Jamak bagi musafir adalah sunnah ketika dibutuhkan. Yang demikian itu jika seseorang terus melanjutkan perjalanannya. Maka dia melakukan jamak taqdim jika itu mudah baginya atau jamak takhir jika itu lebih mudah baginya.
Adapun jika dia telah mukim di sebuah negeri atau tinggal di tempat peristirahatan di darat, maka lebih utama untuk tidak menjamaknya. Namun jika dia menjamaknya, maka boleh.
Apabila seorang musafir tinggal di sebuah negeri, maka wajib untuk menghadiri shalat jamaah. Tidak boleh dia meninggalkan shalat berjamaah dengan dalih karena statusnya sebagai musafir. Karena musafir tidak gugur shalat Jum’at dan Jama’ah jika dia telah tinggal di suatu negeri. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS. al-Jum’ah : 9)
Sedangkan musafir masuk dalam cakupan orang-orang yang beriman pada ayat di atas dan juga karena Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam agar shalat bersama para sahabatnya secara berjamaah ketika terjadi peperangan dan peperangan tersebut tidaklah terjadi melainkan ketika safar.
Adapun ucapan yang populer di kalangan masyarakat, bahwa shalat berjamaah dan Jum’at telah gugur dari seorang musafir, maka keabsahannya perlu ditinjau ulang. Karena sesungguhnya para ulama rahimahumullah telah menegaskan bahwa orang yang tinggal di suatu negeri wajib melakukan shalat Jum’at. Namun mereka mengatakan bahwa shalat tersebut wajib bersama dengan selainnya.