Baru sesaat mencoba shalat dengan kyusu’, tiba-tiba muncul bangga diri, merasa hebat, shalatnya pasti akan diterima. Baru sejenak berdiri agak tenang, mendadak terlintas perasaan senang karena kebetulan ada orang yang lihat. Subhanallah, menjaga hati memang paling sulit. Apalagi tentang keikhlasan. Begitu cepat hati berubah. Dari satu warna ke warna yang lain, dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Pantaslah ulama besar sekelas Sufyan Ats Tsauri pernah berujar, “Masalah terberat untuk diobati adalah niatku. Betapa cepat ia berbolak-balik.”
Pertanyaan yang harus kita renungkan jawabannya, ‘Sudahkah kita berusaha ikhlas dalam beramal?’ Apakah kita sudah tidak peduli dengan pujian orang lain, apakah kita hanya berharap balasan akhirat saja?
Sangat berat bagi jiwa ini untuk menjawabnya. Padahal, kita sadar dan yakin, tanpa keikhlasan, amalan seberapa pun tiada berguna. Bagaikan debu tertiup angin, tidak bernilai. Bahkan, akan menjadi bumerang bagi pemilik amalan. Ingatlah hadits riwayat Muslim tentang tiga golongan orang pertama yang neraka Jahanam dinyalakan dengan mereka. Semua karena riya’, tidak ikhlas dalam beramal. Padahal secara kasat mata mereka melakukan amalan-amalan yang besar, bahkan sangat besar. Berjihad, sedekah, dan menuntut ilmu.
Kita jauh dari Sufyan Ats Tsauri, kita pun bukan ahli sedekah, jihad, atau penuntut ilmu yang sesungguhnya. Namun, bagaimana pun ikhlas adalah kewajiban yang harus diwujudkan. Semoga Allah membimbing kita semua untuk ikhlas dalam diam dan gerak kita, dalam ucapan dan amalan kita, lahir dan batin. [Farhan].