Rasul kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di dalam hadits beliau, mengungkapkan kebaikan umur panjang yang dikehendaki oleh mayoritas manusia. Beliau n bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya, sedangkan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini bisa dilihat di dalam Shahih al-Jami’ no. 3297)
Kebaikan umur panjang terkait dengan baiknya amalan seseorang di dunia ini. Ketika kehidupan dunia ini diisinya dengan berbagai amalan ketaatan kepada-Nya, dia pun mendapatkan keutamaan dan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Manusia terbaik adalah yang memanfaatkan waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkannya kepada kebaikan dunia dan akhiratnya. Adalah karunia Allah yang sangat besar ketika seseorang mendapatkan umur panjang dan senantiasa beramal saleh, sebagaimana diisyaratkan pada hadits di atas.
Kehidupan dunia yang disertai dengan amalan ketaatan akan tetap atsar (membekas) kebaikannya. Kebaikan dan kebahagiaannya terus berlanjut tanpa henti, karena bersambung dengan kehidupan yang hakiki, yaitu kehidupan di akhirat kelak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Orang-orang yang beriman hidup bahagia secara terus-menerus, sejak masih di dunia. Kehidupan mereka dihiasai dengan keimanan dan berbagai amalan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka juga merasakan ketenteraman dengan senantiasa berzikir, mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.
Kebahagiaan mereka berlanjut ke kehidupan di alam barzakh (alam kubur). Di sana, senantiasa dibukakan untuknya pintu-pintu surga dan datang kepadanya berbagai kenikmatan. Dikatakan kepadanya, “Tidurlah sebagaimana tidurnya pengantin”, dan tidaklah ia dibangunkan kecuali oleh Dzat yang paling dicintainya.
Kebahagiaan ini pun berlanjut ke kehidupan pada hari kebangkitan, yang ketika itu setiap orang lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari sahabat-sahabatnya, bahkan dari anak-anaknya sendiri; ketika seluruhnya mengatakan, “Nafsi, nafsi.” Semuanya memikirkan dirinya masing-masing. Namun, orang yang beriman terus merasakan kebahagiaan. Amalannya dihisab dengan hisab yang mudah. Ia dinaungi oleh naungan Allah semata pada saat tidak ada naungan selain naungan Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya, kebahagiaan kembali didapatkannya ketika ia memasuki surga, negeri penuh kenikmatan. Di sana ia kekal selama-lamanya, tidak akan pernah mengalami kelelahan; tidak khawatir akan jatuh sakit, mengalami kegalauan, ataupun kematian.
لَا يَمَسُّهُمۡ فِيهَا نَصَبٞ وَمَا هُم مِّنۡهَا بِمُخۡرَجِينَ ٤٨
“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan darinya.” (al-Hijr: 48)
Sambunglah Hubungan kekerabatan
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahminya.” (HR. al-Bukhari)
Upaya Memanjangkan Umur dan Meluaskan Rezeki dengan Silaturahmi
Amalan silaturahmi merupakan sebab diluaskannya rezeki dan dipanjangkannya umur seseorang, yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas.
Dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah pada catakan kaki di dalam Shahih al-Adabil Mufrad lil Imam al-Bukhari, “Hadits ini memiliki arti sesuai dengan lahiriahnya. Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala—dengan hikmah-Nya—menjadikan silaturahmi sebagai sebab yang syar’i untuk panjangnya umur. Demikian pula halnya akhlak mulia dan pergaulan baik, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Hal tersebut tidaklah bertentangan dengan sesuatu yang telah diketahui secara pasti sebagai bagian agama ini, yaitu bahwa umur sudah ditetapkan. Sebab, hal ini (ditetapkannya umur) dilihat dari sisi akhir kehidupan seseorang. Sebagaimana halnya kebahagiaan dan kesengsaraan, telah ditetapkan atas setiap individu bahwa kelak ia menjadi orang yang bahagia atau sengsara. Telah ditetapkan pula bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan tersebut bergantung pada sebab-sebab syar’i, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, ‘Berbuatlah karena setiap individu akan diberi kemudahan kepada keadaan yang dirinya diciptakan untuknya.’
Barang siapa termasuk orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan, sungguh, ia akan diberi kemudahan kepada amalan orang-orang yang bahagia. Sebaliknya, barang siapa termasuk orang-orang yang sengsara, ia akan diberi kemudahan kepada amalan orang-orang yang sengsara.
Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ٧ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ ١٠
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5—10)
Keimanan itu bisa bertambah dan bisa berkurang—bertambah dengan amalan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan kemaksiatan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan yang telah dituliskan di Lauhil Mahfuzh. Seperti itu pulalah umur, bisa bertambah dan bisa berkurang, dilihat kepada sebab-sebabnya. Hal ini pun tidak bertentangan dengan ketetapan yang telah dituliskan di Lauhil Mahfuzh. Maka dari itu, perhatikanlah hal ini dengan saksama. Sebab, hal ini sangat penting dalam menyelesaikan banyak permasalahan besar. Oleh karena itulah, di dalam hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsar yang mauquf termuat doa memohon panjang umur.”
Memutus Hubungan Kekerabatan adalah Kerusakan dan Dosa Besar
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَهَلۡ عَسَيۡتُمۡ إِن تَوَلَّيۡتُمۡ أَن تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَتُقَطِّعُوٓاْ أَرۡحَامَكُمۡ ٢٢ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمۡ وَأَعۡمَىٰٓ أَبۡصَٰرَهُمۡ ٢٣
“Apakah kiranya jika kalian berkuasa, kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekerabatan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati oleh Allah, ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22—23)
Memutuskan hubungan kekerabatan adalah salah satu dosa besar dan dapat menyebabkan laknat Allah atas seseorang, ditulikan-Nya pendengarannya, dan dibutakan-Nya penglihatannya. Demikian disebutkan di dalam ayat tersebut.
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ada dua perkara. Pertama, senantiasa menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan merealisasikan perintah-perintah-Nya. Dalam perkara pertama ini terdapat kebaikan, petunjuk, dan keberuntungan. Kedua, berpaling dari semua itu dan berpaling dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam perkara kedua ini, yang ada hanyalah kerusakan di muka bumi dengan perbuatan kemaksiatan dan pemutusan hubungan kekerabatan. Mereka itulah orang-orang yang telah berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekerabatan. Allah subhanahu wa ta’ala akan melaknat mereka, yaitu menjauhkan mereka dari rahmat-Nya dan mendekatkan mereka ke kemurkaan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka tuli dan buta, yaitu tidak mendengar ataupun melihat hal-hal yang memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak mampu mendengar dengan pendengaran penerimaan. Mereka memang mendengar, tetapi sekadar pendengaran yang dengannya tegak hujah Allah atas mereka. Mereka juga memiliki mata, tetapi tidak mampu menggunakannya untuk mengambil berbagai pelajaran dan ayat serta tidak menoleh kepada berbagai penjelasan dan petunjuk.”
Saudariku, kaum muslimah, semoga rahmat Allah atas kalian….
Bacalah ayat dan penjelasan para ulama tersebut. Betapa besar ancaman Allah subhanahu wa ta’ala atas orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dengan memutuskan hubungan kekerabatan. Wanita, sebagai anak, memiliki kewajiban untuk senantiasa menyambung hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya sekalipun dia telah menikah. Adanya suami tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap menjaga hubungan dan menyambung silaturahmi. Sebab, suami yang baik adalah pria yang senantiasa menjaga hubungan dan menyambung silaturahmi kepada siapa saja yang wajib untuk disambung hubungan kekerabatannya.
Ketika seorang wanita menghendaki untuk menziarahi orang tuanya, wajib baginya meminta izin kepada suaminya, kecuali kalau dia mengetahui kebiasaan suaminya yang selalu memberinya izin untuk menziarahi kedua orang tuanya. Dahulu, Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam untuk menemui kedua orang tuanya, sebagaimana terdapat di dalam riwayat tentang kisah al-Ifk (HR. al-Bukhari no. 2661 dan Muslim no. 2770).
Berikanlah Hak kepada Karib Kerabat
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فََٔاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya….” (ar-Rum: 38)
Salah satu cara mewujudkan hubungan kekerabatan adalah memberikan hak kepada karib kerabat. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan kedekatan hubungan dan dengan keperluan karib kerabat, yang telah diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Misalnya, memberikan nafkah yang bersifat wajib, sedekah, dan hadiah; berbuat kebaikan, mengucapkan salam, memberikan pemuliaan, memaafkan kesalahan, dan bersolidaritas tinggi.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦
“Ibadahilah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuatbaiklah kepada ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (an-Nisa’: 36)
Silaturahmi adalah Siyar (Cara Hidup) dan Sifat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
Salah satu siyar Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah senantiasa menyeru dan memerintah para sahabat beliau untuk menjaga silaturahmi. Dikisahkan, Raja Heraklius mengirimkan utusan untuk bertanya kepada Abu Sufyan, “Apa yang ia perintahkan?” Yang dimaksud adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Abu Sufyan menjawab, “Ia memerintah kami untuk menegakkan shalat, bersedekah, menjaga kehormatan diri, dan menyambung silaturahmi.” (HR. al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu)
Pada saat pertama kali Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam menerima wahyu, beliau berkata kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha, “Selimutilah aku, selimutilah aku. Sungguh, aku mengkhawatirkan diriku.” Khadijah pun menenangkan beliau dan mengatakan, “Jangan takut. Bergembiralah. Demi Allah, sungguh, Dia tidak akan pernah menyusahkanmu selama-lamanya. Sungguh, engkau adalah orang yang senantiasa menyambung silaturahmi, berkata benar, menanggung beban sesama, membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran.”
Kemudian, Khadijah membawa beliau menemui anak pamannya, yaitu Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Waraqah adalah seorang Nasrani pada zaman jahiliah. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa salah satu siyar dan sifat yang ada pada diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah senantiasa menyambung silaturahmi, sebagaimana dikatakan oleh istri tercinta beliau, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Wallahu a’lam bish shawab.