Tashfiyah
Tashfiyah

bertawakkal, berbahagia

7 tahun yang lalu
baca 5 menit
Bertawakkal, Berbahagia

Bertawakal memang perintah Allah. Karena perintah, sebagai hamba kita harus melaksanakannya. Bukan karena terpaksa atau karena tidak ada pilihan yang lain. Namun, perintah Allah harus dilaksanakan dengan dilandaskan pada raja’, mahabbah dan khauf. Harapan, cinta dan rasa takut.

Akan tetapi, jika kita agak sedikit cerdas saja atau menambah ketelitian terkait perintah-perintah Allah (apalagi sampai lebih dalam lagi), kesimpulan yang diperoleh dari tiap-tiap ibadah; ternyata manfaat dan maslahatnya kembali untuk kita sendiri.

Subhanallah!

Bertawakal itu sangat menyenangkan. Sebab, semua aktivitas dan kegiatan dalam keseharian kita yang dilaksanakan dengan pondasi tawakal, tidak akan mungkin berujung dengan kesedihan, sesal, kecewa atau sakit hati. Apa pun yang ia jalani, ia hadapi, ia rasakan dan ia peroleh, diyakini secara penuh sebagai ketentuan Allah, Zat yang Maha Bijaksana.

Hamba yang bertawakal pasti tentram hidupnya. Akan tenang sikap dan pikirannya, dalam keadaan genting sekalipun.

Sebuah kisah dibawakan oleh sahabat Jabir bin Abdillah untuk kita. Kisah itu diriwayatkan oleh Al Bukhari (no. 2910) dan Muslim (no. 843). Salah satu cerita yang terekam dalam perang Dzatur Riqa’. Seperti biasa, jika dalam perjalanan, lalu beliau memutuskan untuk berhenti dan beristirahat, para sahabat akan mencari pohon yang paling rindang agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat berteduh di bawahnya.

Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kesempatan untuk beristirahat. Para sahabat akan menjauh agar tidak mengganggu ketenangan beliau. Nah, hari itu, ada satu orang musyrik mengambil pedang Rasulullah n yang tergantung di salah satu dahan pohon. Setelah terbangun, orang itu mengancam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menghardik, “Apakah engkau tidak takut kepadaku?”

“Tidak takut,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang itu bertanya lagi, “Jika demikian, siapa gerangan yang akan membantumu menghadapiku.” Dengan penuh ketenangan, sebagai pancaran tawakalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Allah.” Mendengar jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar nama Allah disebut ditambah lagi dengan wibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tangan orang itu bergetar sehingga pedang yang dalam genggamannya terjatuh.

Cerita belum berakhir. Pedang itu lalu diambil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu balik diarahkan kepada orang tersebut. Beliau ganti bertanya, “Sekarang, siapakah gerangan yang akan membantumu untuk menghadapi masa seperti ini?” Orang itu lantas menyampaikan permohonannya untuk diampuni.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sempat mengajaknya masuk Islam. Walaupun menolak masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkannya pergi. Sebab, orang itu berjanji tidak akan memusuhi Rasulullah juga berjanji tidak akan membantu orang-orang yang memusuhi beliau. Setelah bertemu kembali dengan teman-temannya, orang itu menyimpulkan, “Aku baru saja menemui orang paling baik sebelum bertemu kalian”

Masya Allah, buah dari keyakinan. Hasil indah dari sikap tawakal. Sangat menyenangkan, bukan? Masalah serumit apa pun dapat terselesaikan. Tanpa meninggalkan permusuhan atau kebencian. Bahkan dengan tawakal yang tinggi, seorang hamba akan dicintai dan disayangi orang lain. Rasulullah n sebagai contohnya.

Bertawakal juga menjadi faktor kuat untuk memperoleh limpahan rezeki. Bukan sekadar rezeki yang kita bayangkan atau dipikirkan. Tidak menutup kemungkinan, hasil yang diperoleh akan jauh lebih baik dari yang telah direncanakan. Katakanlah gagal, kurang atau tidak sesuai dengan harapan, bukankah Allah menjanjikan barakah dan rahmah untuk mereka yang berusaha dengan landasan tawakal?

Jangan mau kalah dengan burung! Manusia jauh lebih baik dari burung. Manusia mempunyai banyak kelebihan dibandingkan seekor burung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus menyebut burung sebagai objek analog dan proyek percontohan. Beliau bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Andai kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, kalian pasti diberi limpahan rezeki sebagaimana seekor burung memperolehnya. Burung itu terbang di kala pagi dalam laparnya, lalu kembali pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” [H. R. Tirmidzi (2344)]

Tawakal bukan berarti diam menunggu tanpa usaha. Lihatlah betapa burung yang digambarkan Rasulullah n juga berusaha. Usaha apa yang ia lakukan? Terbang sejak pagi, berkeliling mencari makan untuknya juga untuk anak-anaknya. Ia tidak kenal lelah untuk mengitari angkasa, mencari di sela-sela pepohonan atau rerumputan, menemukan rezekinya di atas bumi Allah. Terbangnya adalah usaha.

Jangan sampai Sobat Tashfiyah bertanya, “Loh, burung kan bisa mengambil makanan dari mana saja. Bahkan tanaman petani pun diambilnya?”

Ingatlah bahwa burung bukan makhluk mukallaf, yang dibebani hukum syariat. Lalu, bukankah manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan burung? Dengan akal dan kemampuannya, manusia diberi banyak jalan dan banyak pilihan oleh Allah. Yang penting adalah berusaha dengan cara-cara yang dihalalkan Allah.

Bertawakal akan mendapat jaminan dari Allah. Apa yang dijamin dan yang terjamin? Semua hal dan seluruh yang ia lakukan dengan berlandaskan tawakal! Jika ia mencari rezeki, Allah akan mencukupinya. Jika ia menuntut ilmu, Allah akan memberikan kecukupan ilmu untuknya. Jika ia menghafal Al Quran, ia akan diberi hafalan yang cukup. Dan seterusnya.

Mengenai hal ini, Allah berfirman dalam surat At Thalaq ayat 3 yang artinya, “Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” [Q. S. Ath Thalaq:3]

Nyatanya bagaimana? Terkadang, kita merasa rezeki belum tercukupi. Ilmu yang dicari seakan bertemu dinding tebal sehingga kita kesulitan untuk mempelajari. Hafalan yang sudah sebegitu susahnya, amat cepat hilangnya. Apa yang terjadi sesungguhnya?

Barangkali nilai tawakal kita yang masih rendah. Bisa saja ikhtiar kita yang terlalu lemah. Atau mungkin tafsir dari ahli tafsir abad ini, Syaikh As Sa’di, bisa memberikan pencerahan. Terkait ayat di atas, beliau mengatakan, “Hanya saja, bisa jadi karena hikmah ilahi, membuat jaminan kecukupan itu ditangguhkan waktunya yang justru lebih tepat untuknya. Oleh sebab itu Allah berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya.’ Artinya, qadha dan qadar-Nya pasti terlaksana. Akan tetapi, ‘Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.’ Artinya, waktu dan kadarnya tidak akan meleset atau terlambat”

Sungguh luar biasa pengaruh tawakal dalam kehidupan seorang hamba! Benar-benar menyenangkan dan menjaminkan ketenteraman. Oleh sebab itu, marilah belajar tentang tawakal untuk kemudian praktik nyata dalam keseharian kita. Wallahul muwaffiq

[Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai]