Tashfiyah
Tashfiyah

berserah kepada syariat

7 tahun yang lalu
baca 3 menit
Berserah Kepada Syariat

Islam artinya berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, serta tunduk patuh kepada-Nya. Makna ini terwujud dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat sekaligus pengamalan konsekuensinya. Laa iliha illallah, meniadakan seluruh peribadahan selain Allah sekaligus menetapkan peribadahan hanya kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya sedikit pun.
Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, persaksian ini berkonsekuensi membenarkan semua yang beliau kabarkan, menaati perintah beliau, menjauhi setiap yang beliau larang dan peringatkan serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau ajarkan.
Jadi, muslim sejati adalah yang senantiasa menimbang segala sesuatu dengan dalil Al-Qur`an ataupun Sunah (bimbingan Rasulullah), setiap permasalahan yang muncul dikembalikan kepada keduanya. Muslim sejati tidak akan menyalahi keduanya. Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” [Q.S. Al-Hujuraat : 1].

Asy-Syaikh As-Sa’dy Rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini mengandung (pengajaran) adab terhadap Allah ta’ala dan Rasulullah, mengagungkan dan memuliakannya. Allah perintahkan hamba-Nya kaum mukminin untuk mewujudkan konsekuensi keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, berupa pelaksanan perintah-perintah-Nya, dan larangan-larangan-Nya, berjalan di belakang perintah-perintah Allah, mengikuti sunah (bimbingan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seluruh urusan mereka, tidak boleh mendahului Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berucap sebelum Allah berucap, tidak boleh memerintah sebelum Allah memerintah. Inilah adab yang wajib bersama Allah dan Rasul-Nya. Inilah tanda kebahagiaan dan keberuntungan hamba.” [Taisir Al-Kariim Ar-Rahman].
Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”[Q.S. An-Nuur:63].
Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan, “Tahukah kalian, apa yang dimaksud fitnah (cobaan) dalam ayat ini? Fitnah (cobaan) di sini adalah kesyirikan, boleh jadi seseorang menolak sebagian sabda Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam, lalu akan tumbuh dalam hatinya bibit kesesatan, kemudian akhirnya binasa.”
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Hampir-hampir kalian dihujani batu dari langit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian tetapi engkau mengatakan Abu Bakr dan Umar mengatakan perkataan yang lain.”
Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kalian semua, dua manusia terbaik dalam umat ini setelah Nabi-Nya saja tidak boleh dibenturkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi pendapat selain mereka.
Hal ini senada dengan penuturan Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah, “Umat sepakat bahwasanya siapapun yang telah mengerti sunah tidak halal untuk meninggalkannya karena perkataan seseorang pun.”
Peran akal hanyalah sebagai alat untuk memahami wahyu dan mentadaburinya. Sehingga, kita mampu mengenal kebenaran sebagai kebenaran, kemudian menyakini dan mengamalkannya, mengetahui kebatilan sebagai kebatilan untuk menjauhinya. Allah berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”[Q.S. Shaad:29]. Allahu a’lam. (Ustadz Farhan)