Tashfiyah
Tashfiyah

aurat muslimah

8 tahun yang lalu
baca 6 menit
Aurat Muslimah

Bagi kaum mengaji, aurat bukanlah istilah yang asing. Dalam pembahasan fikih, ditemukan sekian banyak masalah yang erat kaitannya dengan aurat. Shalat misalnya. Sah dan tidaknya shalat turut dipersyaratkan dengan aurat yang mesti tertutup. Oleh sebab itu, di ranah fikih, batasan-batasan aurat diulas secara mendetail.

Terkait wanita muslimah, ada pembahasan aurat yang harus tertutup saat melaksanakan shalat. Ada juga pembicaraan aurat saat ia berhadapan dengan laki-laki non mahram. Memang, wanita muslimah memiliki batasan aurat yang cukup lengkap dan sempurna. Justru di sinilah salah satu bukti Islam sangat memerhatikan kaum wanita.

Aurat wanita tidak dapat dipisahkan dari rasa malu yang terpatri secara fitrah pada dirinya. Sikap malu yang akan mendorong seorang wanita untuk memerhatikan auratnya. Tanpa sikap malu, aurat baginya bukanlah sesuatu yang harus dijaga, dilindungi dan bernilai.

Imam Al Mubarakfuri dalam karyanya berjudul Tuhfatul Ahwadzi (4/283) menerangkan mengapa batasan-batasan tubuh itu disebut aurat? Karena, anggota tubuh tersebut membuat malu apabila dilihat orang lain. Iya, seharusnya rasa malu menyelimut di sekujur tubuh saat sebagian dari aurat terlihat oleh orang lain. Akan tetapi? Akan tetapi –sayang seribu kali sayang-, rasa malu sudah tercabut dari pribadi sekian banyak kaum wanita.

Di dalam Shahih Muslim, diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang seorang pemuda yang menyatakan niatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menikahi seorang wanita Anshar. Sebelum menjalani akad nikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah engkau pernah melihat wanita tersebut?”.

Saat si pemuda itu menjawab belum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam bentuk perintah:

فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا, فإن في أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئًا

“Pergi dan lihatlah dia! Sungguh, ada sesuatu yang berbeda pada mata sebagian orang Anshar.”

Sobat Tashfiyah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta anak muda itu melakukan nazhar terlebih dahulu? Nazhar adalah salah satu tahapan menjelang akad nikah untuk melihat wanita calon istri. Bukankah hal ini membuktikan bahwa wanita tersebut selalu berhijab dalam kesehariannya? Iya, berhijab artinya mengenakan pakaian yang menutup auratnya. Andainya wanita tersebut tidak menutup tubuhnya dengan hijab, apa perlunya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan anak muda itu untuk melihatnya terlebih dahulu?

***

Bagi wanita muslimah, istri dan putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan figur teladan utama. Apa pun yang terbaik untuk mereka, pastilah menjadi yang terbaik untuknya. Semua hal yang ditinggalkan oleh mereka, ia pun berusaha untuk meninggalkannya. Termasuk dalam tata cara berpakaian.

Di dalam surat Al Ahzab ayat 59, Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengondisikan istri dan putri beliau ketika keluar rumah untuk menggunakan pakaian terbaik. Pakaian terbaik bagi wanita muslimah adalah pakaian yang telah dipilih oleh istri dan putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti apakah itu?

Allah berfirman yang artinya, “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. Al Ahzab:59]

Jilbab? Iya, jilbab merupakan ciri khas dari pakaian muslimah. Akan tetapi, jilbab dalam pengertian siapa? Apakah jilbab dengan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diartikan dengan “Kerudung lebar yg dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada”?

Ataukah jilbab dalam pemahaman masyarakat umum yang tipe Paris atau tipe Mode pun disebut dengan jilbab? Marilah kita membaca keterangan ulama Salaf mengenai jilbab yang disebutkan Allah di dalam ayat di atas.

Al Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan jilbab dengan pengertiannya, “ar ridaa’ fauqa al khimaar”. Selembar kain yang diletakkan di atas penutup kepala. Demikianlah tafsir dari Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Basri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i, Atha’ Al Khurasani dan ahli tafsir lainnya.

Terkait ayat di atas, sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan, “Allah memerintahkan kaum wanita mukminah, jika keluar rumah dalam sebuah keperluan, untuk menutup wajahnya dengan menggunakan jilbab dari atas kepalanya. Lantas hanya menampakkan satu mata saja.”

Saat Abidah As Salmani ditanya oleh Muhammad bin Sirin tentang tafsir ayat di atas, beliau menjawab, “Ia tutup kepala dan wajahnya. Ia hanya menampakkan mata sebelah kiri saja”

Al Imam Al Bukhari (4759) meriwayatkan pernyataan ibunda Aisyah saat ayat 31 surat An Nur diturunkan. Ibunda Aisyah mengatakan, “Kaum shahabiyah menggunting kain sarung mereka untuk digunakan sebagai penutup wajah”. Dalam riwayat sebelumnya, ibunda Aisyah menambahkan, “Semoga Allah merahmati kaum wanita yang pertama-tama melakukan hijrah. Mereka menggunting kain mereka untuk digunakan sebagai penutup wajah.”

Dari keterangan beberapa riwayat di atas, dipahami bahwa jilbab yang sempurna adalah sampai menutupi wajah. Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat ulama yang cukup kuat apakah menutup wajah hukumnya wajib atau sunnah.

Bahkan pilihan warna pun disebutkan oleh istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibunda Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkisah bahwa kaum wanita Anshar demi mengamalkan ayat di atas, mereka jika keluar rumah menggunakan pakaian berwarna hitam. (walau tidak berarti harus hitam, red.)

Barangkali ada yang bertanya, “Bukankah perintah untuk berpakaian dengan cara seperti ini ditujukan untuk istri dan putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?”

Benar! Perintah di atas ditujukan untuk istri dan putri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, bukankah setiap wanita muslimah diharuskan untuk mencontoh dan meneladani mereka? Bukankah istri dan putri Nabi merupakan profil wanita-wanita suci yang sangat menjaga kehormatannya? Apakah engkau, wahai saudari muslimah, merasa lebih baik dari mereka?

Setiap hukum yang berlaku pada istri dan putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku pada setiap wanita muslimah! Kecuali memang ada dalil yang menyebutkan bahwa hukum tersebut khusus untuk istri dan putri Nabi. Lantas, apakah kita mempunyai alasan untuk membedakan antara istri dan putri Nabi dengan kaum muslimah secara umum dalam hal berpakaian?

Imam As Syinqithi di dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) secara detail berbicara mengenai hal ini, saat menafsirkan surat Al Ahzab ayat 53. Di antara pernyataan beliau adalah, “Berdasarkan keterangan kami tadi, Anda tentu dapat menyimpulkan bahwa di dalam ayat mulia di atas terdapat dalil yang amat tegas bahwasanya kewajiban berhijab adalah sebuah hukum yang bersifat menyeluruh pada setiap wanita muslimah. Tidak hanya khusus untuk istri-istri Nabi.”

Dengan demikian, tidak ada satu pun alasan yang dapat dibenarkan untuk membeda-bedakan istri Nabi dengan kaum muslimah dalam hal berpakaian. Yakinlah, wahai saudariku, apa pun yang dipilihkan Allah untuk istri dan putri Nabi, itulah yang terbaik bagimu. Jangan pernah meragukan hal ini!

***

Hidup di akhir zaman memang tidaklah mudah. Ada arus besar dan deras yang mesti ditentang dan dilawan. Namun, apakah kita akan membiarkan diri kita terhanyut? Apakah kita rela apabila kehancuran sebagai ujung dari arus deras itu, tidak berusaha dilawan? Yakinlah bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya.

Langkah terbaik bagimu, wahai saudariku, jika memutuskan untuk berhijab sesuai syari’at Islam. Berpakaian muslimah seperti istri dan putri Nabi. Langkah terbaik adalah dengan mencari dan menemukan sosok wanita teladan di dekatmu. Seorang wanita yang bisa menjadi pembimbing dan penasihat. Seorang wanita yang mampu mendukung dan memotivasi dirimu.

Sungguh! Berhijab merupakan sebuah keputusan indah dalam hidupmu. Namun, konflik demi konflik tentu akan menyertai langkahmu. Hal itu untuk mengukur sejauh mana kesungguhan dan keseriusanmu, wahai saudariku. Nah, di sinilah pentingnya seorang figur yang bisa membimbingmu.

Mudah-mudahan keputusanmu untuk berhijab merupakan awal dari keindahan hidup yang akan terus terangkai. Sungguh, hanya dengan hidup dalam ketundukan sempurna di bawah syari’at-Nya yang agung, kita akan menemukan ketenangan dan ketenteraman abadi. Semoga Allah mencurahkan taufik untukmu, wahai saudariku. Amin.

[Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai]

Sumber Tulisan:
Aurat Muslimah