Kefkum?
Bagaimana rasanya ketika Allah beri kesempatan menimba ilmu langsung di mahad?
Menjadi santri yang hari-harinya di liputi dengan ilmu, dikelilingi oleh penuntut ilmu dan bisa belajar langsung kepada Asatiz yang sebagian orang hanya kenal lewat audio atau sesekali bertemu di dauroh besar?
Ahh, bahagia sekali pastinya! Masya Allah.
Untuk sebagian orang, mendapatkan status santri itu butuh perjuangan yang tidak main-main.
Ada yang harus mengiba menangis-nangis kepada orang tuanya untuk mendapat restu menjadi santri, ada yang harus bekerja mengumpulkan uang perjalanan dulu karena orang tua tidak mau membiayai.
Ada juga yang harus membesar-besarkan hatinya sendiri agar lekas rida meninggalkan fakultas yang dulu dia belajar mati-matian untuk bisa diterima di sana.
Sehingga tidak heran menjadi santri adalah salah satu momen yang mengharukan, penuh syukur dan tidak terlupakan bagi ‘mereka’ ini.
Siapakah ‘mereka’? Pemuda-pemudi yang baru berhijrah, baru mempelajari manhaj salaf.
Semangat menggebu dan antusias yang penuh begitu terasa dalam menjalankan status baru menjadi santri, namun terkadang -mungkin karena ada perbedaan budaya belajar- ada hal-hal yang membuat sedikit bingung atau mungkin bahkan kewalahan.
Karenanya berikut dirangkum dari pengalaman pribadi beberapa Do’s dan Don’ts untuk Santri dengan Latar Pendidikan Umum, semoga membantu!
Ambis bukan berarti temen-temen harus bisa semua pelajaran dengan tempo yang secepat-cepatnya, ya.
Menuntut ilmu syari itu butuh proses dan bertahap, ambis boleh tapi harus tetep rasional dan sabar.
Ambis di sini lebih ke gimana kita bisa memaksimalkan waktu dan mengoptimalkan potensi yang kita punya untuk belajar, menelaah, me-review dan menghafal.
Ingat, mondok, menjadi santri adalah inisiatif dari diri kita sendiri bukan?
Jadi kitalah yang bertanggung jawab penuh sama keputusan yang sudah kita buat.
Dengan melakukan hal-hal tersebut insyaAllah termasuk bentuk syukur kita juga kepada Allah yang beri kita kesempatan untuk menjadi santri.
Tidak apa-apa mengurangi waktu istirahat, mengurangi waktu main, membatasi mengobrol. Refreshing tetep perlu tapi sekadarnya saja.
Mungkin kita bakal ngerasa capek, tapi yakin deh, selain harus dipertanggungjawabkan, keputusan kita untuk mondok itu juga butuh untuk diperjuangkan,
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah menuturkan:
لا يستطاع العلم براحة الجسم
“Ilmu tidak bisa didapatkan dengan fisik yang santai-santai.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no 612 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi 1/183 no 366)
Nanti capek dan lelah kita kebayar, biiznillah, sama momen di mana kita tetiba bisa nyambung murattal, kitab bisa bantu ponakan atau tetangga belajar ngaji, kita bisa menjawab persoalan-persoalan fikih sederhana dari keluarga kita misalnya.
Ilmu kita kerasa manfaatnya ke orang lain itu manis banget temen-temen, asli.
Ingat sekali, pernah dapat nasihat begini dari seorang teman,
“Penuntut ilmu itu harus cepat dalam 3 hal: berjalan, makan, dan mencatat.”.
Di antara 3 hal tersebut mencatat adalah yang menjadi poin penting untuk kita, karena kemungkinan besar kita yang dari sekolah umum ini sudah tidak terbiasa lagi dengan mencatat dengan metode konvesional.
Ya, dengan menulis tangan. Kita sudah terlalu dimanjakan dengan fitur voice typing atau materi yang sudah tersedia bentuk hardcopynya. Betul apa betul?
Pasti sudah mulai familiar dengan hadis ini kan,
قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ
“Jagalah ilmu dengan menulis.”
Temen-temen bisa cari redaksinya -salah satunya- di kitab Shahih Al-Jami’ milik Syaikh Al-Albani No .4434.
Beberapa studi menunjukkan bahwa dengan mencatat dengan tangan meningkatkan kemampuan belajar salah satunya ada di artikel ini: https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2023.1219945/full
Jadi tidak ada ruginya temen-temen untuk nyeriusin belajar mencatat yaa. Walaupun agak pegel-pegel di awal, gapapa.
Usahakan juga supaya catatan kita minimalnya bisa dibaca sama diri kita sendiri. Catatan kita bakal berguna di masa mendatang, insya Allah.
Kita pasti tidak asing dengan istilah agent of change yang lumayan ngetrigger siswa-mahasiswa yang aktif organisasi untuk bikin satu gagasan, inovasi, atau perubahan.
Menurutku ini gapapa banget untuk dirawat dan diteruskan proaktifnya temen-temen, yakni dengan memunculkan ide, gagasan atau perubahan di pondok, tapi dengan catatan harus utamakan adab dalam menyampaikanya.
Temen-temen yang aktif ikut workshop atau training juga akrab sama RTL (Rencana Tindak Lanjut) kan? Usahakan sebelum pulang ke rumah temen-temen sudah ajukan itu RTL ke Pengajar.
Nanti kita bahas lebih lanjut tentang RTL ini di artikel selanjutnya, insya Allah, wayassarallah umuur.
Kalau ada teman yang lebih unggul dari kita baik dari segi pemahaman, daya tangkap, hafalan dan sebagainya, ghibtoh boleh, banding-bandingin jangan.
Pertama, kita perlu realistis bahwa belajar agama dengan serius adalah suatu yang baru buat kita, jadi wajar kalau banyak hal yang kita tidak tau.
Kedua membanding-bandingkan hanya bikin kita semakin setres, mindset inferior menginvasi dan jauh dari rasa syukur.
Ketiga, membanding-bandingkan juga bisa bikin kita insecure dan kemudian fokus kita teralihkan kepada ketidak mampuan kita aja, tarik nafas, tenang, fokus aja pada hal yang bisa kita usahakan sekarang dalam menerima dan mengolah ilmu dengan baik. Dan jangan lupa untuk minta pertolongan ke Allah.
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Sekali lagi, wajar dan normal sekali kalau kita merasa ga bisa, merasa ga mampu, karena ilmu syari dengan segala cabangnya ini baru buat kita.
Yang terpenting untuk temen-temen adalah sabar, tidak patah arang, tidak berhenti bertanya, tidak berhenti ngulang-ngulang pelajarannya dan tidak berhenti belajar.
Salah satu kisah menarik di kitab Thabaqat Syafiiyah yaitu murid Imam Syafi’i yang slow learner bernama Rabi’ bin Sulaiman yang pernah sampai 40 kali dijelasin suatu pelajaran tapi tetep tidak faham.
Keadaan itu tidak mematahkan semangat dan membuat beliau menyerah sampai akhirnya beliau oleh Adz-Dzahaby disebut dalam Siyar A’lam sebagai imam ahli hadist dan pakar fiqh terkemuka. Masya Allah bukan!
Jadi kapan temen-temen lagi capek dengan proses belajarnya yang stuck di “Astahgfirullah.. apaan si ini? Ko aku ga faham-faham!”, istirahat dulu, besok coba pelajari lagi.
Tetap bersama gurumu, jangan malah kabur dari pelajaran beliau, jangan malu juga untuk minta dikasih faham sama teman walaupun temenmu jauh lebih muda umurnya. Jangan pulang gegara tidak hafal-hafal matan, atau tidak faham sarf. Eman-eman.
Coba inget-inget lagi gimana perjuangan dulu bisa mondok, tidak mudah kan?
Bukannya tidak boleh punya prestasi: lulus dengan predikat Mumtaz, hafalan Alquran 30 juz mutqin, publikasi karya-karya tulis, khutbah yang keren dst. Bukan itu maksudnya.
Boleh, sangat bagus banget malah masya Allah.
Tapi jangan jadikan itu sebagai satu-satunya tujuan mondok.
Temen-temen harus menghargai segala proses yang temen-temen lalui di pondok, menghayati setiap kegiatan baik sebagai proses pembentukan karakter dan rutinitas sehingga akhirnya bisa menjadi disiplin hidupnya kita yang tetep insya Allah akan berjalan walaupun temen-temen sudah tidak berada di pondok lagi.
Dengan seperti itu insya Allah, jika di akhir pendidikan prestasi-prestasi itu tercapainya temen-temen tidak merasa jemawa dan kemudian merasa puas dari ilmu dan jika qodarullah tidak tidak tercapai temen-temen tidak merasa menjadi penuntut ilmu yang gagal.
Sekian, semoga Allah mudahkan belajar temen-teman semua di pondok. Selamat belajar. Sebelum menyudahi tulisan ini, kuucapkan terlebih dahulu,
“Selamat karena satu dari doamu panjangmu di 1/3 malam terakhir itu sudah Allah kabulkan. Allahumma baarik!”
Artikel ini ditulis oleh salah satu pemirsa SyababSalafy dengan nama pena "Kurma Muda".