusaha menghilangkannya sehingga performa bisa tetap terjaga.
Pembaca Tashfiyah, kini kita beralih pada cermin yang lebih penting dari sekadar alat untuk melihat penampilan luar. Karena kalau kita mau jujur, tidak hanya penampilan luar saja yang perlu diteliti apakah sudah tampak indah atau masih ada kekurangan. Penampilan dalam, yakni tutur kata, pemikiran serta tingkah laku kitapun butuh untuk senantiasa dilihat. Bahkan justru ini yang lebih penting dari sekadar menjaga penampilan luar.
Bagaimana tidak, kekurangan pada penampilan luar, maksimalnya membuat seseorang malu. Jatuh harga dirinya. Namun kekurangan pada penampilan dalamnya bisa berakibat yang lebih berbahaya. Karena tutur kata yang pahit bisa menyakiti orang lain. Pemikiran yang salah bisa menyesatkan orang. Serta tingkah laku yang buruk bisa membuat pemiliknya dijauhi banyak orang. Yang mana semua akibat itu bisa berujung pada dosa bagi pelakunya, nas alullaha as-salamah wal ‘afiyah fid dunya wal akhirah. Kita memohon kepada Allah keselamatan di dunia akhirat.
Karena itu tentu ‘cermin’ untuk penampilan dalam sangatlah kita butuhkan. Lalu bagaimana kita mendapatkannya? ‘Cermin’ ini bisa kita dapatkan pada orang-orang di sekitar kita. Merekalah yang kita harap bisa menyampaikan kepada kita kekurangan dan cacat kita. Sehingga kita bisa berbenah, memperbaiki kesalahan serta menutup kekurangan.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
“Seorang mukmin itu cermin bagi saudaranya.” [H.R. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad]
Begitulah seorang muslim terhadap saudaranya. Demikian pula tentunya sepasang suami istri. Hendaknya kita menjadi ‘cermin’ bagi pasangan jiwa kita. ‘Cermin’ yang jujur dan mengharapkan kebaikan bagi pasangan. Jujur, sehingga kita tidak membiarkan kekurangan yang ada pada pasangan. Kita sampaikan apa adanya. Di samping itu kita juga menjadi ‘cermin’ yang menginginkan kebaikan. Sehingga kekurangan tersebut kita sampaikan dengan niatan untuk memperbaiki dirinya. Karena itu tentunya kita sampaikan dengan cara yang hikmah. Supaya pasangan bisa menerima dengan lapang dada. Bukan malah seperti pepatah ‘buruk muka cermin dibelah’. Yakni terjadilah pertengkaran dikarenakan kita menyampaikannya dengan cara yang tidak tepat.
Sebaliknya pula, kita juga mesti menyadari bahwa pasangan kita adalah ‘cermin’ bagi kita. Oleh karenanya, apa yang ia sampaikan tentang diri kita, hendaknya kita terima. Karena hal itu tentulah bertujuan untuk memperbaiki diri kita. Allahul Muwaffiq, Allahlah yang memberikan taufik.
[Ustadzah Ummu Umar]