Saudariku muslimah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Anda. Pada rubrik kali ini kami ketengahkan bahasan perihal mandi. Di antara hal yang mewajibkan mandi adalah keluarnya mani dan bertemunya dua khitan. Berikut penjelasannya.
Pengertian Mandi (اَلْغُسْلُ)
اَلْغُسْلُ adalah istilah untuk اَلْاِغْتِسَالُ, yaitu mengguyur seluruh tubuh dengan air. Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Fath, berkata, “Hakikat mandi adalah mencuci seluruh anggota tubuh, disertai dengan niat dengan membedakan antara mandi untuk ibadah dan mandi karena kebiasaan.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ
“Apabila kalian junub[1], bersucilah.” (al-Maidah: 6)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan kalian mabuk, sampai kalian menyadari apa yang kalian ucapkan, dan jangan pula (kalian menghampiri masjid) dalam keadaan kalian junub, kecuali sekadar lewat, sebelum kalian mandi.” (an-Nisa’: 43)[2]
Hal-hal yang Mewajibkan Mandi
Di antara hal-hal yang mewajibkan mandi ialah:
Hal ini berdasarkan hadits:
نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ya, jika dia melihat (mendapati) air (mani).”[5] (HR. al-Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
إِذَا كَانَ مِنْهَا مَا يَكُونُ مِنَ الرَّجُلِ فَلْتَغْتَسِلْ
‘Apabila wanita itu mengalami apa yang dialami pria (yakni mimpi basah, –pent.), dia wajib mandi’.” (HR. Muslim no. 312)
Beliau juga ditanya tentang seorang pria yang bermimpi, tetapi tidak mendapati basah. Beliau ` menjawab, “Dia tidak wajib mandi.”
Berkatalah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, “Seorang wanita mengalami yang demikian. Apakah dia wajib mandi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
نَعَمْ، إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Ya, karena wanita itu saudara kandung pria.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 216, Shahih Sunan Ibni Majah no. 396, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 98, dan al-Misykah no. 441)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Keluarnya mani yang memancar disertai syahwat mewajibkan mandi bagi pria dan wanita, baik ketika sadar maupun ketika tidur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama ahli fikih. Al-Imam at-Tirmidzi berkata, ‘Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat padanya’.” (al-Mughni 1/197 “Bab Ma Yujibu al-Ghusla”)
Faedah yang dapat diambil dari hadits-hadits di atas adalah:
Hal ini berdasarkan hadits:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang pria duduk di antara empat cabang tubuh wanita[7] kemudian mencampurinya[8], ia wajib mandi.”
Di dalam riwayat Muslim terdapat lafadz,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“… walaupun dia tidak mengeluarkan mani.” )HR. al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
‘Apabila seorang pria duduk di antara empat cabang tubuh wanita dan khitannya menyentuh khitan wanita,[9] ia wajib mandi’.” (HR. Muslim no. 349)
Pada sebagian riwayat terdapat lafadz,
وَأَلْزَقَ الْخِتَانَ بِالْخِتَانِ
“Dan dia menempelkan khitannya pada khitan wanita.”
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَ تَوَارَتِ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan bertemu dan kepala zakar tersembunyi (dalam farji, -pent.), telah wajib mandi.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 495 dan ash-Shahihah no. 1261)
إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ
“Sesungguhnya aku benar-benar melakukan hal tersebut bersama wanita ini (‘Aisyah, –pent), kemudian kami mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Hadits-hadits di atas menerangkan bahwa dengan melakukan hubungan suami istri atau jima’, mandi telah wajib walaupun tidak sampai keluar mani. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, seperti an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/263). Beliau berkata, “Makna hadits ini ialah bahwa kewajiban mandi tidak hanya disebabkan oleh keluarnya mani. Apabila kepala zakar masuk/sembunyi ke dalam farji, mandi telah wajib bagi pria dan wanita. Masalah ini tidak diperselisihkan pada saat ini. Dahulu telah terjadi perselisihan pendapat di antara sebagian sahabat dan orang-orang yang setelah mereka, tetapi kemudian terjadi kesepakatan (ijma’) sebagaimana telah kami sebutkan.”
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah , dalam Subulus Salam (1/151), berkata, “Al-Imam asy-Syafi’irahimahullah berkata, ‘Sesungguhnya bahasa Arab menghendaki bahwa kata janabah digunakan secara hakikat untuk makna jima’, walaupun dari jima’ tersebut tidak keluar mani. Apabila dikatakan bahwa Fulan telah junub karena Fulanah, orang yang mendengarnya akan berpikir bahwa Fulan tersebut telah menggauli Fulanah walaupun tidak mengeluarkan mani. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) bahwa zina yang wajib ditegakkan hukum had atasnya adalah jima’, walaupun dari perbuatan zina tersebut tidak keluar mani.’ Jadi, al-Qur’an dan as-Sunnah saling menguatkan atas wajibnya mandi dengan sebab masuknya kepala zakar ke dalam farji.”
Dahulu sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berpendapat bahwa tidak wajib mandi kecuali apabila ketika jima’ keluar mani. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang bercerita, “Saya pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pada hari Senin menuju Quba. Ketika kami sampai di kabilah Bani Salim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berhenti di depan pintu rumah ‘Itban dan memanggil ‘Itban. ‘Itban pun keluar dengan menarik sarungnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,
أَعْجَلْنَا الرَّجُلَ
‘Kita telah membuat orang ini terburu-buru.’[11]
‘Itban bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda apabila seseorang terburu-buru dari istrinya dan tidak mengeluarkan mani, apa yang wajib baginya?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
‘Sesungguhnya air itu dari air’.”[12] (HR. Muslim no. 343, dan asalnya riwayat dari al-Bukhari no. 180)
Namun, hadits ini telah dihapus hukumnya dengan hadits yang telah disebutkan di atas, seperti “Apabila kedua khitan telah bertemu, telah wajib mandi, keluar mani atau tidak”, dan hadits lain yang semakna dengannya.
Dari Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu , dia berkata, “Sesungguhnya fatwa yang dahulu mereka (sahabat) fatwakan, yaitu bahwa air itu dari air, adalah keringanan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pada awal Islam. Setelah itu, beliau ` memerintahkan mandi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Khuzaimah, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 199, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 96, Shahih Ibni Khuzaimah no. 225, dan lihat al-Misykah no. 448)
An-Nawawirahimahullah berkata dalam Syarh Muslim, “Ketahuilah bahwa umat (Islam) saat ini telah sepakat atas wajibnya mandi karena jima’ walaupun tidak disertai keluarnya mani, dan wajibnya mandi karena jima’ yang disertai keluarnya mani. Dahulu sebagian sahabat berpendapat bahwa mandi tidaklah wajib kecuali karena jima’ yang disertai keluarnya mani. Kemudian, mereka rujuk dari pendapat tersebut sehingga terjadilah kesepakatan antara umat dahulu dan umat saat ini.”
Demikianlah, Saudariku muslimah, di antara sebab yang mewajibkan mandi adalah keluarnya mani dengan memancar, baik ketika sadar maupun tidur, baik pada pria maupun wanita, dan bertemunya dua khitan (jima’) walaupun tidak sampai keluar mani.
Nantikan pembahasan tata cara mandi janabah bagi wanita pada edisi selanjutnya, insya Allah.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Disebutkan dalam an-Nihayah fi Gharibil Atsar, junub (اَلْجُنُبُ) adalah orang yang wajib mandi karena jima’ atau mengeluarkan mani.
[2] Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Fath, menyebutkan, “Al-Kirmani berkata, ‘Tujuan al-Bukhari rahimahullah adalah menjelaskan bahwa kewajiban mandi karena junub diambil (sebagai faedah hukum) dari al-Qur’an.’
Saya (Ibnu Hajar, -ed.) katakan, surat al-Maidah: 6 dikedepankan daripada surat an-Nisa’: 43 karena adanya tujuan yang lembut, yaitu bahwa lafadz yang terdapat dalam surat al-Maidah: 6 adalah ﭦ (maka bersucilah kalian)—lafadz ini bersifat umum, sedangkan lafadz pada an-Nisa: 43 adalah ﯕ ﯖ (sampai kalian mandi)—lafadz ini mengandung penegasan dan penjelasan bahwa bersuci tersebut adalah dengan mandi.
Yang menunjukkan bahwa maksud firman Allah ﭦ adalah فَاغْتَسِلُوا (mandilah kalian) ialah firman Allah tentang wanita haid, ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ (dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci…) (al-Baqarah: 222). Maksud ‘mereka telah suci’ adalah ‘mereka telah mandi’, berdasarkan kesepakatan ulama.”
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Fath, berkata, “Ummu Sulaim memulai dengan kalimat itu sebagai pendahuluan bagi alasannya menanyakan sesuatu yang biasanya orang malu bertanya tentangnya.”
[4] Mimpi yang dimaksud di sini adalah mimpi bahwa dia dijima’i.
[5] Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam إِذَا رَأَتِ الْمَاءِ “Apabila dia melihat air (mani)” mengandung dalil bahwa mani wanita itu keluar/tampak. Diambil faedah dari hadits ini bahwa apabila seorang wanita bermimpi digauli suaminya kemudian keluar mani, dia wajib mandi. Adapun jika dia bermimpi digauli suaminya dan tidak mendapati air (mani) ketika bangun, dia tidak wajib mandi.
[6] Memancarkan air; mengeluarkan mani dengan memancar dikarenakan syahwat yang kuat.
[7] Al-Imam Ibnul Atsir berkata dalam an-Nihayah, “ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ (empat cabang tubuh wanita) adalah dua tangan dan dua kakinya. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dua kaki dan dua tepi farji. Ini merupakan kiasan dari masuknya kepala zakar ke farji/vagina.”
Disebutkan dalam al-Fath, “اَلشُّعَبُ adalah jamak dari شُعْبَةٌ, yaitu potongan dari sesuatu. Dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah kedua tangan dan kedua kakinya, atau kedua betis dan kedua pahanya, atau kedua paha dan kedua tepi farjinya, atau kedua paha dan kedua tepi farjinya, atau kedua paha dan kedua tepi farjinya, atau keempat tepi farjinya.”
[8] جَهَدَهَا artinya بَلَغَ مَشَقَّتَهَا (mencapai kesulitannya). Dikatakan bahwa maknanya adalah menggaulinya dengan gerakan suami atau pria, atau puncak kesungguhan suami dalam menggauli istrinya.
[9] An-Nawawi, dalam Syarh Muslim (3/264 265), berkata, “Para ulama berkata, ‘Maknanya adalah engkau sembunyikan zakarmu dalam farji istrimu. Yang dimaksud bukan semata-mata menyentuh, karena tempat khitan wanita berada di bagian paling atas farji (yang berbentuk seperti jengger ayam jantan). Ketika jima’, zakar tidak menyentuh bagian ini. Adapun yang dimaksud اَلْمُمَاسَّةُ (menyentuh) adalah اَلْمُحَاذَاةُ (sejajar).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Fath (1/395), berkata, “Yang dimaksud dengan اَلْمَسُّ (menyentuh) dan اَلْاِلْتِقَاءُ (bertemu) adalah اَلْمُحَاذَاةُ (sejajar).”
[10] Yang dimaksud dengan malasnya seorang pria dalam jima’ adalah tidak mampu mengeluarkan mani. Demikian penjelasan an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/262).
[11] Maksudnya, kita telah membuatnya terburu-buru dari menyetubuhi istrinya sehingga dia belum menyelesaikan hajatnya.
[12] Makna إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ (air itu dari air) adalah mandi itu disebabkan keluarnya mani. الْمَاءُ (air) yang pertama adalah mandi, sedangkan الْمَاءُ (air) yang kedua adalah mani. (Subulus Salam 1/148)