Setiap menjelang tahun baru masehi dan bulan Desember, kaum muslimin selalu diributkan dengan toleransi atau intoleransi terhadap non muslim. Pasalnya, ada saja pihak tertentu yang seolah-olah memaksa kaum muslimin untuk mengucapkan selamat hari Natal kepada kaum Nasrani. Padahal perayaan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam, artinya bukan bagian dari Islam sama sekali.
Lantas mengapa seolah-olah ucapan selamat Natal begitu dipaksakan? Bukankah urusan agama dan keyakinan, setiap kita meyakini keyakinannya sendiri-sendiri? Bukankah hal itu sudah ditegaskan dalam ayat yang bahkan hampir setiap muslim menghafalnya?
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” *(al-Kafirun: 6)*
Tidak Mengucapkan Selamat Natal, Sikap Intoleran?
Apabila seorang muslim berkeyakinan bahwa dalam agamanya tidak boleh mengucapkan selamat Natal, tentu saja ini bukan bagian dari intoleransi. Sebab, undang-undang negara telah mengesahkan setiap pemeluk agama untuk melaksanakan syariat agamanya.
Di sisi lain, tidak mengucapkan selamat Natal tidak lantas berkonsekuensi sikap radikal atau teror. Sebab, Islam telah mengajarkan toleransi, tetapi dalam bidang lain. Toleransi yang diajarkan Islam adalah dalam hal perilaku sosial, bukan dalam urusan akidah yang mengorbankan keyakinan dan prinsip agama.
Oleh karena itu, seorang muslim dibolehkan menjenguk tetangga non muslim yang sakit, memberinya hadiah, menjawab salamnya bila mengucapkan salam Islam kepada kita, dan tidak boleh mengganggu serta menyakitinya. Perhatikan firman Allah subhanahu wa taa’la,
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)
Adapun mengikuti acara hari raya non muslim, mengucapkan selamat atas perayaan hari raya tersebut, memberikan kartu ucapan selamat atau hadiah dalam rangka perayaannya, ini bukan toleransi yang diajarkan oleh Islam. Sebab, melakukan perbuatan-perbuatan tersebut berarti telah ikut serta dan larut dalam prosesi hari raya mereka, yang sangat erat dengan keyakinan dan akidah yang mereka yakini.
Anda muslim? Coba ingat kembali sejarah Nabi kita Muhammad ﷺ dalam buku-buku sirah. Nabi Muhammad ﷺ pernah diajak bertoleransi dengan orang-orang kafir dalam keyakinan mereka. Nabi kita diajak untuk beribadah kepada Tuhan mereka satu tahun, lalu pada tahun berikutnya mereka yang beribadah kepada Tuhan Nabi kita, Muhammad ﷺ . Inilah ide orang-orang musyrik.
Apakah Nabi Muhammad ﷺ menerima tawaran itu?
Tentu saja tidak. Nabi Muhammad ﷺ justru menolak dengan keras. Meskipun demikian, pada saat yang sama beliau berinteraksi sosial dengan baik dengan pihak-pihak yang tidak memusuhi Islam, seperti pamannya sendiri yang masih musyrik. Nabi Muhammad ﷺ pun tetap menjaga amanat-amanat musyrikin yang dititipkan kepada beliau, demikian pula berbagai bentuk hubungan sosial yang lain.
Meskipun tidak sama persis dengan toleransi gaya musyrikin, masalah mengucapkan selamat Natal mengandung beberapa hal yang mendekati kemiripan dengannya. Sebab, bila kita tinjau dari sisi ‘ucapan selamat Natal’ saja, terkandung suatu keridhaan terhadap parayaan Natal tersebut. Tinjauan ini terlepas dari apa yang ada dalam keyakinan saat mengucapkannya karena urusan keyakinan hanya Allah yang Maha tahu.
Yang jelas, pada dasarnya, suatu ucapan atau amalan yang tidak benar tidak akan menjadi benar saat dilakukan atau diucapkan dengan niat yang benar sekalipun. Ia tetap salah, hanya saja berbeda tingkat kesalahannya. Ibarat orang yang mencuri untuk disedekahkan dengan orang yang mencuri untuk berjudi, keduanya salah tetapi nilai salahnya berbeda.
Makna Perayaan Natal dan Konsekuensinya
Sesungguhnya perayaan Natal sendiri apa maknanya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Natal adalah hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih (tanggal 25 Desember).
Atas dasar itu, kita sebagai seorang muslim semestinya memandang Natal menurut keyakinan Nasrani saat ini. Bukankah Natal artinya “hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih, sebagai anak Tuhan, dan salah satu Tuhan”?
Jika demikian, apakah hal ini tidak terkait dengan keyakinan atau akidah yang asasi dalam agama kita, Islam? Sebab, kaum muslimin meyakini bahwa Isa adalah utusan Allah, salah seorang nabi dan rasul yang mulia, termasuk Ulul Azmi dari para rasul. Beliau bukan anak Tuhan atau Tuhan.
Nah, kalau begitu, apa makna ucapan seseorang “Selamat Hari Natal” kepada seorang Nasrani?
Kalau bermakna seperti yang mereka yakini bahwa Isa adalah anak Tuhan, berarti kita telah ridha dengan keyakinan itu. Semoga Allah melindungi kita dan segenap kaum muslimin dari keridhaan terhadap keyakinan tersebut.
Jelas, ini menyangkut dan berpengaruh buruk kepada akidah seorang muslim. Salah fatal apabila dikatakan, “Ucapan selamat Natal tidak mempengaruhi akidah.”
Kemungkinan lain, orang yang mengucapkan “Selamat Natal” berkeyakinan seperti keyakinan muslimin bahwa Isa bukan anak Tuhan. Dengan keyakinan ini, orang yang mengucapkan “Selamat Natal” kepada seorang Nasrani telah bersikap munafik terhadapnya. Bukankah begitu? Tolong cermati.
Karena itu, tidak dibenarkan kalau ada yang beralasan dan mengatakan bahwa yang mengatakan selamat Natal adalah Nabi Isa karena dalam ayat Al-Qur’an disebutkan,
“Dan keselamatan dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Maryam: 33)
Ucapan selamat yang tersebut dalam ayat di atas adalah keselamatan atas kelahiran beliau sebagai hamba Allah dan Nabi-Nya, selamat dari gangguan setan. Bukankah dalam rangkaian ayat-ayat pada Surah Maryam itu disebutkan bahwa Nabi Isa mengatakan,
“Sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Allah telah memberiku kitab dan menjadikan aku sebagai nabi.” (Maryam: 30)
Dalam Surah Maryam ayat 88—93, Allah mengecam mereka yang meyakini bahwa Isa adalah anak Allah Subhanallah.
Pembaca muslim….
Belum lagi kalau kita menengok kepada perbuatan apa saja yang dilakukan saat perayaan hari Natal diselenggarakan. Tentu saja ada penyembahan terhadap salib, panjatan doa kepada selain Allah, dan lain-lain; yang dalam ajaran agama kita, Islam, hal-hal tersebut tidak diperbolehkan. Bahkan, hal tersebut merupakan larangan terbesar. Apakah kita akan mengucapkan selamat atas semua perbuatan itu?!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat Natal, -pent.) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat atas hari raya dan puasa mereka, seperti mengatakan, ‘Ied mubarak atasmu,’ atau dengan ucapan, ‘Selamat hari raya,’ dan semacamnya. Seandainya orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, minimalnya dia terjatuh pada perkara yang haram. Ucapan selamat hari raya kepada mereka seperti ini sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan kepada salib. Bahkan, ucapan selamat hari raya tersebut lebih besar dosanya dan lebih dibenci oleh Allah daripada seseorang memberi ucapan selamat kepada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang menghargai agama Islam terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barang siapa memberi ucapan selamat atas perbuatan maksiat, bid’ah, atau kekufuran; dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah.” ( Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/441)
Berpikirlah sejenak. Jangan pening karena masalah ini. Tetaplah pada prinsip agama Anda sebagai muslim. Anda dijamin benar oleh Islam dan undang-undang negara. Anda tidak jatuh dalam INTOLERANSI hanya karena tidak mengucapkan “Selamat Natal”, dengan tetap menjaga hubungan sosial yang benar dan baik.
Selanjutnya, sebagai sebuah renungan, perhatikan firman Allah ketika mensifati hamba-hamba-Nya yang disebut “’Ibadur Rahman” berikut ini,
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan….” (al-Furqan: 72)
Ulama ahli tafsir dari kalangan tabi’in dan yang lain, seperti Abul ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, adh-Dhahhak, dan Rabi’ bin Anas menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah menyaksikan hari-hari raya orang musyrik. ( Tafsir Ibnu Katsir 3/341)
Sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Jauhilah musuh Allah pada hari raya mereka.” ( Sunan al-Baihaqi 9/234)
Sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Siapa saja yang tinggal di negeri non-Arab dan ikut serta dalam hari raya Nairuz dan Muhrajan mereka, dan menyerupai mereka sampai matinya, ia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama mereka.” ( Sunan al-Baihaqi 9/234)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita dalam beribadah dan bermuamalah.
Ditulis oleh:
al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Selasa, 27 Rabi’ulakhir 1441 H, bertepatan dengan 24 Desember 2019 M