Tashfiyah
Tashfiyah

adat sebagai pijakan hukum, bukan sumber hukum

7 tahun yang lalu
baca 7 menit
Adat Sebagai Pijakan Hukum, Bukan Sumber Hukum

Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi sekalian alam. Islam pun tersebar mulai dari penjuru timur hingga barat dunia. Karena itulah, pasti terjadi perbedaan budaya dan adat dari satu tempat dengan tempat lainnya. Allah l, peletak syariat ini, adalah Dzat Yang Mahahikmah. Tentulah syariat yang mulia ini tidak langsung membabi buta memberangus semua tradisi dan budaya yang ada. Bahkan, Islam mengakomodasi adat dan kebudayaan itu sebagai bagian dari hukum syar’i.

Pembaca, judul pada tulisan ini merupakan salah satu kaidah ushul fiqh kulli (pokok dasar fikih global). Kaidah ini merupakan salah satu perwujudan Islam rahmatan lil ‘alamin yang mengakomodasi adat dan kebudayaan tersebut. Namun, tidak semua adat bisa diaplikasikan dalam kaidah ini. Adat yang bisa dipakai di dalam kaidah ini hanyalah al ‘urf ash shahih, adat yang tidak bertentangan dengan syariat.

Memaknai Kaidah

“Adat sebagai pijakan hukum.” Artinya, adat digunakan untuk berpijak sebagai penjelas atau pembatas suatu kata yang disebutkan secara global di dalam dalil. Misalnya kata ‘nafkah’ dalam firman Allah l yang artinya, “Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [Q.S. Ath Thalaq:7]

Ayat ini menjelaskan bahwa hukum nafaqah adalah wajib sesuai dengan kemampuannya. Orang yang mampu, hendaknya memberikan nafkah dengan kadar orang yang mampu. Allah l menyebutkan kata nafaqah (nafkah) orang yang mampu tanpa memberikan batasannya dengan jelas. Tidak disebutkan secara jelas, seberapa kadar nafkah yang wajib, apakah lima ratus ribu, sejuta, dua juta, atau berapa. Tidak ada. Di dalam hadis pun tidak disebutkan pembatasannya. Maka, dalam kondisi seperti ini, pembatasannya dilakukan dengan ‘urf, adat istiadat pada daerah tersebut.

Misalnya, nafkah orang yang mampu di suatu daerah adalah dengan nasi, maka berilah nasi, jangan ketela atau roti. Kalau orang yang mampu adatnya memberi nafkah dengan makan ikan, maka berilah ikan, jangan selalu tempe, demikian seterusnya. Nah, inilah contoh penerapan kaidah ini.

Suatu lafazh yang disebutkan secara global, tidak terlepas dari tiga keadaan.

  1. Dalil menunjukkan bahwa penjelas untuk hukum yang global itu dari syariat.
    Pada kondisi ini, maka kita pun mengembalikannya kepada penjelasan syariat, tidak digunakan penjelasan adat (‘urf). Dalam masalah warisan misalnya. Islam menetapkan adanya warisan dari peninggalan orang yang meninggal, istri mendapatkan warisan, anak laki-laki mendapatkan warisan, anak perempuan juga mendapatkan warisan, dan seterusnya dari orang-orang yang berhak mendapatkan warisan. Berapakah jumlahnya? Apakah kita kembalikan penjelasannya kepada syariat atau kepada adat? Jawabnya, penjelasannya kita kembalikan kepada syariat karena syariat telah menjelaskannya, sebagaimana Allah l sendiri jelaskan dalam Surat An Nisa ayat 11, 12, dan 176.
  2. Dalil menunjukkan bahwa penjelas untuk hukum yang global itu dari adat (‘urf).
    Pada kondisi ini, maka batasannya seperti dalam ‘urf. Contohnya adalah firman Allah l yang maknanya, “Dan pergaulilah mereka (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf (berdasarkan ‘urf).” [Q.S. An Nisa:19]. Maka, sudah tentu bahwa pembatasan ini pun dikembalikan kepada adat istiadat masing-masing. Berbeda cara mempergauli istri di Arab Saudi dengan di Indonesia. Berbeda pula mempergauli istri di negeri Eropa dengan cara mempergauli istri dari negeri Timur.
  3. Dalil tidak mengaitkan batasannya, dari syariat atau dari adat.
    Dalam kondisi ini, maka dikembalikan kepada adat istiadat. Nah, pada poin ketiga inilah diaplikasikan kaidah yang kita sebutkan tadi. Yakni, saat syariat tidak memberikan batasan, maka batasannya diserahkan kepada adat istiadat.

Pijakan Hukum, Bukan Dalil/ Sumber Hukum

Dari kaidah ‘adat istiadat merupakan pijakan hukum’, apakah bisa disimpulkan bahwa adat istiadat dan tradisi memiliki kedudukan sebagai dalil? Jawabnya, tidak bisa. Adat istiadat bukanlah dalil. Adat istiadat hanya digunakan sebagai penafsiran, pembatasan, atau penjelas istilah.

Perlu diketahui, penentuan hukum Islam memiliki dua elemen. Pertama, harus diketahui batasan dari hal yang dihukumi. Nah, inilah yang dikembalikan kepada syariat atau adat. Kedua, harus diketahui hukum syariat tentang hal tersebut, wajib, sunnah, mubah, makruh, ataukah haram. Adapun elemen kedua ini harus berdasarkan Al Quran, hadis, atau ijmak, tidak bisa kembali kepada adat. [lihat Syarh Manzhumatul Qawa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Abbas Jaunah hafizhahullah]

Contohnya, hukum puasa Ramadhan adalah wajib. Maka, di dalam hukum ini ada dua elemen. Pertama, apa definisi puasa Ramadhan? Yaitu, menahan diri dari segala hal yang membatalkan ibadah puasa mulai dari terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari di bulan Ramadhan. Ini elemen pertama, dalam kasus ini kita kembalikan batasannya kepada batasan syariat. Kedua, hukum dari melakukan hal itu adalah wajib, berdasarkan dalil-dalil dari Al Quran dan hadis Nabi n.

Dari sinilah kita simpulkan, bahwa semata-mata adat istiadat dan budaya tidak bisa menjadi argumen boleh atau tidaknya sesuatu. Adat bukanlah dalil. Adat hanyalah sebagai penjelas dari hukum yang digariskan.

 

Dianggap Baik Muslimin, Baik di Sisi Allah?

Ada sebuah hadis yang sering dipakai untuk melegitimasi anggapan bahwa semua tradisi adalah baik. Hadis itu berbunyi:

مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ

“Apa saja yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka itu baik di sisi Allah. Dan apa saja yang dipandang jelek oleh kaum muslimin, maka itu jelek di sisi Allah.”

Kata mereka, adat istiadat sudah disepakati kebaikannya oleh kaum muslimin. Berdasarkan hadis ini, kalau begitu tradisi adalah hal yang baik di sisi Allah, karena dianggap baik oleh kaum muslimin.

Pernyataan ini adalah keliru. Jawabannya ada dari beberapa sisi.

Pertama, hadis ini tidak bisa disebut sebagai hadis karena bukan merupakan sabda Rasulullah n. Tidak ada imam periwayat hadis yang menyebutkan dengan disandarkan kepada Rasulullah n. Karena itulah, Imam Al Albani t mengomentari hadis ini, “Laa ashla lahu.” Hadis ini tidak memiliki asal, yakni tidak didapati imam yang meriwayatkan hadis ini dengan disandarkan kepada Nabi n. Hanya saja, diriwayatkan redaksi tersebut dari ucapan Ibnu Mas’ud z. Imam Ahmad dan Ath Thayalisi meriwayatkannya secara mauquf (disandarkan kepada ucapan sahabat, bukan kepada Nabi n) di dalam Musnad mereka berdua.

Kedua, anggaplah ucapan ini diterima karena berasal dari sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud z. Tapi tunggu dulu, yang Ibnu Mas’ud z maksudkan ‘kaum muslimin’ dalam ucapannya ini adalah para sahabat Nabi, bukan kaum muslimin secara umum. Hal ini akan nampak ketika kita melihat redaksi atsar Ibnu Mas’ud ini secara lengkap.

Beliau mengatakan:

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Sesungguhnya Allah melihat kepada kalbu hamba, maka Dia mendapati bahwa kalbu Muhammad n adalah kalbu terbaik yang dimiliki para hamba. Dia pun memilihnya dan mengutusnya untuk mengemban risalah-Nya. Kemudian Dia melihat kepada kalbu hamba-hamba setelah kalbu Muhammad, maka Dia mendapati kalbu para sahabatnya merupakan kalbu terbaik yang dimiliki hamba. Dia pun menjadikan mereka sebagai penolong Nabi-Nya. Mereka berperang di atas agamanya. Maka apa pun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu pun baik di sisi Allah. Dan apa saja yang dianggap jelek oleh mereka, itu pun jelek di sisi Allah.”

Konteks pembicaraan Ibnu Mas’ud di atas adalah tentang para sahabat. Dan memang, para sahabat merupakan kaum muslimin satu-satunya ketika hidupnya Rasulullah n. Karena itulah, kita simpulkan bahwa ‘kaum muslimin’ yang Ibnu Mas’ud bicarakan dalam atsar di atas adalah para sahabat, bukan kaum muslimin di zaman sekarang. Saat para sahabat ijma’ (bersepakat) tentang baiknya sesuatu, maka itu pun baik di sisi Allah. Demikian pula, jika mereka ijma’ (sepakat) tentang jeleknya sesuatu, itu pun jelek di sisi Allah l.

Demikianlah pembaca, syariat kita yang mulia ini telah mengatur sedemikian baiknya dalam segala hal. Dengan aturan yang baik tersebut, akan baiklah individu dan masyarakat. Karena itulah, tepat kiranya ungkapan bahwa ‘Syariat Islam selain saleh (tepat, cocok, dan relevan), juga mushlih (memperbaiki) di setiap zaman dan tempat.” Allahu a’lam bish shawab. Wal ‘ilmu ‘indallah, ilmu hanyalah di sisi Allah.

[Abu Yusuf Abdurrahman]