Tashfiyah
Tashfiyah

jidal dan debat kusir

9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Jidal dan Debat Kusir

Salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meninggalkan jidal (perdebatan) yang tercela. Para ulama dari masa ke masa sangat komitmen dalam mengamalkan prinsip yang mulia ini. Bukan karena mereka tidak mempunyai kapasitas ilmu dan kemampuan beradu argumen. Begitu banyak ulama ahlus sunnah yang mempunyai hafalan yang sempurna dan ketangguhan dalam menyampaikan argumen. Namun hal ini mereka tinggalkan semata-mata karena hendak melaksanakan perintah Allah dan  Rasul-Nya. Perdebatan dalam urusan agama menurut tinjauan niatannya bisa diklasifikasikan menjadi dua:

Perdebatan yang bertujuan untuk menetapkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan.

Maka yang demikian ini diperintahkan bahkan boleh jadi hukumnya adalah wajib atau hanya sekadar anjuran sesuai dengan tuntutan keadaan. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya,

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Q.S. An-Nahl : 125]

As-Sa’di berkata ketika menjelaskan tentang maksud dari melakukan bantahan yang terbaik dari ayat di atas, “Jika orang yang didakwahi menyangka bahwa dia berada di atas kebenaran atau dia menyeru kepada kebatilan, maka bantahlah dia dengan cara yang terbaik. Maksudnya adalah metode dakwah yang lebih mendukung untuk diterimanya dakwah secara akal dan dalil syar’i. Di antara metode tersebut adalah berargumen dengan dalil-dalil yang dia yakini kebenarannya. Karena yang demikian ini lebih mendukung untuk bisa mewujudkan tujuan dakwah tersebut. Di samping itu, bantahan tersebut hendaknya tidak menyebabkan munculnya permusuhan atau saling mencela sehingga sirnalah tujuan yang hendak dicapai. Hendaklah tujuan dari jidal tersebut adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan kebenaran bukan untuk mengalahkan lawan bicara atau tujuan yang semisalnya.”

Para pembaca yang budiman, dalam penjelasannya ini beliau mengingatkan setiap muslim yang hendak beradu argumen supaya meluruskan niat. Yaitu bertujuan semata-mata untuk mengikuti kebenaran dan pendapat yang kuat dalil-dalilnya. Dengan tujuan yang mulia ini, diskusi tersebut akan bisa berjalan secara ilmiah dan masing-masing pihak bisa menilai pendapat lawan bicaranya secara obyektif. Lain halnya dengan seseorang yang tujuannya tidak baik, misalnya untuk mempermalukan lawan diskusinya, membela mati-matian pendapat yang dipegangnya atau yang lainnya. Karena yang demikian ini akan membuat  tertutup akalnya untuk bisa berpikir secara proporsional dikuasai oleh emosi yang meluap-luap, dan tidak mau menerima kebenaran.

Adapun perdebatan yang tercela adalah setiap perdebatan yang bertujuan untuk membela kebatilan, perdebatan tentang sesuatu yang telah jelas kebenarannya, perdebatan yang tidak diketahui ilmunya oleh orang-orang yang berdebat atau berdebat dengan tujuan yang tidak baik.

Dalam sebuah hadis riwayat  Tirmidzi dari Abu Umamah, Nabi bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ: مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً

“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah sebelumnya berada di atas hidayah kecuali mereka suka berdebat”. Kemudian Nabi membaca ayat ‘mereka tidak memberi perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan tujuan untuk membantah saja.”

Al-Mubarakfuri mengatakan dalam Tuhfatul Ahwadzi, “Maksud dari hadits di atas adalah tidaklah kesesatan dan terjatuhnya mereka dalam kekufuran melainkan disebabkan jidal. Yaitu mendebat nabi mereka untuk membela kebatilan dan meminta didatangkannya mukjizat dengan penuh pengingkaran.” Oleh sebab itu, begitu banyak celaan yang diriwayatkan dari ulama terhadap debat kusir dan yang semisalnya. Imam Malik pernah berkata, “Aku membenci debat dalam permasalahan agama. Dan penduduk negeri kita (Madinah) senantiasa membenci dan melarangnya.” Imam Malik juga menegaskan tentang kebenciannya terhadap hal di atas, kecuali perbincangan yang bisa mendatangkan kebaikan. Al ‘Awam bin Hausyab berkata, “Waspadalah kalian terhadap perdebatan dalam agama. Karena hal itu bisa menggugurkan amal kalian.”

Bakar bin Mudhar menyatakan, “Jika Allah menghendaki kesesatan pada suatu kaum, maka Allah akan menenggelamkan mereka dalam perdebatan dan menghalangi mereka untuk beramal.”

Demikianlah keadaan para ulama salafus shalih, keengganan mereka untuk berdebat sekali lagi bukan karena mereka bodoh dan bukan pula karena tidak pandai dalam berargumen. Namun semata-mata rasa takut mereka kepada Allah dan komitmen mereka yang tinggi untuk melaksanakan perintah Nabi. Allahu a’lam. [Abu Hafy Abdullah]

 

Sumber Tulisan:
Jidal dan Debat Kusir