Qonitah
Qonitah

ukhti, hindarkan diri anda dari murka allah

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Ukhti, Hindarkan Diri Anda dari Murka Allah

silsilah-hadits-10Al-Ustadz Abu Bakar Abdurrahman

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda, “Apabila seorang pria mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu sang istri tidak mau mendatanginya, malaikat melaknat sang istri sampai datang waktu subuh.” (HR. al-Bukhari no. 5193)

Makna Hadits

Yang dimaksud dengan الفِرَاش (tempat tidur) adalah jima’. Apabila suami mengajak istrinya bersenggama, tetapi istri menolak tanpa alasan syar’i dan sang suami tidak ridha terhadap penolakan tersebut, malaikat melaknat sang istri sampai subuh.

Kedudukan Suami di Sisi Istri

Ketahuilah, Saudariku, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan pria sebagai pemimpin kaum wanita. Allah berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

“Kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .” (an-Nisa’: 34)

Al-Imam as-Sa’di rahimahullah berkata, “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita karena kaum pria mempunyai wewenang untuk mengharuskan kaum wanita menunaikan hak-hak Allah, menjaga kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah atas mereka, dan mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang haram. Kaum pria juga menjadi pemimpin yang bertanggung jawab atas nafkah, sandang, dan papan (tempat tinggal) untuk istrinya.” (lihat Tafsir as-Sa’di)

Jadi, pantaslah jika Allah mewajibkan seorang istri untuk taat kepada suami dalam urusan yang tidak melanggar hukum syar’i. Tidak mungkin tercapai kebahagiaan apabila pemimpin tidak ditaati, baik dalam ruang lingkup yang kecil maupun yang besar. Apabila suami tidak ditaati, tidak dihormati, dan tidak berwibawa di hadapan istri, yang akan terjadi adalah kehancuran dan kenistaan.

Karena tingginya kedudukan suami di hadapan istrinya, sampai-sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang lain, sungguh, akan kuperintah seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1159, dinyatakan hasan oleh al-Albani rahimahullah)

Berdasarkan penjelasan di atas, seorang wanita wajib mengetahui kedudukan suami dan memosisikannya sesuai dengan ketetapan syariat.

Hal-hal yang Tidak Boleh Dilakukan Istri ketika Suami Ada Bersamanya

Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan istri ketika suami ada bersamanya, di antaranya:

  1. Puasa sunnah, kecuali atas izin suami. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda,

لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Janganlah seorang wanita berpuasa dalam keadaan suaminya ada bersamanya, kecuali dengan izin suami.” (HR. al-Bukhari no. 5192)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa menunaikan hak suami lebih ditekankan atas istri daripada melakukan amalan kebaikan yang hukumnya sunnah. Sebab, hak suami wajib dipenuhi, dan pelaksanaan kewajiban diutamakan daripada pelaksanaan amalan sunnah.” (Fathul Bari pada syarah hadits no. 5195)

Bagaimana apabila wanita tersebut tetap berpuasa sunnah tanpa izin suami? Terjadi perbedaan pendapat di antara ulama; ada yang berpendapat haram, dan ada yang berpendapat makruh. Yang benar adalah hukumnya haram sebagaimana yang dipilih (dirajihkan/dikuatkan) oleh al-Imam an-Nawawi t.

Al-Imam an-Nawawi menjelaskan, “Sebab diharamkannya puasa sunnah bagi wanita (ketika suaminya ada) adalah bahwa suami mempunyai hak atas istri untuk bersenang-senang (berjima’) dengannya setiap saat. Hak suami ini wajib segera dipenuhi oleh istri, tidak boleh ditunda hanya karena amalan sunnah, bahkan karena amalan wajib yang tidak harus segera dilakukan.” (Fathul Bari pada syarah hadits no. 1595)

Ukhti, lihatlah betapa tingginya kedudukan suami Anda di sisi Anda!

Dipahami dari hadits ini bolehnya istri berpuasa sunnah tanpa izin suami ketika suaminya bepergian (safar). Namun, apabila di tengah-tengah puasanya sang suami datang, istri wajib meminta izin untuk meneruskan puasanya. Apabila suami tidak mengizinkan, istri wajib menaatinya. Suami pun berhak memaksa istri untuk membatalkan puasa sunnahnya apabila dia menginginkannya. (Dinukil dari ucapan al-Imam an-Nawawi dari Fathul Bari)

Bolehkah seorang istri melakukan puasa sunnah tanpa izin suami, padahal suami ada bersamanya, tetapi sedang sakit parah dan tidak mampu melakukan jima’? Al-Imam an-Nawawi membolehkan hal itu. Sebab, suami yang sedang sakit parah sehingga tidak mampu melakukan jima’ ini semakna dengan suami yang sedang bepergian, yaitu sama-sama tidak ada hal yang mengharuskan dibatalkannya puasa tersebut, yaitu jima’. (Lihat Fathul Bari pada syarah hadits no. 5195)

Ketahuilah, Ukhti, Rasulullah telah memberikan solusi terbaik bagi seorang pria apabila dia secara tidak sengaja melihat wanita yang menakjubkannya. Solusi tersebut adalah bersegera “mendatangi” istrinya. Hal itu bertujuan agar suami tidak terjatuh dalam zina atau dalam kemaksiatan yang akan mengantarkannya kepada zina.

Simaklah hadits shahih berikut.

إِذَا أَحَدُكُمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَةُ فَوَقَعَتْ فِي نَفْسِهِ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَلْيَعْمِدْ إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

“Apabila salah seorang di antara kalian dibuat kagum oleh seorang wanita sehingga hatinya terkesan, hendaklah dia mendatangi istrinya dan menjima’inya, karena hal itu akan menepis apa yang ada di dalam hatinya.” (HR. Muslim no. 1403)

Al-Imam an-Nawawi berkata menjelaskan hadits ini, “Ketika seorang pria melihat seorang wanita lalu tergerak syahwatnya, disunnahkan baginya mendatangi istrinya atau budaknya—jika dia memiliki budak wanita, lalu hendaklah dia menjima’inya agar tertepis syahwatnya, tenang hatinya, dan kuat hatinya menghadapi apa yang sedang dia hadapi.”

Oleh karena itu, penuhilah keinginan suami kapan pun dia mengajak Anda untuk itu. Sebab, di situ ada pahala yang sangat besar bagi diri Anda, dan pada hakikatnya Anda sedang memenuhi perintah Rabb Anda.

  1. Mempersilakan tamu masuk ke rumah suami, kecuali dengan izin suami. Hal ini berdasarkan hadits,

وَ لَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang istri mengizinkan orang lain masuk ke rumah suami kecuali dengan izin suami.” (HR. al-Bukhari no. 5195)

Sebuah fenomena pahit kita dapati dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah kaum muslimin, yakni tidak sedikit istri yang mengizinkan dan mempersilakan siapa pun yang hendak masuk ke rumah suami. Sejatinya, syariat secara tegas melarang hal itu. Jika kita amati, di antara sebab ketidakharmonisan dan kehancuran rumah tangga seseorang adalah ketidaktahuan istri akan hak-hak suami.

Oleh karena itu, istri wajib mempelajari ilmu agama yang terkait dengan urusan rumah tangganya dan kewajiban-kewajibannya terhadap suami.

Tidak Mengapa Apabila Suami Merelakan Haknya

Apabila suami memaafkan istrinya dan merelakan hak dirinya, istri tidak akan mendapatkan laknat dari malaikat tatkala dia menolak ajakan suami untuk bersenggama. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan berdasarkan riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari, yaitu فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا (kemudian sang suami bermalam dalam keadaan marah terhadap istrinya [yang menolak ajakan suami]).

Ajakan Bersenggama pada Siang Hari

Apabila suami mengajak istri bersenggama pada siang hari lalu istri menolaknya tanpa alasan yang syar’i sehingga suami marah, apakah sang istri juga terkena laknat? Ataukah laknat itu terjadi jika penolakan ini hanya pada malam hari?

Telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwa laknat akan menimpa istri yang menolak ajakan suaminya, kapan pun waktunya. Adapun disebutkannya “malam hari/sampai subuh” dalam riwayat ini ialah karena biasanya manusia melakukan jima’ pada malam hari. Hal ini tidak berarti bahwa istri boleh menolak ajakan suami pada siang hari. Sebab, telah datang hadits yang menegaskan hal itu, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya (berjima’) lalu sang istri menolak, kecuali seluruh yang ada di langit marah kepada istri sampai sang suami ridha.” (HR. Muslim no. 1436)

Ukhti, lihatlah! Yang marah kepada istri bukan malaikat saja, melainkan semua yang ada di langit. Tidaklah Anda takut?

Ibnu Hajar membawakan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa haramnya menolak ajakan suami ini bersifat umum, kapan pun waktunya. (Lihat Fathul Bari pada syarah hadits no. 5194)

Alasan yang Dibolehkan untuk Menolak Ajakan Suami

Agama Islam adalah agama yang adil, tidak mungkin akan merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Oleh karena itu, agama Islam memberikan uzur (maaf) kepada istri yang menolak ajakan suami karena alasan yang dibenarkan oleh syariat. Di antara alasan yang dibenarkan adalah, pertama, mengqadha puasa (membayar utang puasa Ramadhan). Hal ini sangat jelas karena puasa Ramadhan adalah wajib dan mengqadhanya juga wajib. Kedua, istri sedang sakit, sedangkan jima’ akan menyakitkannya atau akan menambah parah penyakitnya. Ketiga, istri dalam keadaan yang buruk sekali, yang tidak memungkinkannya untuk dijima’i oleh suaminya. Dalam keadaan seperti ini hendaklah sang istri menjelaskan alasannya dengan cara yang baik dan betul-betul dipahami oleh suami agar suami tidak berprasangka buruk terhadap dirinya.

Hendaklah Suami Memenuhi Ajakan Istri

Suami mempunyai kebutuhan biologis, istri pun demikian. Suami bisa terjerumus ke dalam perzinaan apabila syahwatnya tidak disalurkan dengan cara yang disyariatkan, istri pun demikian. Maka dari itu, suami wajib memenuhi hak istri dan melindunginya dari perbuatan yang haram.

Ancaman dan Laknat Hanya Tertuju kepada Istri?

Mengapa dalam hadits disebutkan bahwa ancaman dan laknat hanya tertuju kepada istri? Karena biasanya, suamilah yang mengajak dan istri yang diajak. Oleh karena itu, ancaman tersebut tertuju kepada pihak yang tidak mau memenuhi ajakan, yaitu istri. Sedikit istri yang mengajak suami, sedikit pula suami yang menolak ajakan istri. Selain itu, pria kurang bersabar dalam menahan syahwatnya daripada wanita.

Maka dari itu, jangan ada prasangka yang tidak baik terhadap syariat Islam yang seakan-akan memojokkan wanita. Ketahuilah, Ukhti, perintah untuk memenuhi ajakan suami mengandung faedah yang kembali kepada Anda. Setiap kali istri memenuhi ajakan suami, akan tumbuh kecintaan yang besar kepada istri sehingga tercapailah keharmonisan rumah tangga. Sebaliknya, jika istri menolak dan selalu berusaha menolak, suami akan berpikir kepada wanita lain, dan hal ini membahayakan dirinya, istri, dan keluarganya.

Relakah Anda apabila suami Anda berselingkuh? Relakah diri Anda apabila suami Anda terjerumus dalam kenistaan? Relakah diri Anda apabila suami Anda dicela oleh banyak orang karena berzina? Na’udzubillah, kita berlindung kepada Allah dari semua itu.

Suami Memaksa Istri

Hadits yang menerangkan ancaman bagi wanita yang menolak ajakan suami tidak boleh dipahami bahwa suami berhak memaksa istri dengan sewenang-wenang, padahal istri sedang sakit atau ada alasan lain yang dibenarkan syariat. Allah telah mengharamkan kezaliman atas siapa pun, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,

يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan dia haram di antara kalian. Maka dari itu, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu a’lam bish shawab.