Qonitah
Qonitah

wanita, ‘saudara kandung’ pria

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Wanita, ‘Saudara Kandung’ Pria

silsilah-hadits-4Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

Wanita adalah syaqa’iq (saudara kandung) pria.” (HR. al-Imam Ahmad dalam Baqi Musnadil Anshar dari hadits Ummu Salamah no. 5869, at-Tirmidzi dalam “Kitab ath-Thaharah” no. 105, dan Abu Dawud dalam “Kitab ath-Thaharah” no. 204; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2333)

Hadits ini sering disalahtafsirkan, bahkan disalahgunakan oleh sebagian kalangan, seperti kaum feminis dan humanis, bahkan kalangan pergerakan Islam, seperti orang-orang Islam liberal. Hadits ini mereka jadikan dalih untuk mengusung pemikiran-pemikiran kesetaraan gender, emansipasi, dan sejuta jargon manis lain yang bertujuan mengeluarkan wanita muslimah dari kemuliaan agama mereka.

Mereka menyatakan, hadits ini adalah dalil bahwa wanita setara dan sebanding dengan pria dalam hal hak dan kewajiban, secara mutlak. Wanita bebas bergerak dan berkiprah di semua bidang, tanpa batasan rambu apa pun. Wanita bebas berprofesi apa saja, boleh menjadi pemimpin secara mutlak, memiliki kekuatan persaksian yang sama dengan pria, memiliki hak waris yang sama dengan pria, bebas membuka tubuhnya seperti halnya pria, bebas mengekspresikan diri, memiliki hak yang sama dengan suaminya di dalam rumah tangga, dsb. Benarkah?

Penjelasan Ulama tentang Makna Hadits

Dalam Ma’alimus Sunan, al-Khaththabi rahimahullah menjelaskan makna kata syaqa’iq, “(Wanita) sebanding dan semisal dengan pria dalam hal penciptaan dan tabiat, sehingga seakan-akan wanita adalah belahan dari pria.”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (jilid 25) menjelaskan bahwa hadits ini shahih, dan maknanya—wallahu a’lam—adalah bahwa wanita semisal dengan pria, kecuali dalam masalah yang dibedakan oleh penetap syariat (Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wassalam), seperti hukum waris, persaksian, dan hal lain yang ada dalilnya (bahwa pria dan wanita berbeda).

Di dalam Fatawa Nur ‘alad Darb, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan lafadz hadits “Wanita adalah syaqa’iq pria”, “Wanita adalah saudara kandung pria. Maknanya, wanita adalah bagian dari pria karena seorang wanita adalah anak dari ayahnya. Dengan demikian, ia adalah bagian dari ayahnya, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tentang Fathimah bintu Muhammad radhiyallahu ‘anha,

فَاطِمَةُ بِضْعَةٌ مِنِّي

“Fathimah adalah bagian dariku.”

Lafadz tersebut juga memiliki makna lain. Wanita adalah syaqa’iq pria, artinya wanita sama dengan pria di dalam urusan yang diwajibkan oleh Allah k atas kaum pria dan kaum wanita, dalam urusan/hukum yang tidak dikhususkan bagi wanita, atau dalam urusan/hukum yang tidak dikhususkan bagi pria.”

Berkaitan dengan urusan yang diwajibkan Allah k atas pria dan wanita, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan kalimat “Wajib bagi setiap muslim dan muslimah mempelajari permasalahan ilmiah”, “(Yaitu) wajib bagi setiap pria dan wanita dari kalangan kaum muslimin, baik merdeka maupun hamba sahaya. Sebab, wanita berserikat dengan pria dalam mayoritas kewajiban, kecuali kewajiban yang dikhususkan bagi pria oleh dalil. Dikhususkan bagi pria kewajiban shalat berjamaah di masjid, shalat jumat, dan (syariat) ziarah kubur. Ini semua dikhususkan bagi pria. Demikian pula jihad fi sabilillah, ini khusus bagi pria. Jadi, sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil sebagai kekhususan bagi pria, berarti hal tersebut khusus bagi mereka. Apabila tidak ada dalil yang mengkhususkannya, pada prinsipnya pria dan wanita sama (kedudukannya) dalam hal kewajiban, keharusan menjauhi keharaman, dan seluruh beban syariat yang lain. Di antara contohnya, mempelajari ilmu syariat adalah wajib bagi pria dan wanita. Sebab, ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala —yang menjadi tujuan kita diciptakan—tidak mungkin tegak selain dengan mempelajari ilmu syar’i yang mengantarkan kita mengetahui (cara) beribadah kepada Rabb kita. Jadi, baik pria maupun wanita wajib mempelajari urusan agama mereka, terutama masalah-masalah akidah (keyakinan).”

Wanita Setara dengan Pria, Jika Tidak Ada Dalil yang Membedakan

Dari penjelasan para ulama di atas, kita dapat mengetahui bahwa hukum, hak, dan kewajiban yang didapatkan oleh wanita sama dengan yang didapatkan oleh pria, kecuali dalam hal yang dibedakan oleh dalil syariat. Hadits di atas diucapkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ketika ditanya tentang ihtilam (mimpi basah) wanita dan inzal (keluarnya mani) wanita ketika ihtilam, yang sama hukumnya dengan ihtilam pada pria. Meski demikian, para ulama memahami bahwa makna hadits ini juga meliputi semua hal yang tidak ada dalil yang membedakan antara pria dan wanita.

Di antara sekian banyak hal yang tidak ada perbedaan antara pria dan wanita adalah kewajiban dan hak mempelajari agama Allah subhanahu wa ta’ala. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ، فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ؛ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ، فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ

Kaum wanita berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “Kami dikalahkan oleh kaum pria dalam hal menuntut ilmu dari Anda, maka sediakanlah waktu satu hari untuk kami belajar kepada Anda!” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun menjanjikan suatu hari khusus untuk bertemu dengan mereka. Beliau menasihati mereka dan memberi perintah kepada mereka. (HR. al-Bukhari)

Di antaranya pula adalah kesetaraan dalam hak kepemilikan harta. Allah l berfirman,

وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَ

“Dan wanita pun mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan.” (an-Nisa’: 32)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam tafsir ayat ini bahwa dalam hal kemaslahatan duniawi dan agama, ada dua hal yang terpuji bagi seorang hamba, yaitu ia berusaha sesuai kemampuannya untuk mendapatkan kemaslahatan tersebut, dan ia meminta keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, ia tidak boleh bersandar pada diri sendiri atau pada selain Rabb-nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa pria mendapatkan bagian/buah dari amalan yang diusahakannya, yang menghasilkan apa yang dicarinya. Demikian pula halnya wanita. Jadi, masing-masing meraih apa yang mereka usahakan dan apa yang mereka berlelah diri mengupayakannya.

Contoh lainnya adalah kesetaraan dalam hal hak memberikan perlindungan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada Ummu Hani radhiyallahu ‘anha, saudari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

Kami telah melindungi orang yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.” (Muttafaq ‘alaih)

Demikian juga halnya dalam masalah pahala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧

“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (an-Nahl: 97)

Namun, keserupaan dan kesetaraan antara pria dan wanita tidaklah mutlak. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan perbedaan keduanya dalam banyak hal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰۖ

Dan tidaklah sama pria dengan wanita.” (Ali Imran: 36)

Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan kepemimpinan umum bagi pria dan menerangkan alasannya.

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah memberikan kelebihan kepada sebagian mereka (pria) atas sebagian lainnya (wanita), dan karena mereka (pria) memberikan nafkah dari harta mereka.” (an-Nisa’: 34)

Berbeda halnya dengan beberapa peradaban yang meniadakan hak waris bagi wanita (seperti Eropa pada Masa Kegelapan), Islam menetapkan bahwa wanita mendapatkan warisan, dan bagiannya adalah separuh bagian pria. Sebab, mereka berdua berbeda dalam hal kewajiban memberikan nafkah.

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ

Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (an-Nisa: 11)

Masih banyak perbedaan dan kekhususan syariat Allah subhanahu wa ta’ala bagi kaum Hawa. Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di di dalam tafsirnya menjelaskan, Allah melarang wanita mengangankan kekhususan yang Dia k berikan kepada kaum pria, yang dengan kekhususan itu Dia melebihkan pria di atas wanita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ

“Dan janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan oleh Allah terhadap sebagian kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain.” (an-Nisa 32)

Jadi, ada rambu-rambu syariat yang harus diperhatikan oleh wanita beriman setiap kali hendak beraktivitas. Misalnya, ketika ingin bekerja, ia harus memerhatikan pekerjaan yang dapat dilakukannya, yaitu yang sesuai dengan fitrahnya dan tidak menerjang batasan Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika ingin keluar rumah, ia harus memerhatikan apa keperluannya, cara berpakaian, adab di jalan; sudahkah semua itu sesuai dengan yang dituntut oleh Allah k dari dirinya? Ketika ingin menikah atau ketika sudah menjadi seorang istri, apa saja hak dan kewajibannya yang digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wassalam? Banyak hal yang harus dipelajarinya, karena banyaknya perbedaan hukum antara pria dan wanita.

Perbedaan-perbedaan ini tentu penuh dengan hikmah, baik yang kita ketahui maupun tidak. Sebagai hamba yang beriman, kita wajib mendengar dan taat pada aturan dan hukum Allah, pencipta dan sembahan kita Tabaraka wa Ta’ala. Sehingga semoga dengan sebab ketaatan itu, Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita, memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan memberikan berkah-Nya kepada kita di dunia dan di akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan sifat wanita yang salihah,

فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ

Wanita yang salihah adalah yang taat (kepada Allah) lagi memelihara diri mereka ketika suami mereka tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).” (an-Nisa’: 34)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang wanita yang terbaik,

أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ

Siapakah wanita yang paling baik? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, Yang menyenangkan apabila dilihat oleh suaminya, yang taat apabila diperintah oleh suaminya, dan tidak menyelisihi suaminya dalam hal dirinya dan harta suaminya dengan perbuatan yang dibenci oleh suaminya. (HR. Ahmad 2/251, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1838)

Wallahul muwaffiq.