Tashfiyah
Tashfiyah

dunia, dermaga persinggahan

9 tahun yang lalu
baca 6 menit

Dunia dengan kehidupan di atasnya. Akhirat sebagai kampung abadi selamanya. Dunia memang penuh godaan, bujuk rayu dan cumbu tanda menipu. Sayang seribu kali sayang, hanya sedikit jumlah hamba yang mampu memandang jauh ke depan. Menembus ruang-ruang waktu. Melompat,  meninggalkan angan-angan kosong.

Kita sangat perlu berpikir. Membandingkan dengan sesuatu yang konkret di depan mata. Supaya tersadar. Agar tidak terus tenggelam dalam kelalaian.

Ibnul Qayyim dalam ‘Udddatus Shabirin menyebut dunia ibarat sebuah kapal. Penumpangnya adalah manusia yang tinggal mendiami bumi, menjalani kehidupan dunia. Kapal penumpang yang telah ditentukan arah tujuannya dan dipastikan akan dimana berakhir perjalanan. Bukan kapal yang berlayar asal-asalan. Semuanya telah diatur dengan indah.are you chasing your storm

Kehidupan dunia juga sama. Tidak jauh berbeda. Tujuan kita hidup di dunia telah ditentukan. Arah dan akan ke mana berhentinya juga sudah dipastikan. Surga adalah tujuan kita semua. Di sanalah asal kita. Kampung halaman kita. Semestinya untuk sampai ke sana, kita harus berdaya upaya.

Kapal penumpang akhirnya berlayar. Membelah ombak, menerjang arus. Terkadang beriringan bersama jalannya angin, terkadang pula mesti bertentangan arah. Hingga di suatu momen, sebuah pulau di tengah samudra luas nampak terlihat. Sang nahkoda memutuskan untuk singgah sebentar. Sebentar saja, tidak berlama-lama. Menunaikan hajat yang harus dipenuhi atau sebatas keperluan lain yang mesti dikerjakan.

Begitulah anak manusia. Sejak terlahir di dunia, ia ibarat mulai mengarungi kehidupan. Ada ombak cobaan yang harus dijalani, ada pula arus ujian yang mesti dihadapi. Sesekali ia tertawa sebab senang. Namun, tak terhindarkan juga tangis karena sedihnya. Hanya satu yakinnya, hidup di dunia hanya sementara. Sebentar saja, tidak berlama-lama. Ia hanya bertugas mengumpulkan secukup bekal karena ia sadar perjalanan menuju surga masih amat panjang.

Nahkoda menyandarkan kapal di paling tepi batas laut dengan pulau. Tak sekali dua kali ia berpesan. Tegas ia mengingatkan. Kita berlabuh hanya sebentar. Penuhilah bekal. Cukupkanlah persiapan. Jangan terlalu lama, jangan terlalu jauh meninggalkan lokasi dermaga keberangkatan. Jangan berlebihan membawa bekal. Sebab, kapal pasti akan berangkat kembali meninggalkan pulau ini. Sebentar lagi.

Bukankah perjalanan kita di kehidupan dunia memang seperti ini? Seluruh nabi dan semua rasul yang pernah diutus Allah telah mengingatkan. Wahyu-wahyu Ilahi pun dibacakan. Mereka terus mengingatkan kita melalui firman-firman-Nya. Sabda Nabi Muhammad n sebagai penerang wahyu juga tak kalah sering kita mendengarnya.

Sambil merengkuh kuat bahu sahabat Ibnu Umar, Rasulullah mengingatkan dengan sepenuh cinta. Tanda cinta beliau untuk sahabatnya, juga tanda cinta buat umatnya. Sabdanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari (6416) ;

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيل

“Di dunia ini, hiduplah engkau seperti halnya orang asing di negeri orang. Atau layaknya seperti orang yang singgah sebentar di sebuah tempat”

00000_____00000

                Selepas bersandar. Penumpang kapal satu persatu mulai keluar dan turun di hamparan pulau. Ada yang segera kembali naik kapal setelah menyelesaikan keperluannya. Sehingga ia memperoleh tempat kosong, longgar dan menyenangkan di atas kapal. Ada yang tergoda untuk mengagumi keindahan taman, kebun dan bunga-bunga. Menikmati kicauan burung-burung juga tatanan batu-batu di sana. Akan tetapi?

Langsung saja dan selekasnya ia kembali naik, setelah tersadar bahwa di pulau itu hanya sebentar. Ia ingat pesan sang nahkoda untuk segera berkumpul. Benar saja! Kapal itu masih di tempatnya, belum bergerak. Tetapi, tidak ada lagi tempat lapang yang bisa menampungnya. Hanya area sempit kapal yang telah menunggunya.

Hampir sama dengan penumpang jenis ini. Kawannya juga sempat tertahan oleh keindahan bunga hingga ia memetik dan membawanya. Batu-batu yang dianggap berharga ikut disertakan olehnya. Kayu, kerang atau apapun yang membuatnya terkagum-kagum berusaha ia panggul naik ke kapal. Ternyata ia terlalu memaksa. Lalu apa yang terjadi?

Tidak ada lagi tempat untuknya. Barang-barang yang ia bawa, melebihi keperluan pokoknya harus terus ia gendong, panggul dan diangkat di atas pundaknya. Hendak dibuang, sudah tidak ada lagi kesempatan. Betul-betul terjepit di sudut sempit. Tidak ada juga penumpang lain yang ikut meringankan bebannya. Ia menyesal! Bahkan bunga-bunga telah berubah wangi menjadi busuk yang menyiksa penciumannya. Ia menyesal!

Setelah kapal menarik sauh. Dari pulau tersebut, kapal terus bergerak menjauh.

Ternyata sejumlah penumpang tertinggal di sana. Terlalu lama ia bersenang-senang. Sangat jauh ia pergi meninggalkan lokasi kapal. Ia tergoda dengan isi pulau sampai lupa dengan tujuan pertama. Bukankah kapal itu hanya bersandar singgah? Bukankah kapal itu akan melanjutkan pelayaran?

Ia terbuai dalam keasyikan-nya. Ia tergoda untuk mencicip buah-buahan. Ia disibukkan dengan menghirup wanginya bunga-bunga. Ia menghabiskan waktu untuk mengagumi keindahan pepohonan. Itupun ia mesti waspada dari ancaman binatang buas yang sewaktu-waktu mengganggu. Ia selalu berhati-hati bila ada onak duri yang bisa melukai tubuh.

Ingin menikmati keindahan pulau namun dikejar-kejar olah bayang-bayang ketakutan. Tidak pernah dalam ketenangan!

Saat teringat –setelah terombang-ambing dalam ketakutan- , ia kembali berjalan menuju dermaga keberangkatan. Di mana kapalku? Di mana kapalku? Di mana kapalku? Ia berteriak. Bingung, tenggorokan tercekat. Takut. Sampai akhirnya ia mati dalam kepayahan di tepi pantai.

Ada lagi kawannya yang tak bisa kembali ke tepi pantai, sebab telah tewas di terkam binatang buas. Ada yang hilang karena terperosok dalam jurang. Ada yang mati oleh bisa ular yang mematuknya. Ada yang kehilangan nyawa karena bingung arah, tak tahu hendak ke mana. Sangat memilukan!

00000_____00000

Inilah hakekat kehidupan dunia, Sobat Tashfiyah!

Ingat-ingatlah selalu! Waktu kita di dunia ini hanya sebentar. Tidak ada yang bisa memastikan berapa lama ia hidup di dunia. Kapan saatnya melanjutkan perjalanan menuju akhirat dengan berpindah ke alam barzakh, tidak ada yang tahu. Jangan menjadi penumpang yang akhirnya menyesal karena tertinggal kapal!

Carilah bekal secukupnya dan seperlunya. Apa saja yang kita perlukan sebagai bekal dalam perjalanan menuju akhirat? Teman kita di dalam kubur? Sebab penyelamat di padang Mahsyar? Hanya ibadah dan amalan shalih yang mengiringi setiap tahapan menuju surga. Tanpa bekal ibadah, akan sengsara hidup kita. Akan sempit kubur kita. Akan menderita kita di padang Mahsyar.

Jangan berlebihan mengejar dunia! Ambisi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, harus dihapus. Pangkat dan jabatan tidak ada gunanya untuk dikejar, apalagi harus menggunakan cara-cara kotor.Semua itu hanya akan memberatkan saja! Ingat penumpang yang menyesal karena membawa naik barang tidak berguna?

Allah berfirman ;

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. [Q.S. Al Baqarah:197]

Punyakah akal, Sobat Tashfiyah? Allah memanggil mereka yang berakal. Hanya orang berakal yang dapat memahami dengan baik akan hakekat dunia dan kehidupannya. Hanya orang yang berakal yang mampu mencerna bahasa kapal, penumpang, pulau dan perjalanan berikutnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, fa haadza mitsaalu ahlid dunya fiisy tighaalihim bi hudzudzihim al ‘aajilah, wa nisyaanihim mauridahum wa ‘aqibati amrihim. Wa maa aqbahu bil ‘aqili an taghurrahu ahjaarun wa nabaatun yashiiru hasyiiman, qad syaghala baalahu wa ‘awwaqahu ‘an najaatihi wa lam yashabhu.

Kapal, pulau, penumpang dan yang terkait, disebut oleh beliau sebagai permisalan tentang manusia yang hidup di dunia. Mereka sibuk, tenggelam dan terbawa arus kepentingan yang bersifat sesaat sehingga membuat lupa akan tujuan akhirnya.

Betapa piciknya, seorang hamba yang tertipu dengan materi kebendaan. Batu, pohon atau apapun itu. Padahal semua akan hancur, binasa dan tak berbekas. Mestinya surga menjadi cita-cita kita. Tekad dan puncak perlombaan kita. Ayo kumpulkan bekal secukupnya dan teruskan berlayar dengan mencari tempat lapang di atas kapal!

Baarakallahu fiikum. [Ust Mukhtar]