MANTAP! Alhamdulillah, kami berhasil menyelesaikan pendakian via Linggarjati, Kamis (6/7/2023). Jalur legendaris menuju Puncak Ciremai: 3.078 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Sebuah rute yang edun, paling terjal di antara lima jalur pendakian menggapai atap Jawa Barat. Pendakian terhitung berat, karena medan yang terus menanjak; minim bonus.
Ditambah perbekalan air dibawa dari base camp (BC) Cibunar. Menuju 11 pos ke depan, tak ada lagi sumber air. Ini yang menjadikan rute Ciremai via Linggarjati sangat menantang.
Selepas Pos 5 (Pamerangan), pergerakan ke Pos 6 (Tanjakan Binbin), Pos 7 (Tanjakan Seruni), Pos 8 (Tanjakan Bapa Tere), dan Pos 9 (Batu Lingga), pendaki disuguhi medan pendakian superterjal.
Akar-akar besar pepohonan, makin membuat langkah tersendat. Terkadang jalur menyempit. Pijakan menjadi sulit, karena tubuh mesti menyelinap di sela lorong-lorong jalur.
Dari Batu Lingga, ujian berikutnya menanti. Makin menguras tenaga, sementara perbekalan air mesti dihemat. Diatur sebaik mungkin. Jangan sampai kehabisan tengah jalan.
Trek ke Pos 10 (Sanggabuana) memberi harapan ujung jalan (padahal masih jauh banget), sebab medan mulai terbuka. Tapi tetap, tantangan jalur yang gileee nanjak abis!! Benar-benar menguji fisik dan mental.
Pos 11 (Pangasinan) bukan tempat berpijak bagi mereka yang menyerah atau takluk. Tenaga mesti dimaksimalkan. Aja klalen takbir lan tasbih. Energi jiwa mesti dikuatkan! Napas yang ngas nges ngos, jangan membuat tubuh kuyu.
Hingga akhirnya, setelah tiga kali rehat untuk meneguk air dan mengambil napas, Pangasinan berhasil dipijak. Saya (38), Muhammad (9) dan Zaid (13), berurutan memasuki area terbuka batas vegetasi. Ali (13), menyusul beberapa saat kemudian. Dia paling terakhir datang, tapi semangatnya masih oke.
Di hadapan kami membentang punggungan berbatu. Mental jangan sampai jatuh melihatnya. Itu adalah ujian pamungkas. Step terakhir sebelum atap Jawa Barat kau gapai. Serasa puncak Ciremai memanggil-manggil, “Ayo… Ayo! Semangat…”
Pangasinan ada di ketinggian 2.813 MDPL. Tersisa ketinggian 265 meter lagi, untuk sampai di 3.078. Sedangkan panjang jalur “tinggal” 500 meter ke depan. Sekitar 60 menit merayapi medan berbatu, tanah berdebu, membelah hamparan edelweis.
Di titik ini fisik dan mental kita seolah “dihabiskan”. Digenjot full! Demi mencapai puncak impian.
Tapi, eits! Jangan lupakan energi untuk turun. Fokus melangkah, dan terus berdoa. Memohon pertolongan Allah azza wa jalla. Pendakian gunung bukan hanya soal keberhasilan menggapai puncak, namun juga bagaimana bisa pulang dengan selamat.
Tentu beralasan. Komentar beberapa pendaki Ciremai yang menjajal jalur Linggarjati. “Bisa sampai Pangasinan, sudah bagus,” katanya. Memberi gambaran, perjuangan untuk sampai di Pos 11 ini, sudah oke banget.
Sementara meneruskan sisa perjalanan untuk ke puncak: adalah pilihan masing-masing pendaki. Mencukupkan di Pangasinan saja, dengan pemandangan langit biru dan hamparan edelweisnya, ya sah-sah saja. Ndak ada larangan hehe…
Atau pantang ciut nyali, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Gaas pool… Allahuakbar! Demi menjejakkan kaki di pelataran tertinggi Jawa Barat. Ini yang kami pilih.
“Ayo Bang, lanjut…” ucap saya ke si kembar dan adiknya, Muhammad.
Dan memang, tidak mudah. Medan berbatu supernanjak. Kemiringan 60-75 derajat. Beberapa saat melangkah, duduk istirahat. Melangkah lagi, break sejenak. Alon-alon asal kelakon. Belum lagi, mendekati ujung jalur, mesti scrambling. Manjat bebatuan.
Pinggiran bibir kawah sudah tampak depan mata. Membuncahkan harapan. Napas satu-dua-tiga. Otot paha digeber. Tapak sepatu Jack Wolfskin pemberian akang Wanadri dihentak. Yoo semangat…
Alhamdulillah, akhirnya sampai di puncak. Langsung sujud syukur. Cuaca cerah. Matahari hangat bersinar. Kabut tipis menari-nari di atas kawah. Waktu masih aman, baru pukul 09.25.
Kami rehat menikmati pemandangan lautan awan dan kawah yang superdaleeem… Tebing kaldera tampak gagah. Memang, luas banget kawah Ciremai: radius 600 meter, kedalaman 250 meter. Beberapa kasus pendaki tewas, di antaranya terjatuh ke dalam kawah. So, ekstra waspada!
Pendaki Makassar
Ada tiga tim selama pendakian kemarin. Kami: empat orang (Cirebon), enam mahasiswa pecinta alam (Bandung), kemudian rombongan 10 orang; delapan dari Makassar dan dua Jakarta.
Yang delapan dari Makassar itu, dua anak (kakak beradik kelas 2 SMP dan 5 SD), enam lainnya usia 40, 50 dan 60 tahunan. Masing-masing dua orang.
“Sebelum bertemu bapak-bapak, saya kira selalu saya paling tua di antara pendaki lainnya kalau bertemu di gunung,” kata saya, disambut tawa renyah mereka.
“Ini pendakian pengulangan. Tahun lalu (2022), kami naik sampai Pos 7. Tapi turun lagi, karena batu empedu saya bermasalah. Sampai bawah langsung dirawat enam hari di RSUD Linggajati,” cerita Juanda (52), yang asli Kuningan, tapi sejak 1991 menetap di Makassar hingga kini punya cucu.
Jujur, yang saya salut, para kakek itu tidak mengubah rute pendakian. Walau sebelumnya sudah pernah merasakan jalur Linggarjati, yang memang galak ke betis.
Ketika saya tanya, “Kenapa enggak lewat Palutungan saja, yang lebih ramah dengkul?”
“Enggak, tetap lewat sini saja,” ucap mereka tegas, mantap. Tidak menyesali jalur yang dipilih.
Selama di jalur pendakian, kami saling susul-menyusul. Lima anggota tim Makassar, tiba lebih dulu di puncak. Begitu turun dari puncak, dua kakek yang 60-an tahun, menyisakan jarak seratus meter lagi.
Saya dan anak-anak menyalami mereka. Memberi semangat. Seraya berpamitan. “Bisa mendaki Bawakaraeng dan Latimojong kalau ke Sulawesi,” katanya.
Pendakian Ciremai via Linggarjati ini, menambah capaian puncak gunung yang berhasil digapai Zaid, Ali dan Muhammad. Alhamdulillah, mereka sudah mengoleksi tiga puncak Ciremai (Palutungan, Sadarehe, Linggarjati), plus puncak Gunung Slamet via Permadi – Guci.
Tentu saya juga senang dan bersyukur, puncak Ciremai yang kesepuluh bagi saya – biidznillah – berhasil digapai bersama bocah-bocah lanang. La hawla wala quwwata illa billah… (abu ali)
Baca juga: