Qonitah
Qonitah

wanita haid dan al-qur’an

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Wanita Haid dan al-Qur’an

fikih-wanita-016Wanita Haid dan al-Qur’an

Al-Ustadzah Ummu Muhammad

Al-Qur’an al-Karim, kitab suci umat Islam, merupakan kalamullah (ucapan-ucapan Allah) yang harus dimuliakan. Ada adab-adab tertentu dalam membacanya. Di antara adab tersebut adalah membacanya dalam keadaan suci. Namun, bagaimana dengan wanita yang mengalami haid yang mayoritasnya dalam jangka waktu lama (berhari-hari)? Apakah dia diperbolehkan membaca al-Qur’an dalam keadaan haid?

Hukum Wanita Haid Membaca al-Qur’an[1]

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum wanita haid membaca al-Qur’an. Ada tiga pendapat.

Pendapat pertama menyatakan makruh (dibenci) bagi wanita haid membaca al-Qur’an. Ini pendapat ‘Umar dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu serta al-Hasan al-Bashri dan az-Zuhri. Hujah (argumen) mereka adalah:

  1. Hadits ‘Ali, dia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ يُحْجِبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ

“Bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, tidak ada sesuatu pun yang menghalangi beliau dari membaca al-Qur’an selain janabah (keadaan junub).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini dha’if dalam Irwa’ul Ghalil 2/242)

Yang menjadi penguat dari hadits ini adalah bahwa orang yang junub terhalang dari membaca al-Qur’an. Wanita haid itu seperti orang yang junub karena hadatsnya lebih besar. (al-Mughni 1/200 dan Fathul Bari 1/407)

  1. Hadits

إِنِّيْ كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ

“Saya tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thahawi. Hadits ini shahih; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 834 dari al-Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu ‘anhu)

 

Pendapat kedua menyatakan diharamkan bagi wanita haid membaca al-Qur’an. Ini pendapat sebagian ulama bermazhab Syafi’i. Al-Imam an-Nawawi, dalam al-Majmu’ (2/387), berkata, “Diharamkannya membaca al-Qur’an bagi wanita yang haid adalah pendapat yang benar dan masyhur.” Hujah mereka adalah:

  1. Kisah ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu.

Istri ‘Abdullah melihatnya menggauli budak wanita miliknya, maka si istri pun segera mengambil pisau besar untuk membunuh ‘Abdullah. Namun, ‘Abdullah tidak mengaku telah menggauli budaknya, dan berkata, “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melarang orang junub membaca al-Qur’an?”

Istrinya menjawab, “Benar.”

‘Abdullah pun membacakan bait-bait syair yang dikira oleh istrinya sebagai ayat-ayat al-Qur’an, sehingga istrinya mengurungkan niatnya untuk membunuh ‘Abdullah.

Kemudian, ‘Abdullah menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, maka beliau shallallahu ‘alaihi wassalam tertawa dan tidak mengingkari perbuatannya. (HR. ad-Daruquthni)

Namun, hadits ini dha’if karena pada sanadnya ada rawi yang tidak disebutkan (sanadnya terputus). Demikian menurut al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ (2/1591).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam alMajmu’ (2/183), “Kisah ‘Abdullah bin Rawahah ini dijadikan dalil dari dua sisi:

  • Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengingkari ucapan ‘Abdullah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengharamkan orang yang junub membaca al-Qur’an”.
  • Hal ini sudah terkenal di kalangan sahabat. Baik sahabat dari kalangan pria maupun wanita
  1. Hadits ‘Ali di atas.
  2. Hadits ‘Ali, dia berkata, “Bacalah oleh kalian al-Qur’an selama kalian tidak dalam keadaan junub. Apabila kalian junub, tidak boleh membacanya walau satu huruf.” (HR. adDaruquthni. Hadits ini mauquf [ucapan ‘Ali, bukan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, -ed.])
  3. Hadits dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,

لَاتَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

“Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca sedikit pun dari al-Qur’an.” (HR. atTirmidzi, Ibnu Majah, alBaihaqi, dan adDaruquthni. Hadits ini dhaif. Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini, “Hadits ini dhaif menurut kesepakatan ahli hadits.” Lihat Majmu’ alFatawa 21/460)

  1. Wanita haid diqiyaskan dengan orang junub yang tidak dibolehkan membaca al-Qur’an.

 

Pendapat ketiga menyatakan boleh wanita haid membaca al-Qur’an. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin al-Musayyib, Ibnul Mundzir, Ibnu Malik, asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ alFatawa 21/459). Hujah mereka adalah:

  1. Kaidah al-baraah al-ashliyyah, yaitu bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarang.
  2. Hadits ‘Aisyah, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan. (HR. Muslim, dan alBukhari secara mu’allaq)

  1. Riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau membaca al-Qur’an dalam keadaan junub (alMuhalla 1/105).
  2. Bahwa membaca al-Qur’an termasuk zikir kepada Allah; ada pahala bagi yang melakukannya. Maka dari itu, orang yang menganggap adanya larangan pada sebagian keadaan wajib menyampaikan dalil. (alMuhalla 1/102)

Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau melarang wanita haid membaca al-Qur’an, padahal para sahabat wanita pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wassalam juga mengalami haid. Apabila membaca al-Qur’an diharamkan atas wanita haid seperti halnya shalat dan puasa, tentu akan beliau jelaskan kepada umat. Akan beliau ajarkan pula hal ini kepada istri-istri beliau (Ummahatul Muminin) sehingga dinukilkan dari mereka dan tersebar di kalangan manusia. Karena tidak ada penukilan seorang pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau melarang atau mengharamkannya disertai pengetahuan bahwa beliau tidak melarangnya, jelaslah bahwa hal tersebut tidak diharamkan. (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah 20/191)

  1. Bahwa keadaan haid adalah keadaan darurat, yang datang tanpa dikehendaki wanita dan dalam waktu yang panjang. Apabila wanita haid dilarang membaca al-Qur’an, tentu dia akan lupa dengan apa yang telah dia pelajari dari K Berbeda halnya dengan keadaan junub yang mayoritasnya dialami seseorang karena kehendaknya, dan memungkinkan untuk segera dihilangkan dengan mandi janabah atau tayammum (apabila tidak mendapati air atau tidak mampu menggunakan air). (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah 21/460, alMajmu’ 2/159, dan Ma’alim asSunan 1/76)

Asy-Syaikh al-Albani, dalam Silsilah alHuda wa anNur (kaset no. 1), berkata, “Mengenai hukum wanita haid membaca al-Qur’an, tidak dikatakan bahwa pendapat yang kuat demikian dan pendapat yang lemah demikian. Sebab, keadaan wanita haid berbeda dengan keadaan orang yang junub. Wanita haid tidak mampu bersuci atau menghilangkan hadatsnya sampai dia selesai haid. Adapun zikir, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak suka melakukannya (apabila tidak dalam keadaan suci, -pent.), telah beliau izinkan/bolehkan sebagaimana ucapan beliau kepada ‘Aisyah ketika haji,

اصْنَعِيْ كُلَّ مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَلَّا تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Lakukan semua yang dilakukan oleh jemaah haji, kecuali thawaf di Baitullah (Ka’bah), sampai engkau suci. (HR. alBukhari dan Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam mengizinkan ‘Aisyah melakukan semua amalan haji (kecuali thawaf, -pent.), sementara orang yang haji tidak melakukan amalan kecuali berzikir dengan membaca al-Qur’an atau zikir lainnya.”

Dari ketiga pendapat ini, yang kuat bagi penulis adalah pendapat ketiga, yaitu bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an, terlebih wanita yang menjadi daiyah (juru dakwah) yang menyampaikan dakwahnya dengan ayat-ayat Allah, pengajar yang mengajarkan al-Qur’an kepada muridnya, atau siswi/pelajar yang butuh membaca dan menghafal al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Hukum Wanita Haid Berzikir kepada Allah

An-Nawawi rahimahullah, dalam al-Majmu’ (2/387), berkata, “Para ulama telah sepakat atas bolehnya membaca tasbih, tahlil, dan semua zikir selain al-Qur’an bagi wanita haid dan nifas.”

Bagaimana apabila dia berzikir dengan ayat-ayat al-Qur’an?

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang membolehkan, ada pula yang tidak membolehkan. Namun, perbedaan pendapat ini pada hakikatnya dibangun di atas perbedaan pendapat yang telah lewat, yakni dalam masalah hukum wanita haid membaca al-Qur’an. Telah disebutkan bahwa pendapat yang kuat adalah bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an. Oleh karena itu, berzikir dengan ayat-ayat al-Qur’an menjadi boleh pula. Wallahu a’lam.

Hukum Menyentuh Mushaf al-Qur’an

Masalah ini kembali pada hukum menyentuh mushaf al-Qur’an bagi orang yang berhadats, apakah boleh atau tidak. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini.

  1. Pendapat pertama, orang yang berhadats dengan hadats kecil, apalagi hadats besar, tidak boleh menyentuh al-Qur’an.

Hujjah mereka adalah:

  1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ ٧٩

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (al-Waqi’ah: 79)

  1. Hadits tentang kitab yang ditulis oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam untuk ‘Amr bin Hazm, di dalamnya ada kata-kata,

أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْأَنَ إِلَّا طَاهِرٌ

“Jangan menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR. Malik, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, ad-Darimi, dan al-Hakim, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 122)

  1. Pendapat kedua, orang yang berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil; junub, wanita haid, atau yang pada badannya terdapat najis boleh menyentuh al-Qur’an karena tidak ada hadits yang jelas yang melarang.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam,

أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.”

pengertian طَاهِرٌ (orang yang suci) dalam hadits di atas adalah الْمُؤْمِنُ (seorang mukmin). Sebab, ada riwayat yang shahih dari al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ

“Seorang mukmin itu tidak najis.”

Adapun orang musyrik itu najis.

إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (at-Taubah: 28)

Hal ini dikuatkan oleh riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah ﷺ melarang seseorang safar ke negara musuh dengan membawa al-Qur’an (karena khawatir al-Qur’an dipegang oleh orang musyrik atau kafir).

Adapun ayat,

لَّا يَمَسُّ هُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ ٧٩

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (al-Waqi’ah: 79)

dhamir (kata ganti) ha’ () di sini bukan al-Qur’an yang ada di dunia, karena dalam ayat sebelumnya disebutkan,

فِي كِتَٰبٖ مَّكۡنُونٖ ٧٨

“Dalam kitab yang terpelihara (Lauh al-Mahfuzh).” (al-Waqi’ah: 78)

Makna kata الْمُطَهَّرُوْنَ (hamba-hamba yang disucikan) di sini adalah para malaikat. Ini pendapat mayoritas (jumhur) ahli tafsir.

Pendapat kedua ini dikuatkan oleh al-Imam asy-Syaukani dalam Nailul Authar (1/180—181) dan asy-Syaikh al-Albani dalam Tamamul Minnah (hlm. 107).

Penulis sendiri cenderung kepada pendapat yang membolehkan menyentuh al-Qur’an bagi orang yang berhadats dan wanita haid, karena tidak adanya dalil yang melarangnya, sebagaimana bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an. Ini merupakan cabang dari masalah tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda kepada ‘Aisyah,

إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِيْ يَدِكِ

“Sesungguhnya haidmu itu bukan di tanganmu.” (HR. Muslim)

Akan tetapi, untuk keluar dari perselisihan dan lebih berhati-hati, hendaknya wanita haid memegang al-Qur’an dengan menggunakan pelapis. Wallahu a’lam bish shawab.

[1] Yang dimaksudkan dengan membaca adalah yang disertai gerakan lisan (lidah). Adapun melihat ke mushaf dan membacanya dalam hati tanpa menggerakkan lisan, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kebolehannya. (Lihat al-Majmu’ 2/163, al-Imam an-Nawawi)