Nampak dari pandangan kasat mata, hidupnya baik-baik saja. Ekonomi kelas atas, tidak kurang suatu apa. Bukan hanya rumah yang mentereng tingkat, kendaraannyapun mobil terhitung baru masih mengkilat. Orang menilai kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Namun, rumah itu sepi. Ternyata ada sesuatu yang kurang. Belum pernah terdengar tangisan keras seorang bayi. Padahal sudah sekian tahun menikah. Allah l belum berkenan mengaruniakan anak kepada keluarga itu.
Berbagai usaha tidak kurang telah ditempuh. Konsultasi pada para ahli, berobat dan terapi, sampai bayi tabung telah dilakukan. Hasilnya masih nihil. Memang, sebuah keluarga belum sempurna tanpa kehadiran anak. Rasanya hambar tanpa gelak canda mereka. Rumah seolah semakin sepi tanpa rengek tangis mereka.
Fitrah manusia memang cinta terhadap anak. Makanya, perasaan sedih dan gelisah saat buah hati tak kunjung datang. Akan semakin panik setelah sebab-sebab ditempuh, waktu dan biaya dikeluarkan, namun belum juga ada tanda kehamilan. Sungguh, buah hati adalah karunia yang selalu dinanti. Mahabenar Allah l dalam firman-Nya yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” [Q.S. Ali Imran:14]. Anak dan harta adalah perhiasan kehidupan dunia. Artinya hidup akan indah terasa nikmat berbahagia dengannya. Allah l berfirman yang artinya, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” [Q.S. Al Kahfi:46].
Bukan hanya kita, bahkan para nabi pun mengharap akan hadirnya anak. Dalam banyak ayat Al Quran kita bisa membaca kisah mereka menanti buah hati. Nabi Ibrahim p yang menunggu karunia anak hingga tua, Nabi Zakaria p yang tiada putus asa dalam doa, juga bagaimana kesedihan Nabi Ya’qub p yang mendalam saat hilang salah satu putranya, yaitu Yusuf p.
Allah l pun mengajarkan kepada kita doa orang saleh dalam meminta anak. Lebih dari itu, syariat Islam mengatur semua sebab dalam mewujudkannya. Mulai kriteria dan cara memilih pasangan, prosesi pernikahan, dan seterusnya, sampai doa khusus mendatangi istri. Ini semua menjadi bukti kuat bahwa manusia secara fitrah dan tabiat menginginkan anak. Karena Islam adalah agama fitrah.
Pembaca, betapa bahagia seorang yang mendapatkan anugerah berupa anak. Ya, manusia hanyalah sebatas usaha, Allah l lah yang memberikannya. Allah l memberikan anak laki-laki atau perempuan, atau laki-laki dan perempuan sekaligus sesuai dengan hikmah dan keutamaan-Nya. Allah l berfirman yang artinya, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” [Q.S. Asy Syura:49-50].
Allah l semata yang mengatur alam semesta ini. Dia yang menahan, dan Dia yang memberi. Nikah hanyalah sebatas sebab saja. Selanjutnya terserah kepada Allah l, siapa yang akan diberi, dan siapa yang tidak diberi. Baik laki-laki atau perempuan semuanya adalah anugerah yang harus disyukuri. Dua anak bagus. Tiga anak lebih bagus. Empat anak istimewa. Semakin banyak anak berarti karunia Allah l semakin besar. Bahkan, Rasulullah ` menganjurkan untuk banyak anak. Maksudnya, terus berusaha dan berdoa meminta anak yang banyak dan saleh salehah. Namun, bagi yang Allah l takdirkan untuk diberi satu anak pun harus tetap mensyukurinya dengan sebenarnya. Karena anak adalah karunia.
Ya, bersyukur dengan sebenarnya, itulah kewajiban kita. Walaupun itu tidak mudah, namun harus tetap diusahakan. Sama dengan pelaksanaan tugas dan beban tanggung jawab yang lainnya, terus berusaha sambil berdoa.
Bagaimanakah bentuk syukur yang sebenarnya itu? Yaitu dengan memenuhi tiga rukun syukur sekaligus tentunya. Asy Syaikh Abdurrahman bin Nasir As Sa’di t menjelaskan dalam kitab Al Qaulul Sadid, bahwa syukur harus dengan kalbu, yaitu yakin bahwa karunia itu dari Allah l, menggunakan lisan dengan memuji dan menyanjung-Nya, serta dengan anggota badan berupa memanfaatkannya dalam ketaatan kepada-Nya. Itulah rukun syukur.
Ringkasnya, menyadari bahwa anak adalah amanah, kemudian mengemban amanah ini dengan sebaik-baiknya. Menjaga mereka, memenuhi nafkah lahiriyah dan bathiniyah berupa pengajaran ilmu agama. Inilah yang terpenting. Penjagaan terhadap anak tentu bukan hanya kesehatan, keselamatan dalam kehidupan dunia saja. Bahkan lebih dari itu adalah mengupayakan keselamatan di akhirat. Ini akan terwujud tidak ada kata lain kecuali pengajaran keagamaan. Demikian Allah l menyebutkanya dalam Al Quran sebagai satu-satunya tugas kepala keluarga. Allah l berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [Q.S. At Tahrim:6].
Penjagaan terhadap anak tentu bukan hanya kesehatan, keselamatan dalam kehidupan dunia saja. Bahkan lebih dari itu adalah mengupayakan keselamatan di akhirat. Ini akan terwujud tidak ada kata lain kecuali pengajaran keagamaan.
Inilah tanggung jawab besar sebagai kepala keluarga. Yaitu menjaga mereka dari api neraka. Maksudnya diterangkan oleh Ibnu Katsir t dalam kitab tafsir beliau bahwa, “Perintahkanlah mereka untuk mengerjakan perbuatan yang makruf, laranglah dari setiap kemungkaran. Jangan kalian biarkan anak-anak begitu saja, sehingga dilahap api neraka.” Sahabat Ali bin Abi Thalib z menjelaskan, “Ajarkan kepada mereka adab islami dan ilmu agama Islam ini.” Sementara Abdullah bin Abbas z menafsirkan, “Laksanakan ketaatan kepada Allah l, jauhilah kemaksiatan kepada-Nya, perintahkan keluarga kalian untuk berzikir. Pasti Allah l akan menyelamatkan kalian dari api neraka.” [Tafsir Ibnu Katsir].
Dalam makna yang sama, Allah l berfirman yang artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” [Q.S. Thaha:132]. Artinya, kita hanya diperintahkan untuk menjaga ketaatan dan kesalahen keluarga. Bukan mengupayakan harta yang berlebih untuk mereka. Bahkan, Allah l lah yang akan memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa dalam penghambaan dan pengabdian diri kepada-Nya. Oleh sebab itu, Allah l berfirman setelah menyebutkan hikmah penciptaan jin dan manusia, yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Q.S. Adz Dzariyat:56-58].
Harta melimpah, adalah perkara mubah tidak dilarang. Selama didapat dengan cara yang halal dan disalurkan pada yang halal pula. Juga tidak menghalangi dan membuat lalai dari akhirat. Memberi nafkah kepada keluarga pun adalah kewajiban yang bernilai ibadah. Namun, yang ingin ditekankan adalah bahwa keselamatan mereka dari api neraka adalah yang paling utama. Sehingga itulah yang paling harus diperhatikan. Sekali lagi, caranya dengan pengajaran agama yang benar kepada anak dan keluarga.
Jelas memerlukan kesungguhan dan kerja keras tanpa henti dalam memikul amanah ini. Terus berusaha dan berdoa dalam mewujudkannya adalah keharusan. Semoga dengannya kita bisa memberikan pertanggungjawaban di akhirat. Sebagaimana dalam hadis berikut, Rasulullah ` bersabda:
“Kalian semua adalah penggembala, dan semua akan dimintai pertanggungjawaban terhadap gembalaannya. Seorang pemimpin adalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Seorang laki-laki adalah penggembala dalam keluarganya, akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Seorang wanita adalah penggembala dalam rumah suaminya, akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Seorang pembantu adalah penggembala pada harta tuannya, akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Kalian semua adalah penggembala, dan semua akan dimintai pertanggungjawaban terhadap gembalaannya.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abdullah bin Umar z].
Bagi yang belum dikaruniai anak, tidak boleh putus asa. Bahwa rahmat Allah l luas tidak terbatas. Kita mengambil pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim p dan Nabi Zakaria p, akhirnya Allah l karuniakan anak di usia senja. Karena selalu berusaha dan tidak putus dalam doa. Usia yang tidak produktif, bahkan vonis istri yang mandul bukan halangan sama sekali untuk tetap meminta. Siapakah yang mampu menahan kehendak-Nya?