Qonitah
Qonitah

untaian kisah teladan bagi orang tua

10 tahun yang lalu
baca 6 menit
Untaian Kisah Teladan Bagi Orang Tua

buah-kasih-04Al-Ustadzah Ummu Umar Asma

Pembaca Qonitah, semoga Allah senantiasa memberkahi kita semua….

Pada edisi lalu kita telah mengetahui pentingnya kesalehan orang tua dalam mendidik anak-anak agar kelak mereka mendapatkan anak yang saleh pula. Memang demikianlah adanya. Kesalehan dan amalan saleh orang tua sangat berpengaruh pada kesalehan dan kebaikan anak di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, amalan jelek yang dilakukan oleh orang tua, baik ayah maupun ibu, menimbulkan dampak negatif bagi pendidikan anak-anak.

Pengaruh ini bisa terwujud dari beberapa sisi, yaitu:

  • Berkah dan pahala amalan saleh dari Allah,
  • Efek buruk amalan jelek dan hukuman dari Allah bagi pelakunya.

Terkadang, balasan dari Allah atas amalan yang baik ataupun yang jelek ini terealisasi pada anak-anak. Balasan tersebut bisa berupa penjagaan Allah terhadap mereka, dilapangkannya rezeki mereka, atau berupa musibah yang menimpa mereka.

Oleh karena itu, semestinya orang tua memperbanyak amalan saleh yang diharapkan berakibat baik pada diri dan anak-anak mereka.

Telah diriwayatkan bahwa ada sebagian salaf yang berkata kepada putranya, “Anakku, aku akan memperbanyak shalatku karenamu.”

Sebagian ulama mengatakan, “Makna ucapan tersebut adalah, aku akan memperbanyak mengerjakan shalat dan akan banyak berdoa kepada Allah untukmu dalam shalatku.”

Ucapan Harus Sesuai dengan Perbuatan

Kesalehan tentu tidak terbatas pada kata-kata di lisan saja. Namun, yang lebih penting adalah tindakan nyata orang tua yang tentu akan dilihat oleh anak. Oleh karena itu, orang tua harus waspada, jangan sampai perkataannya menyelisihi perbuatannya. Tidak sedikit orang tua yang melarang anak melakukan tindakan-tindakan buruk, tetapi—entah disadari atau tidak—mereka sendiri melakukannya. Misalnya, orang tua melarang anak berdusta, tetapi terkadang mereka sendiri berdusta. Orang tua melarang anak berteriak-teriak, tetapi tanpa sadar mereka sering berkata kasar dan dengan nada tinggi.

Mestinya orang tua selalu ingat akan firman Allah,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣

            “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah apabila kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash-Shaf: 2—3)

Di samping itu, ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatan orang tua akan mengakibatkan anak meremehkan orang tua. Hilanglah rasa hormat anak kepada orang tua. Akhirnya, perkataan dan nasihat orang tua pun tidak mereka terima.

Pujian Manusia kepada Anak atas Kesalehan Orang Tuanya

            Amalan saleh yang dilakukan oleh orang tua akan mendatangkan pujian manusia terhadap sang anak. Sebaliknya, amalan buruk orang tua juga akan menimbulkan celaan terhadap sang anak. Pujian atau celaan ini tentu sangat berpengaruh pada kondisi kejiwaan anak.

Coba kita bayangkan, anak yang mendengar orang-orang mengatakan, “Ayahmu dermawan” atau “Ibumu orang yang sopan santun”, tentu akan tumbuh dalam jiwa mereka keinginan untuk meniru akhlak tersebut. Sebaliknya, anak yang mendengar celaan orang-orang terhadap orang tuanya, jiwanya akan hancur. Bisa jadi, timbul kebencian terhadap orang tuanya. Selain itu, jiwanya tentu tidak merasa segan untuk meniru akhlak buruk orang tuanya. Wal ‘iyadzu billah.

            Maka dari itu, bertakwalah kepada Allah, wahai para orang tua, dalam hal mendidik anak-anak. Semoga dengannya Allah menganugerahi kita anak-anak yang saleh dan salihah.

Sebagai tambahan, kami bawakan kisah-kisah para pendahulu kita yang saleh terkait dengan hal ini. Semoga kisah-kisah indah mereka ini bisa memberi pelajaran kepada kita untuk diterapkan dalam kehidupan. Wallahul muwaffiq.

Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman

Keduanya adalah hamba pilihan. Sebelumnya, sang ayah adalah tentara yang kuat dan perkasa, kemudian Allah memberi beliau nikmat nubuwwah (kenabian). Allah juga memberi beliau kerajaan dan kekuasaan. Selain itu, Allah menganugerahkan sifat hikmah kepada beliau sehingga bisa memahami pembicaraan orang-orang yang sedang berselisih, lalu memberikan keputusan dengan adil. Beliau juga ahli ibadah, senantiasa berada dalam mihrab (tempat ibadah) untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Dengan kesalehan ini, Allah menyempurnakan nikmat bagi beliau dengan keberadaan anak yang saleh, yaitu Nabi Sulaiman bin Dawud.

Sebagaimana halnya sang ayah, beliau juga nabi sekaligus raja. Bahkan, kerajaan Nabi Sulaiman sangat luas. Tidak pernah ada seorang pun yang memiliki kerajaan seperti kerajaan beliau. Selain itu, Allah menganugerahkan sifat bijaksana kepada beliau. Dengan sifat ini, beliau bisa memutuskan setiap perkara dengan adil. Bukan hanya itu, beliau juga seorang yang saleh dan selalu kembali kepada Allah.

Pernah pada suatu sore, karena kecintaan beliau kepada kuda-kuda yang dimiliki, beliau terlenakan dari berzikir kepada Allah. Namun, kemudian beliau ingat. Karena kejadian itu, beliau menyembelih kuda-kuda tersebut. Lalu Allah yang Maha Pemurah menundukkan bagi beliau angin yang bisa membawa beliau ke mana pun beliau menghendaki. Angin yang bertiup sangat cepat ini sebagai pengganti kuda-kuda beliau yang telah beliau sembelih.

Nabi yang saleh, memiliki keturunan seorang nabi yang saleh pula…. Sifat kedua nabi ini termaktub dalam kitab-Nya yang suci. Allah berfirman tentang Nabi Dawud,

وَٱذۡكُرۡ عَبۡدَنَا دَاوُۥدَ ذَا ٱلۡأَيۡدِۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ١٧

“Dan ingatlah hamba Kami, Dawud, yang memiliki kekuatan. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabb-nya).” (Shad: 17)

Allah berfirman tentang putra beliau, Nabi Sulaiman,

وَوَهَبۡنَا لِدَاوُۥدَ سُلَيۡمَٰنَۚ نِعۡمَ ٱلۡعَبۡدُ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ٣٠

“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Dawud. Dia (Sulaiman) adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabb-nya).” (Shad: 30)

Subhanallah, dari benih yang baik akan tumbuh tanaman yang baik pula. Kesalehan orang tua akan diwarisi oleh keturunannya.

Fudhail bin ‘Iyadh dan ‘Ali bin Fudhail

Dahulu, Fudhail bin ‘Iyadh adalah seorang penyamun. Lalu Allah memberi beliau hidayah, maka beliau pun bertobat. Setelah itu, beliau menghabiskan waktu di Masjidil Haram. Beliau adalah orang yang sangat saleh, sangat hati-hati memberi nafkah kepada keluarga. Beliau menolak hadiah-hadiah dari para raja yang mengunjungi beliau karena ragu tentang kehalalannya. Beliau justru memilih menghidupi keluarga dengan hasil bekerja mengurusi air di Makkah.

Beliau sangat memerhatikan pendidikan putra beliau, ‘Ali. Pada suatu hari beliau mengatakan, “Ya Allah, aku telah bersungguh-sungguh untuk mendidik ‘Ali, tetapi aku tidak mampu melakukannya. Maka dari itu, didiklah dia untukku.”

Demikianlah, kesalehan orang tua menurun pada sang anak. Sebagaimana halnya ayahandanya, ‘Ali adalah orang yang saleh. Beliau sangat takut ketika membaca atau mendengar ayat-ayat Allah tentang azab.

Suatu ketika, ‘Ali shalat di belakang sang ayah. Saat itu, sang ayah membaca surat at-Takatsur. Tatkala bacaannya sampai pada ayat (yang artinya) “Sungguh kalian akan benar-benar melihat neraka jahim”, tiba-tiba ‘Ali jatuh karena takutnya.

Dikisahkan pula bahwa beliau tidak sanggup membaca atau mendengar surat al-Qari’ah. Bahkan, seorang ulama, yaitu al-Khathib, mengatakan bahwa ‘Ali wafat sebelum sang ayah karena mendengar sebuah ayat. Beliau takut, lalu meninggal dalam keadaan seperti itu.

Mengenai rasa takut kepada Allah yang sangat besar yang dimiliki oleh kedua ulama—ayah dan anak—ini, Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Aku tidak melihat ada orang yang lebih takut (kepada Allah, -pen.) daripada Fudhail dan anaknya.”

Wallahu a’lam bish-shawab.