Oleh :
? Al Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed –hafidzahullah–
Pernah dibahas pada edisi ke 22 bahwa konsekuensi keimanan dengan kerasulan Nabi Muhammad -shallallhu’alaihi wa sallam- adalah mempercayainya, menatatinya, mencintainya, memuliakannya, mengutamakannya dan membelanya. Walaupun telah disinggung secara ringkas pada edisi tersebut namun perlu kiranya untuk merincikannya satu-persatu;
MEMPERCAYAINYA
Mengimani kerasulan Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam- adalah mempercayai bahwa beliau benar-benar utusan Allah yang diutus untuk menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Maka konsekuensinya adalah mempercayai semua apa yang disampaikan karena semuanya adalah dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Allah berfirman :
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm :3-4 )
Maka semua berita yang disampaikannya, semua hukum yang diperintahkannya dan semua perkara yang dilarangnya bukan dari hawa nafsunya sendiri, melainkan wahyu dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- . Bahkan Allah menyampaikan bahwa Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- tidak mungkin berani berdusta sebagaimana firman-Nya :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan dusta atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar kami pegang dia dengan tangan kanan. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”. (Al-Haaqqah : 44-46)
Nada ancaman ini untuk menghabarkan kepada musyrikin bahwa Rasulullah tidak mungkin berdusta seperti apa yang mereka tuduhkan. Kalau Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdusta, mudah bagi Allah untuk membunuhnya.
Mengapa kaum mu’tazilah, rasionalis dan sejenisnya menolak berita-berita -yang menurut mereka tidak masuk akal- padahal itu ucapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits yang shahih?
Apakah kita ragu dengan berita dari seorang Rasul utusan Allah? Atau kita ragu dengan kerasulan beliau -’alaihi shalatu wa sallam-? Apakah mereka bersikap seperti musyrikin yang menuduh Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- berdusta dan tidak percaya dengan semua berita-beritanya. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda :
“Apakah kalian tidak percaya kepadaku? padahal aku adalah kepercayaan yang di langit ? Telah datang kepadaku berita langit di pagi dan sore hari”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
UJIAN KEPERCAYAAN
Allah menguji manusia yang mengaku beriman dengan beberapa bentuk ujian. Disamping ujian dalam bentuk amalan seperti shalat, puasa dan lain-lain, atau ujian dalam bentuk pengorbanan harta seperti zakat, shadaqah atau penngorbanan jiwa dalam jihad dan lain-lain. Ada pula ujian dalam bentuk kepercayaan untuk menguji seberapa tingkat kepercayaan mereka kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan pasti Allah akan tahu serta membukanya ditengah manusia, siapa yang jujur imannya dan siapa yang berpura-pura.
“Alif laam miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami beriman”, sedang mereka tidak diuji ? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al-’Ankabuut :1-3)
UJIAN DENGAN ISRA DAN MI’RAJ
Pada berita Isra dan Mi’raj juga mengandung ujian yang sangat berat. Bukan dalam bentuk amalan dan pengorbanan tapi dalam bentuk kepercayaan mereka kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-. Orang-orang kafir jelas mencemooh berita tersebut dan menjuluki Rasulullah – shallallahu’alaihi wa sallam- dengan julukan pendusta, gila dan lain-lain. Orang-orang yang lemah imannya ketika itu murtad kembali, gagal dalam ujian. Mereka berkata: “Untuk apa Rasulullah memberitakan hal-hal seperti ini?” (Lihat Dalaailun-Nubuwah oleh Al-Baihaqi 2/360, Al-Mustadrak 0leh Al-Hakim 3/62)
Sebagian kaum muslimin hari inipun bersikap dengan sikap yang sama, setiap kali disampaikan kepada mereka berita-berita yang ghaib dan apa-apa yang akan terjadi di akhir zaman seperti munculnya Dajjal, turunnya Nabi Isa -’alaihi sallam-, lahirnya Imam Mahdi, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, batu dan pohon yang berbicara. Merekapun berkata dengan kalimat yang sama; “Untuk apa berita-berita ini di sampaikan?!”
Kita katakan :”Paling sedikit itu ujian buat kita, apakah kita akan percaya kepada wahyu atau tidak? Apakah kita percaya kepada Nabi-Nya atau tidak?!”
UJIAN DENGAN BERITA TENTANG PENJAGA NERAKA
Manusia juga diuji ketika disampaikan kepada mereka berita-berita dari langit seperti berita tentang penjaga neraka yang berjumlah 19. Allah berfirman :
“Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas penjaga”. (Al-Muddatstsir : 26-30)
Ini adalah ancaman Allah kepada orang-orang musyrikin yang mengandung berita tentang penjaga neraka yang 19. Ternyata mereka bukannya takut kepada Allah, namun justru mereka mengolok-olokan kalimat 19. Mereka berkata :”Jagoan kami lebih dari 19!” Sedangkan orang yang dalam hatinya ada penyakit dengan kata lain munafiqin dan yang lemah imannya berkata: ”Untuk apa sih Allah menyebutkan bilangan 19?!”
Lihatlah manusia dengan ujian keimanan ini terbagi menjadi beberapa golongan;
-Adapun orang-orang yang beriman bertambah keimanannya dengan mempercayai berita-berita tersebut.
-Sedangkan orang-orang kafir bertambah kekufurannya dengan memperolok-olok ayat Al-Qur’an.
-Sedangkan munafiq ragu-ragu dan menyesali untuk apa berita-berita seperti ini disampaikan.
-Adapun Yahudi yakin atas kebenaran berita tersebut karena sama dengan berita-berita yang ada pada kitab-kitab mereka, hanya saja sebagian mereka tetap kufur walaupun hati kecilnya percaya.
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya”. (An-Naml:14)
Semua hikmah ini Allah terangkan di dalam ayat berikutnya dalam Surat Al-Muddatstsir :
“Tidaklah Kami jadikan penjaga neraka melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan orang yang beriman bertambah imannya dan agar orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?”(Al-Muddatstsir : 31)
METODA SELAMAT
Semestinya kita sebagai seorang mukmin percaya dengan ucapan Rasulullah -shallallahu’laihi wa sallam- jika sampai riwayatnya kepada kita secara otentik sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits, sebagaimana Abu Bakar Ash-Shidiq -radhiallahu’anhu- ketika disampaikan kepadanya berita Isra dan Miraj ia berkata: ”Apakah benar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang memberitakannya? kalau benar maka aku percaya, walaupun lebih daripada itu. Bagaimana tidak?!padahal aku telah percaya turunnya berita langit di pagi dan sore hari”. Karena itulah Abu Bakar dijuluki dengan Ash-Shiddiq -radhiallahu ‘anhu- (yang bermakna seorang yang selalu percaya kepada Nabi-Nya) (Lihat Dalaailun-Nubuwah oleh Al-Baihaqi 2/360, Al-Mustadrak 0leh Al-Hakim 3/62. Berkata Al-Hakim: “Ini adalah hadits Shahihul-Isnad)
Lihatlah ucapannya, beliau hanya meragukan perawinya: “Apakah benar Nabi yang mengatakannya?” Ini karena yang menyampaikan kepadanya adalah kaum musyrikin. Inilah metoda salaf, kita memeriksa dan meneliti para perawinya kalau terbukti shahih, diriwayatkan dari seorang yang adil, terpercaya, dalam keadaan bersambung sanadnya (rawi yang satu benar-benar mendengar dari dari rawi berikutnya). Demikian pula isi haditsnya tidak bertentangan dengan yang lebih shahih dan tidak mengandung cacat, maka wajib bagi kita untuk mempercayainya. Apalagi berita itu di dalam Al-Qur’an, seperti berita terbelahnya bulan:
“Telah dekat (datangnya) hari kiamat dan telah terbelah bulan”. (Al-Qamar : 1)
Orang-orang yang beriman percaya dengan mukjizat dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang kafir dan musyrikin.
Dalam sebuah riwayat Abdullah Bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu- berkata :
“Bulan telah terbelah pada zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi 2 bagian, maka beliau bersabda : “Saksikanlah oleh kalian!” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud menceritakan kafir Quraisy ketika menyaksikan terbelahnya bulan, mereka berkata : “ Itu adalah sihir yang ditimpakan oleh Ibnu Abi Kabsyah kepada kalian. Coba tanyakan kepada orang-orang yang safar, kalau mereka melihat apa yang kalian lihat berarti dia benar. Tapi jika para musafir tidak melihat apa yang kalian lihat berarti itu sihir yang dia timpakan kepada kalian, karena Muhammad tidak mungkin bisa menyihir seluruh manusia”. Ibnu Mas’ud melanjutkan, “Kemudian kafir Quraisy mendatangi para musafir dari semua arah dan ditanyakan kepada mereka, apakah mereka menyaksikannya? Mereka menjawab: “Kami semua melihatnya”. (Dalaailun-Nubuwah oleh Al-Baihaqi 2/266, Musnad Ath-Thayalisi no. 295)
Namun ternyata musyrikin tidak hanya meragukan riwayat dan ayatnya, bahkan mereka mengingkari apa yang mereka lihat dengan mata kepala mereka dan menyatakan ini sihir yang nyata, padahal itu adalah mukjizat seorang Nabi dan Rasul yang mulia.
UJIAN DENGAN BERITA MIMPI NABI -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Mimpi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah Haq yang merupakan wahyu dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Maka apa yang dikatakan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari mimpinya adalah berita yang pasti kebenarannya dan wajib untuk diimani. Berbeda dengan mimpi siapapun selain Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menyampaikan mimpinya bahwa kaum muslimin pasti akan memasuki Masjidil-Haram dengan aman dalam keadaan mereka melaksanakan ibadah haji dan umrah tanpa mendapatkan gangguan apapun. Maka berangkatlah Rasulullah bersama para Shahabatnya menuju Makkah untuk menunaikan haji dengan harapan mimpi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pasti akan terwujud.
Ternyata mereka ketika itu dihalangi oleh kafir Quraisy sehingga terjadilah ketegangan dan mereka berbaiiat kepada Rasulullah -shallallahu ’alaihi wa sallam- untuk membela Rasulullah sampai titik darah penghabisan. (Baiatur-Ridwan). Namun berakhir dengan terjadinya perjanjian damai kedua belah pihak di daerah Hudaibiyyah. Diantara isi perjanjian itu adalah kaum muslimin harus pulang pada tahun itu dan diizinkan kembali tahun depan dalam batas waktu 3 hari.
Maka tahun berikutnya kaum musliminpun haji dengan tenang, tentram tanpa gangguan sedikitpun persis sesuai dengan mimpi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Allah -Ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut”.(Al-Fath:27)
Ujian inipun tidak kalah beratnya dengan yang sebelumnya. Yang gagal dalam ujian ini adalah para munafiqin, karena mereka tidak yakin dengan mimpi Nabi. Maka mereka tidak mau ikut bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kaum muslimin dengan prasangka buruk bahwa mereka akan dibantai oleh orang-orang Quraisy.
“Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mu’min tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa”.(Al-Fath:12)
Dengan ini Allah pisahkan orang-orang beriman dengan orang-orang munafiqin, hingga yang lulus yaitu yang berangkat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan kepercayaan kepada beliau, maka mereka mendapatkan keutamaan dan jaminan keselamatan. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon”.(Al-Fath:18)
Demikian juga Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjamin mereka:
“Tidak akan masuk neraka seorangpun yang telah berbai’at di bawah pohon”. (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
Sumber :
? Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 26 / th.IV –13 Sya’ban 1429 H / 15 Agustus 2008 M