Kemunafikan adalah penyakit kalbu yang sangat berbahaya bagi seorang hamba. Hal ini bukan tanpa alasan, karena kemunafikan merupakan salah satu dosa besar yang sangat memprihatinkan. Allah سبحانه وتعالى telah menyebutkan tentang kemunafikan dan para pelakunya dalam sekian banyak ayat Al-Quran.
Di awal surat Al-Baqarah, Allah سبحانه وتعالى menjelaskan bagaimana para pelaku kemunafikan dengan berbagai karakter dan perangainya. Mereka mencoba menipu Allah Allah سبحانه وتعالى dan orang-orang yang beriman, serta berusaha melakukan kerusakan di atas muka bumi. Kemunafikan adalah bentuk pengkhianatan terhadap Allah Allah سبحانه وتعالى dan sesama manusia.
Nasihat seringkali menjadi hal yang sulit diterima bagi orang orang yang terjangkiti penyakit ini. Bahkan, mereka yang diingatkan pun kadang mengatakan, “innama nahnu muslihun,” ( إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ), yakni mereka menghendaki kebaikan. Namun, ketahuilah bahwa ungkapan tersebut sering kali menjadi kedok bagi kemunafikan yang disembunyikannya.
Bahkan Allah سبحانه وتعالى secara khusus menurunkan sebuah surat dalam Al-Quran yang membahas tentang kemunafikan dan para pelakunya yang dinamakan dengan surat Al-Munafiqun. Allah berfirman :
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Dalam surat ini, Allah سبحانه وتعالى menjelaskan bahwa para pelaku kemunafikan adalah orang-orang yang menyembunyikan niat jahat mereka di balik kedok kebaikan. Mereka selalu berusaha memperdaya dan menipu orang lain dengan cara-cara yang licik dan tidak terlihat.
Dampak dari kemunafikan sangatlah berbahaya. Para pelakunya akan menjadi musuh terbesar bagi umat Islam dan dapat menimbulkan kerusakan besar dalam masyarakat. Mereka juga dapat menyesatkan orang lain dan menjadikan mereka keluar dari jalan yang benar.
Maka semua ini memberikan gambaran kepada kita bahwa nifaq atau kemunafikan adalah penyakit yang sangat berbahaya dan tidak sepantasnya seorang muslim memandang sebelah mata atau meremehkan penyakit tersebut.
Dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah bahwa pengertian nifak secara bahasa adalah jinsul khidak wal-makar. Kemunafikan itu sejenis dengan penipuan dan tipu daya. Sehingga khidak atau penipuan adalah salah satu sifat orang munafik. Seperti yang telah difirmankan Allah سبحانه وتعالى dalam kalamnya yaitu,
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah :9)
Dalam surat lain Allah سبحانه وتعالى juga menjelaskan tentang sifat ini bahwa,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa :142)
Di dalam syariat islam kemunafikan dibagi menjadi 2. Dikatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah bahwa kemunafikan ada 2 yaitu Kemunafikan Besar (An-nifakul akbar) dan Kemunadikan Kecil (An-nifakul asghor)
1. Kemunafikan Besar (An-nifakul akbar)
Pengertian nifak besar adalah seseorang menampakkan keimanan kepada Allah سبحانه وتعالى. ,para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan hari akhir Namun pada hakikatnya dia menyembunyikan kekafirannya pada semua atau sebagiannya.
Seseorang misalnya, secara lahir menampakkan diri sebagai seorang muslim yang baik. Dia mengucapkan dua kalimat syahadah. Dia melakukan sholat. Dia menunaikan puasa Ramadhan. Bahkan mungkin dia melakukan jihad fi sabilillah. Maka secara penglihatan mata dia menampakkan sebagai seorang hamba yang beriman kepada Allah, Rasulnya ﷺ, dan hari akhir. Namun ternyata dia menyembunyikan lawan dari semua itu. Dia menyembunyikan kebencian terhadap Allah سبحانه وتعالى dan rasulnya ﷺ. Sehingga kemunafikan besar ini terkait dengan akidah (keyakinan) hamba yang ada di dalam kalbunya. Bahkan sebagian ulama menjelaskan bahwa nama lain dari kemunafikan besar adalah kemunafikan kalbu (nifak i’tiqodi) .
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan bahwa kemunafikan kalbu pernah terjadi pada zaman rasulullah ﷺ. Yang mana orang-orang munafik ini mulai bermunculan setelah nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Dan Tokoh utama kaum munafikin adalah Abdullah bin Ubay bin Salul dan para pengikutnya. Mereka secara lahir menampakkan keislamannya. Namun dibalik itu semua, jauh didalam kalbunya, tersimpan kebencian yang mendalam kepada agama Islam dan para pemeluknya. Ketika ada musyrikin yang membenci dakwah Nabi ﷺ dan para sahabatnya, maka dia, Abdullah bin Ubay bin Salul juga ikut mendukung kaum musyrikin dalam melakukan gangguan, intimidasi, pembunuhan, dan peperangan terhadap kaum muslimin.
Itulah mereka kaum munafikin, yang tidak berani menunjukkan kebenciannya secara terang-terangan terhadap kaum muslimin dan hanya berani bersembunyi dalam bingkai keimanan yang semu. seperti serigala berbulu domba. Bahkan Allah ta’ala menurunkan ayat Al-Quran untuk mencela pelakunya, dan mengkafirkan mereka, serta orang munafik kekal di dalam neraka.
Dalam surat At-Taubah Allah berfirman,
“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (At-Taubah :8)
Dari ayat di atas kaum munafikin mendapatkan 3 ancaman sekaligus yaitu mereka akan mendapatkan siksaan yang kekal abadi. Kemudian mereka dilaknat oleh Allah سبحانه وتعالى sebutkan bagi mereka. Dan mereka akan kekal dalam neraka jahannam.
Sangat mengerikan ketetapan Allah ta’ala bagi kaum munafikin. Seandainya ada seseorang yang divonis oleh seorang hakim dengan vonis hukuman mati, itu sudah sangat luar biasa rasa takutnya. Lalu bagaimana kiranya ketika yang memberikan vonis tersebut adalah Allah سبحانه وتعالى ? Siksaan yang sangat dahsyat dan kekal atas mereka dalam neraka. Setiap kali kulit mereka terkelupas dan hancur oleh siksaan neraka, maka akan diganti dengan kulit yang baru. Terus berulang dan berulang agar mereka merasakan azab yang sebenar-benarnya. na’udzubillah min dzalik
Demikian halnya firman Allah سبحانه وتعالى dalam ayat yang lain.
“Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.” (At-Taubah : 64)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga mengancam orang-orang munafik ini dengan ditempatkannya mereka dalam kerak neraka. Nauzubillah min dzalik. Sehingga posisi mereka di neraka nanti adalah posisi yang paling bawah. Bahkan di bawah orang-orang kafir, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan yang lainnya. Kenapa demikian? Karena kondisi mereka lebih parah daripada orang-orang kafir. Kalau orang-orang kafir, mereka memusuhi kaum muslimin secara terang-terangan. Mereka dengan nyata menampakkan permusuhan terhadap kaum muslimin. Adapun orang-orang munafik, maka mereka musuh dalam selimut. Terkadang keberadaan mereka tidak diketahui oleh kaum muslimin. Karena mereka melakukan makar atau tipu daya dengan cara yang licik yaitu berpura-pura beriman namun sesungguhnya mereka kafir. Inilah yang menyebabkan mereka lebih parah daripada kondisi orang-orang kafir harbi. Mereka memusuhi kaum muslimin dan juga melakukan makar atau penipuan terhadap muslimin. Demikian dijelaskan oleh para ulama.
Sehingga ma’asyiral muslimin, di antara konsekuensi kemunafikan besar ini, yang pertama adalah akan membuat pelakunya kekal di dalam neraka. Sebagaimana Syirik Akbar. Kemudian yang kedua, kemunafikan besar tersebut akan menghapus semua amalan pelakunya. Sebagaimana Syirik Akbar. Dan juga pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah سبحانه وتعالى. Jika dia mati dalam keadaan belum bertobat kepada Allah سبحانه وتعالى maka, mereka mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan syirik besar.
2. Kemunafikan kecil (nifaq asghor). Berbeda dengan Kemunafikan jenis pertama. Kemunafikan jenis kedua lebih kepada kemunafikan berupa amalan. Hanya sebatas penampilan lahiriah saja. Walaupun kalbunya tetap sebagai seorang muslim, beriman kepada Allah ta’ala dan RasulNya. Namun dia memiliki sifat-sifat orang munafik secara lahiriah. Ketika berbicara berdusta, ketika berjanji mengingkari, ketika beri amanah berkhianat. Dan sifat-sifat kemunafikan yang lainnya. Nah terkait dengan definisi nifak kecil ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah.
Kemunafikan kecil adalah seseorang menampakkan kondisi lahiriah yang baik. Wa yubutina ma yukhalifu dzalik. Dan dia menyembunyikan lawannya, menyembunyikan keburukan di dalam kalbunya. Seseorang yang berbicara dengan fasih bahkan mungkin bersumpah atas nama Allah سبحانه وتعالى namun ternyata dia telah berdusta. Seseorang yang berjanji kepada orang lain. Dia berjanji untuk menunaikan janjinya tersebut, namun ternyata kalbunya tidak sejalan dengan ucapan lisannya. Bahkan sebelum berjanji dia sudah mempunyai niatan untuk mengingkarinya. Atau seseorang yang diberi amanah untuk menunaikan sebuah kewajiban . Namun dia berkhianat.
Seorang Muslim yang pada dirinya terdapat sifat di atas maka dia memiliki sifat-sifat Kemunafikan. Namun tidak seperti kemunafikan akbar, kemunafikan asghor tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Nabi ﷺ pernah mengatakan kepada seorang wanita. Ketika wanita tersebut memanggil anaknya Maka ditanya oleh Nabi ﷺ, apa yang akan kau berikan kepada putramu? Dia pun menjawab , tamraat (kurma). Maka Nabi ﷺ mengatakan kepada wanita tadi :
“Jika engkau seandainya tidak memberikan sesuatu pun kepada anakmu itu, maka akan dicatat untukmu sebagai sebuah kedustaan.”
Dari hadist di atas, Nabi ﷺ tidak mengatakan bahwa wanita tersebut munafik, yang mengeluarkannya dari agama Islam (seperti kemunafikan besar) Namun Nabi ﷺ sebatas menjelaskan bahwa itu merupakan sebuah kedustaan yang merupakan salah satu tanda sifat orang munafik.
Seperti halnya Seorang kafir, Yahudi, dan Nasrani yang terkadang memiliki adab-adab Islami seperti jujur, amanah dan lain sebagainya. Semua itu tidak akan pernah merubah status mereka menjadi seorang Muslim.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, bahwa ingkar janji merupakan ingkar janji salah satu sifat atau perangai orang-orang munafik. Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah membagi menjadi 2 terkait dengan sifat ini.
1. Seseorang yang berjanji namun sudah berniat untuk mengingkarinya. Sehingga sejak awal dia tidak ada niatan sama sekali untuk memenuhi janjinya. Maka kata beliau rahimahullah, ini merupakan seburuk-buruknya akhlaq, seburuk-buruknya perangai, bahkan seburuk-buruknya manusia. Na’udzubillahimmin dzalik kalau sampai seperti itu.
2. Seorang yang berjanji dan dalam hatinya punya niatan untuk menunaikan janji tersebut. Namun dia mengingkari janjinya tersebut tanpa alasan yang dibenarkan syar’i.
Tingkatnya ingkar janji yang seperti ini lebih ringan daripada yang pertama. Pada awalnya, dia punya niatan untuk menunaikan janjinya tersebut. Namun tanpa ada udzur (alasan) yang syar’i, dia mengingkari janjinya. Lain hal nya jika dia tidak menunaikan janjinya karena ada alasan yang dibenarkan oleh syariat dengan dia menjelaskan alasannya kepada orang yang diberi janji maka yang demikian itu tidak mengapa. Dengan menjelaskan alasannya, akan menghindari buruk sangka terhadapnya.
Para ulama sepakat bahwa dua jenis ingkar janji di atas tetap merupakan sifat yang tercela. Sehingga hendaknya seorang muslim berusaha untuk menghindari perangai tersebut.
Disebutkan juga oleh sebagian salaf seperti Abdurrahman bin Amr al-Awza’i rahimahullah beliau mengatakan, “memberikan janji dengan ucapan insya Allah dan bersama dengan itu di dalam kalbunya tidak ada keinginan untuk menunaikan janji tersebut, ini tetap merupakan sebuah kemunafikan.”
Dan betapa banyaknya orang yang melakukan seperti itu. Sangat bermudah-mudahan mengucapkan insya Allah ketika berjanji. Sementara tidak ada upaya sama sekali untuk menunaikan janjinya tersebut. Atau dia bermudah-mudahan untuk tidak menunaikan janjinya.
Hendaknya seorang tetap berusaha untuk menunaikan janjinya. Ucapan InsyaAllah tersebut bukan merupakan sebuah alasan untuk tidak menunaikan janjinya. Dan seorang muslim yang baik, seorang mukmin yang sejati, dia akan berusaha untuk menunaikan janjinya dengan semaksimal mungkin. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memuji seorang mu’min yang karakternya seperti itu. Seorang mukmin yang senantiasa berusaha untuk menunaikan janjinya.
Pada kesimpulannya, kita harus selalu merenungkan betapa berbahayanya sifat munafiq ini. Kita harus berusaha untuk menjadi pribadi yang jujur dan tulus dalam segala hal. Jangan menjadi orang yang berpura-pura dan munafik hanya untuk mencapai keuntungan sementara merugikan orang lain. Ingatlah bahwa Allah سبحانه وتعالى selalu mengetahui segala yang kita lakukan dan akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan kita.