Pada periode Makkah, dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghadapi perlawanan dahsyat dari para musuh. Ketika manuver-manuver permusuhan kafir Quraisy semakin tajam, Allah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah (berpindah) ke negeri yang aman sehingga mereka dapat mempertahankan agama Islam.
Pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah. Habasyah (sekarang Ethiopia) adalah sebuah negeri di Benua Afrika.
Dengan penuh tekad, berangkatlah sejumlah sahabat Rasulullah pada hijrah gelombang pertama ke Habasyah ini. Mereka berjumlah 12 pria dan 4 wanita.[1] Di sana mereka mendapatkan ketenangan dan kedamaian dengan sebab perlindungan Ashhamah an-Najasyi, seorang raja yang sangat adil dan berbudi luhur.
Sementara itu, kegeraman kafir Quraisy di Mekah tidak kunjung mereda. Kekejaman dan penindasan mereka semakin ganas. Oleh karena itu, kembali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengizinkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah. Pada gelombang kedua ini berangkatlah sekitar 83 pria dan 19 wanita ke Habasyah.[2]
Waktu terus bergulir; hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 7 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menulis surat kepada Ashhamah an-Najasyi. Surat tersebut berisi ajakan agar an-Najasyi masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengutus ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamriradhiyallahu ‘anhuuntuk membawa surat tersebut. Setelah surat tersebut dibacakan di hadapan an-Najasyi, serta-merta beliau masuk Islam.
Masuk Islamnya an-Najasyi ditunjukkan oleh hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat g mendirikan shalat gaib pada saat wafatnya beliau. Dalam hadits dari Jabir bin ‘Abdillah (HR. al-Bukhari no. 1317 dan Muslim no. 952) dan ‘Imran bin Hushain (HR. Muslim no. 953) disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِنَّ أَخًا لَكُمْ قَدْ مَاتَ فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya saudara kalian (saudara se-Islam) telah wafat, maka berdirilah dan lakukanlah shalat (gaib) atasnya.”
Yang dimaksud adalah an-Najasyi. Mendengar perintah tersebut, para sahabat pun melakukan shalat gaib dalam dua shaf.
Pembaca sekalian, di antara shahabiyyah yang ikut serta dalam hijrah ke Habasyah adalah figur kita kali ini, yaitu Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha.
Ummu Habibah masuk Islam pada awal munculnya dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau berhijrah ke Habasyah bersama sang suami, ‘Ubaidillah bin Jahsy. Namun, di Habasyah, suaminya murtad, berpindah ke agama Nasrani dan mati dalam kondisi kafir. Dengan taufik dari Allah, Ummu Habibah tetap istiqamah di atas Islam. Beliau tinggal di Habasyah selama 6 atau 7 tahun.[3]
Menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
Pada tahun 7 H pula, Rasulullah mengutus utusan untuk mengantarkan sepucuk surat kepada Ashhamah an-Najasyi. Surat tersebut berisi permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam agar Ashhamah meminang Ummu Habibah untuk dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Ashhamah an-Najasyi pun segera melaksanakan perintah tersebut. Selain meminang, an-Najasyi juga menyediakan mahar untuk Ummu Habibah sejumlah 400 dinar.
Tentang pernikahan tersebut, ada yang mengatakan bahwa walinya adalah ‘Utsman bin ‘Affan. Pendapat lain mengatakan bahwa walinya adalah Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash. Pendapat yang lain mengatakan bahwa walinya adalah an-Najasyi karena dialah raja dan penguasa di tempat terjadinya pernikahan tersebut.[4]
Para ulama tarikh (sejarah) juga berbeda pendapat tentang tempat diselenggarakannya pernikahan tersebut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut diselenggarakan di Habasyah. Pendapat lain menyatakan bahwa pernikahan tersebut diselenggarakan di Madinah setelah Ummu Habibah pulang dari Habasyah ke Madinah.[5]
Ummu Habibah merasa bahwa dengan menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau telah mendapatkan kebaikan yang sangat besar. Sampai-sampai, beliau ingin menawarkan saudari beliau agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mau menikahinya sehingga saudarinya pun mendapatkan kebaikan yang amat agung ini. Pada suatu hari Ummu Habibah mengungkapkan keinginan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Katanya, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudari saya, anak perempuan Abu Sufyan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Apakah kamu suka kalau aku menikahinya?”
Ummu Habibah menjawab, “Saya tidak sendirian menjadi istri Anda, dan wanita yang paling saya sukai untuk sama-sama mendapatkan kebaikan ini adalah saudari saya itu.”
“Saudarimu tidak halal kunikahi,” jawab Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, sungguh, demi Allah, kami sedang memperbincangkan bahwa Anda ingin menikahi Durrah bintu Abi Salamah.”
“Putri Ummu Salamah?” tukas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
“Ya.”
“Seandainya Durrah itu tidak tinggal dalam pemeliharaanku, dia tetap tidak halal kunikahi karena aku dan Abu Salamah sama-sama disusui oleh Tsuwaibah,” jawab Rasulullah. “Oleh karena itu, janganlah kalian, wahai istri-istriku, menawarkan putri-putri atau saudari-saudari kalian kepadaku (untuk kunikahi).”
Perawi hadits di atas, yaitu ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwam, berkata, “Tsuwaibah adalah maulah (budak wanita yang telah dimerdekakan) milik Abu Lahab. Ia dimerdekakan oleh Abu Lahab, lalu menyusui Nabi .”
Murid-murid Beliau
Ummu Habibah adalah salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wassalamyang meriwayatkan banyak hadits. Di samping itu, wanita Quraisy yang terkenal dengan kecantikannya ini juga bersemangat mengajarkan ilmu-ilmu yang telah beliau timba dari kehidupan indah Nabi Muhammad n. Di antara murid-murid beliau adalah:
Wafat Beliau
Ummul mukminin yang lebih masyhur dengan kuniahnya ini diperselisihkan tahun wafatnya. Ada yang mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 42 H, ada juga yang mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 44 atau 49 atau 59 H.[7] Namun, yang jelas, insya Allah, beliau wafat pada masa pemerintahan saudara lelaki beliau, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Inilah pendapat yang masyhur di kalangan ahli sejarah.[8] Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.
[1] Zadul Ma’ad 3/21.
[2] Zadul Ma’ad 3/23.
[3] Tahdzibut Tahdzib, biografi Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha.
[4] Syarh Shahih Muslim karya an-Nawawi, syarah hadits no. 250.
[5] Idem.
[6] Tahdzibut Tahdzib.
[7] Taqribut Tahdzib.
[8] Zadul Ma’ad jilid 1.