Tak bisa dipungkiri, banyak dari kita sekarang yang kurang percaya diri dengan identitas keislamannya. Mulai dari tren berpakaian hingga ke pola pikir. Kita merasa lebih nyaman kemana-mana mengenakan kaos dan celana jeans. Sebaliknya, kita merasa minder, merasa salah kostum bila mengenakan baju koko atau jilbab. Kita lebih suka mengambil inspirasi dari Chicken Soup daripada membaca kisah para sahabat. Merasa lebih “cerdas dan intelek” dengan menonton Oprah Show daripada datang ke pengajian. Kita merasa takjub ketika tahu Mark Zuckerberg ternyata membuat Facebook di usia 19 tahun, tapi kita merasa biasa saja mengetahui Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mulai memperjuangkan Islam dengan ujung pedangnya ketika berusia 8 tahun. Kita bahkan terbiasa memulai hari kita dengan membaca koran, bukan dengan membaca Al-Qur’an.
Bahkan, ada segelintir dari kita yang justru merasa lebih nyaman bergaul dengan temannya yang bukan muslim dibanding dengan saudaranya sesama muslim, dengan alasan bahwa temannya itu lebih toleran. Hohoho… maksud “toleran” di sini, bahwa temannya yang bukan muslim tersebut akan cuek saja, apakah kita shalat atau tidak. Segelintir itu jugalah yang merasa risih dengan teman muslimnya yang “tidak toleran”, karena teman muslimnya tersebut sering menasehatinya untuk menjauhi pacaran.
Lambat laun, hati kita cenderung lebih menyukai mereka yang bukan muslim tersebut. Hal-hal inilah yang akan melemahkan hati, sehingga tiap akhir tahun, dengan mudahnya kita mengirim SMS “‘Met Natal & Tahun Baru”. Tidakkah kita merasa bahwa dengan SMS ini, sama saja menyatakan keridhaan kita atas agama mereka? Apa kita mau menyatakan bahwa agama mereka benar?
Saudaraku…………….
Tahukah engkau bahwa kaum musliminlah yang dulu menguasai peradaban dari eropa hingga asia selatan
Kaum musliminlah yang menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, dan menjadi rujukan dunia, disaat manusia mencampakkan ilmu pengetahuan
Kaum musliminlah yang pertama kali memuliakan wanita, ketika manusia menganggapnya sebagai makhluk rendahan
Namun, dengan berbagai prestasi kaum muslimin tersebut, mengapa justru kita sekarang terpuruk?
Kenapa kita sekarang malah minder dalam ber-islam?
Ada berbagai macam alasan mengapa kita banyak yang tidak percaya diri dengan identitas keislamannya. Namun semuanya bermuara pada satu sebab. Yaitu kurangnya ilmu agama kita. Minimnya ilmu agama membuat kita tidak yakin akan kebaikan dari agama kita. Sehingga, segala aturan dalam syariat itu dianggap sebagai kekangan, hal yang membuat dada kita terasa sesak. Harus make jilbab lah! Pacaran nggak boleh lah! Harus shalat di masjid lah! Padahal syariat yang agung ini, mengatur hal-hal tersebut demi kebaikan kita sebagai manusia.
Media juga memiliki andil besar dalam membentuk pola pikir kita. Hegemoni barat dalam media sudah melewati pintu-pintu rumah kita setiap hari melalui televisi. Acara fiksi, gaya hidup, musik hingga talkshow, semua sebagian besar dari barat. Melalui televisi lah pola pikir kita dibius: barat adalah sumber kemajuan, apa-apa yang datang dari barat adalah kebenaran.
Di tengah serbuan produk kebudayaan barat tersebut, kita harus bisa memilih, mau sepenuhnya mengekor buta (taqlid) terhadap kebudayaan barat, atau tetap berpegang teguh pada kesempurnaan ajaran Islam dengan memilah apa-apa yang datang dari mereka.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan” [Q.S. Al-Balad:10]
Namun, bukan berarti kita menolak secara mutlak apa-apa yang datang dari mereka. Yang dilarang untuk diikuti, adalah apa-apa yang merupakan kekhasan mereka, baik itu penampilan, perayaan maupun pola pikir mereka. Dalam hal-hal yang sifatnya sarana duniawi (teknologi), kita boleh mengambil dari mereka.
Dari berbagai alasan di atas, maka :
1.Mulailah belajar agama secara serius. Ilmu agama tidak hanya yang kita dapatkan melalui 2 jam pelajaran agama dalam seminggu di kelas, ataupun hanya melalui khutbah Jumat di masjid. Mulailah ikut pengajian-pengajian. Pilihlah pengajian yang materinya mengajarkan tauhid terlebih dahulu. Karena tauhid-lah yang merupakan inti agama kita. Dengan tauhid yang benar, maka kita bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan tauhid yang benar, maka kita belajar mengikhlaskan apa-apa yang kita lakukan, sehingga selalu dinilai ibadah disisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
2.Memilih pergaulan yang baik. Teman yang baik akan mendorong kita untuk melakukan hal yang baik. Dia juga akan mengingatkan kita ketika kita berbuat salah.
3.Memilah media. Apa yang kita lihat dan dengar akan mempengaruhi pola pikir kita. Jauhilah menonton cerita fiksi dan membaca komik. Banyak-banyaklah membaca kisah-kisah keteladanan orang-orang shalih. Ambillah pelajaran dari cara hidup mereka yang bersahaja. Lalu, berhati-hatilah juga terhadap acara-acara diskusi/talkshow yang ada di televisi. Karena kebanyakan acara diskusi tersebut tidak berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sehingga hasil dari acara diskusi seringkali bertentangan dengan agama kita. Acara seperti ini walau tidak terkesan mendikte, tapi menyusupi pola pikir kita secara halus dengan metode dialog, diskusi, obrolan, dan semacamnya.
Saudaraku……
Marilah kita mulai memulai hidup yang lebih baik. Memilih hidup dengan cara Islam, hidup dengan apa-apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukankah kita sekarang sudah cukup dewasa? Sudah bisa mengambil keputusan? Ingatlah bahwa masa muda adalah suatu titik penentuan yang akan menentukan masa depan kita. Tiap orang memiliki pertimbangan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi. Namun, orang berakal pasti akan menentukan pilihan hidupnya dengan pilihan yang merupakan wujud syukur atas nikmat terbesar yang didapatkannya, yaitu nikmat hidayah Islam.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sungguh, kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur, ada pula yang kufur” [Q.S. Al-Insan:3]. Wallahu alam bish showwab.
(ditulis pada pertengahan Februari, ditengah keprihatinan atas banyaknya pemuda Islam yang ikut merayakan Valentine’s Day)