Salafy Temanggung
Salafy Temanggung oleh Abu Ammar Ahmad

orang-orang yang mensucikan diri

5 tahun yang lalu
baca 6 menit
Orang-orang yang Mensucikan Diri

Bag.1

:: Al-Ustadz Ayip Syafruddin

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Tak seorang pun yang berani menjamin dirinya akan tetap terjaga, tidak tercebur dalam kubang maksiat. Dan kini, bisa jadi ia hidup dalam ketaatan. Namun, apakah ia lantas berani menyatakan dirinya akan terus menerus dalam ketaatan itu? Qalbu manusia ada di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman subhanallahu wa ta’ala. Ketergelinciran, tak memandang bulu. Seorang alim pun bisa saja jatuh terpuruk. Dalam lintasan sejarah hidup manusia, tertoreh kisah keterpurukan itu.

Akan tapi, sebaik-baik manusia yang tenggelam dalam lumpur dosa adalah yang mau mengentaskan diri. Ia bangkit, berkemas meninggalkan maksiat. Ia sesali dosa-dosa yang melumuri dirinya. Ia berazam, berbulat tekad, tak akan mengulang kesalahan telah terjadi. Lembaran kelam dalam hidupnya ditutup. Lembaran baru nan putih bersih ia jejaki. Ia memulai hidup baru sebagai manusia yang bertaubat.

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian ia bertaubat dengan segera. Maka, mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. An-Nisa:17].

“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [Q.S. An-Nashr:3].

Abu Musa, Abdullah bin Qais Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu menyampaikan pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya Allah subhanallahu wa ta’ala membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala siang hari. Allah subhanallahu wa ta’ala pun membentangkan tanganNya pada waktu siang hari untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala malam hari, hingga matahari terbit dari tempat tenggelamnya (arah barat).” [H.R. Muslim, no.2759].

Pintu taubat senantiasa terbuka luas. Allah subhanallahu wa ta’ala Maha Penyayang terhadaphamba-hamba-Nya . Karenanya, bersegeralah memohon ampun kepada-Nya. Bertaubat kepadaNya. Tak perlu menunggu waktu atau menunda-nunda. Sebab, tak seorang pun tahu kapan ajal menjemputnya.

Seorang shahabat bernama Ma’iz bin Malik radhiallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia menyengaja menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia ingin mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di dadanya. Saat bertemu, kesempatan itu tak disia-siakan. Ma’iz radhiallahu ‘anhu berterus terang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas apa yang telah dilakukannya. Dirinya telah terjatuh kepada perbuatan dosa. Kata Ma’iz radhiallahu ‘anhu, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Ma’iz memohon kepada Rasulullah. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Mintalah ampun kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya.” Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi bimbingan kepada Ma’iz radhiallahu ‘anhu. Mendengar ucapan mulia dari lisan Khalilullah (Kekasih Allah) subhanallahu wa ta’ala, Ma’iz radhiallahu ‘anhu pun beranjak. Ia kembali ke tempat asalnya.

Namun selang berapa lama, Ma’iz radhiallahu ‘anhu berupaya lagi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ma’iz radhiallahu ‘anhu pun meminta kepada beliau agar membersihkan dirinya dari dosa. “Wahai Rasulullah, sucikanlah daku.” Pintanya penuh harap. Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun sama saat kali pertama ia menemui beliau. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Beristighfarlah kepada Allah. Bertaubatlah kepada-Nya.” Demikian yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ma’iz radhiallahu ‘anhu. Setelah mendengar itu, Ma’iz radhiallahu ‘anhu pun kembali. Apa yang dicitakan tak terkabulkan saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan agar Ma’iz radhiallahu ‘anhu menutup masalahnya dengan memohon ampun dan bertaubat kepada Allah subhanallahu wa ta’ala Yang Maha Penyayang.

Untuk kali ketiga, Ma’iz radhiallahu ‘anhu berusaha lagi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Pintanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menimpali dengan jawaban yang sama ketika dirinya datang pada kali pertama dan kedua.

Hingga, untuk kali keempat Ma’iz radhiallahu ‘anhu tetap menemui kembali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang ia pinta sama, “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya balik, “Lantaran perbuatan apa (sehingga) engkau harus disucikan?” Ma’iz radhiallahu ‘anhu menjawab, ”Lantaran perbuatan zina.”

Untuk masalah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanyakan perihal Ma’iz radhiallahu ‘anhu kepada kaumnya. “Apakah Ma’iz memiliki penyakit gila?” Maka kaumnya mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Ma’iz radhiallahu ‘anhu tidak mengidap sakit jiwa. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seseorang, “Apakah dia dalam keadaan telah minum khamer (mabuk)?” Mendengar pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semacam itu, seorang lakilaki lalu membaui Ma’iz radhiallahu ‘anhu. Orang tersebut tak mendapati bau khamer (minuman keras) pada diri Ma’iz radhiallahu ‘anhu.

Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Ma’iz radhiallahu ‘anhu, “Apakah dirimu telah berbuat zina?” “Ya.” Jawab Ma’iz radhiallahu ‘anhu singkat. “Apakah engkau memahami apakah zina itu?” Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih menukik. Ma’iz radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ya. Zina, yaitu ketika seorang laki-laki mendatangi wanita yang diharamkan baginya sebagaimana seorang suami mendatangi istrinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun lantas bertanya kembali, “Apakah engkau melakukan terhadap wanita itu?” “Ya.” Jawab Ma’iz radhiallahu ‘anhu. “Hingga keadaannya sebagaimana jarum celak masuk ke dalam botolnya, atau tali timba masuk ke dalam sumur?” Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mendalam. Ma’iz radhiallahu ‘anhu pun memberi jawaban singkat, “Ya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas memerintahkan untuk merajam Ma’iz radhiallahu ‘anhu. Tanah pun digali guna menanam tubuh Ma’iz radhiallahu ‘anhu. Saat itu, orang-orang terpilah dua. Sekelompok orang mengatakan tentang dia, “Sungguh ia telah celaka. Telah dibalas kesalahannya dengan hukuman rajam itu.” Sebagian orang lagi mengatakan, “Tiada taubat yang lebih utama dari taubatnya Ma’iz. Sungguh, ia telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas ia letakkan tangannya pada tangan beliau seraya berucap, ‘Bunuhlah aku dengan batu’.”

Hukum rajam pun dilaksanakan. Ma’iz bin Malik radhiallahu ‘anhu akhirnya meninggal dunia melalui hukuman tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi para shahabat, tatkala mereka tengah duduk-duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberi salam, lantas duduk bersama mereka. “Mohonkanlah ampunan bagi Ma’iz bin Malik.” Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada para shahabat. Kemudian para shahabat pun mendoakan Ma’iz bin Malik. “Semoga Allah mengampuni Ma’iz bin Malik.” Demikian doa itu terucap dari para shahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh ia telah bertaubat dengan sebuah taubat, yang apabila dibagikan kepada umat, benar-benar taubat itu mencukupi mereka.”

Di antara faedah dari kisah Ma’iz bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa hukuman had (pidana berdasar hukum Islam) bisa memupus dosa kemaksiatan yang melekat pada seseorang. Demikian pula dosa maksiat yang masuk kategori dosa-dosa yang besar (kaba’ir), bisa gugur dengan cara bertaubat kepada Allah subhanallahu wa ta’ala.

Wallahu a’lam.

[Sumber rujukan kisah ini lihat Shahih Muslim, no.1694-1695, Syarhu Riyadhi Ash-Shalihin, Kitabu Al-Adab, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitabu Al-Hudud, karya An-Nawawi].

Majalah Qudwah Edisi 2/2012

Oleh:
Abu Ammar Ahmad