Qonitah
Qonitah

tuntunan pernikahan syar’i 1 (ta’aruf dan nazhor)

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Tuntunan Pernikahan Syar’i 1  (Ta’aruf dan Nazhor)

ta'aruf-nazhorAl-Ustadz Abu Sa’id Hamzah bin Halil dan Ummu Luqman Salma

Tidak ada sebuah urusan pun kecuali telah dijelaskan oleh agama Islam yang sempurna ini. Agama yang telah diridhai oleh Allah, Rabb semesta alam. Agama yang menjadi nikmat agung yang diberikan kepada kaum muslimin. Segala aspek kehidupan manusia telah diatur dengan sedemikian indah. Bahkan, dalam urusan mencari jodoh dan berumah tangga, Islam telah mengaturnya dengan sebaik-baiknya.

Islam menghendaki kehidupan yang bersih nan mulia bagi manusia. Berbagai pintu yang bisa mengantarkan manusia menuju jurang kehinaan hidup ditutup rapat. Salah satu perbuatan yang hina adalah zina. Islam menutup semua pintu yang menuju ke sana. Misalnya, berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, memandang sesuatu yang tidak halal, wanita menghaluskan dan melembut-lembutkan suara atau ucapan di depan laki-laki yang bukan mahram, dan lain-lain.

Saat seseorang mencari jodoh, semua hal di atas tetap terlarang. Berdasarkan hal ini, kita bisa memahami bahwa pacaran itu terlarang karena mesti melibatkan salah satu larangan di atas. Banyak orang mengira bahwa pacaran adalah perbuatan yang lumrah untuk mencari jodoh. Pemuda atau pemudi yang tidak punya pacar dianggap kuno, kuper, ketinggalan jaman, dan lain-lain.

Sungguh, propaganda orang-orang kafir telah meraih sukses di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Padahal, jika kaum muslimin mau mempelajari agama Islam yang telah diridhai oleh Allah ini, ternyata ada jalan yang selamat dan diberkahi untuk mendapatkan jodoh.

Pada edisi ini kita akan membahas tuntunan pernikahan yang syar’i, yaitu taaruf dan nazhor. Sebelum membahas proses taaruf dan nazhor, sekilas akan kita bahas tentang niat dan shalat istikharah karena pentingnya hal ini.

Niat

Seseorang yang berkeinginan kuat untuk menikah hendaklah mengoreksi kalbunya. Tanyakan kepada kalbunya, “Apa niatmu untuk menikah; Apakah engkau menikah dalam rangka ibadah kepada Allah? Apakah engkau menikah karena Allah (ikhlas karena-Nya)? Apakah engkau menikah dalam rangka menjalankan perintah Allah?” Kalbunya akan jujur menjawab tiga pertanyaan tersebut. Perhatikan niat yang ada di dalam kalbu ini. Sebab, niat menjadi penentu yang menyebabkan sukses atau gagalnya sebuah amalan. Allah Yang Mahabijaksana berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (al-Bayyinah: 5)

Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya, setiap orang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan niatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Niatkan pernikahan dalam rangka ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Hindari pernikahan yang tidak diniatkan untuk ibadah, seperti seseorang yang telah mencapai usia tertentu kemudian menikah hanya karena keumuman orang menikah pada usia tersebut. Dia dihantui oleh perasaan tidak enak apabila tidak menikah pada usia tersebut. Atau, ketika telah menjabat jabatan tertentu, seseorang menikah hanya karena gengsi jika tidak punya pasangan. Perbaiki niat tersebut. Jadikan menikah sebagai amalan ibadah kepada Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Niatkan pernikahan hanya mengharap wajah Allah (ikhlas karena-Nya). Hindari niat menikah untuk selain Allah, semisal untuk tujuan duniawi semata. Barang siapa beramal tanpa keikhlasan, dia akan menuai penyesalan di dunia dan di akhirat. Bukankah dunia ini penuh dengan tipuan? Sekian banyak penghuninya telah tertipu, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah.

Selain itu, niatkan pernikahan dalam rangka menerapkan perintah Allah. Yakinilah bahwa sesuatu yang diperintahkan oleh Allah pasti baik dan sesuatu yang dilarang-Nya pasti buruk. Di antara perintah Allah Yang Mahabijaksana adalah menikah.

Setiap kali melakukan amalan, seorang yang beriman hendaklah meniatkannya untuk ibadah, ikhlas karena Allah, dan dalam rangka menerapkan perintah-Nya. Niat yang demikian ini adalah niat yang paling agung. Jika niat di atas ada pada seseorang yang berkeinginan kuat untuk menikah, kebahagiaanlah yang akan diraihnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Shalat Istikharah

Seorang muslim tidaklah menyandarkan urusannya kepada dirinya—apalagi kepada orang lain—meskipun memiliki sedikit kemampuan dalam hal tersebut. Kemampuan yang ada pada dirinya adalah pemberian Allah Yang Mahaperkasa, Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Seluruh manusia sangat membutuhkan Allah, Dzat Yang Mahakaya, yang tidak butuh kepada makhluk-Nya.

Seorang muslim disunnahkan untuk melakukan shalat istikharah sebelum mengerjakan suatu urusan, termasuk saat mencari jodoh. Demikian juga sebaliknya, seorang wanita yang dipilih oleh laki-laki untuk dijadikan pasangan hidupnya, disunnahkan menunaikan shalat istikharah sebelum melangkah dan mencari informasi tentang calon suaminya.

Istikharah artinya meminta pilihan kepada Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui urusan yang gaib. Shalat istikharah adalah shalat sunnah dua rakaat yang diikuti oleh doa istikharah. Doa tersebut dibaca setelah shalat. Lafadznya sebagai berikut.

اللهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَاأَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، اللهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاقْدُرْهُ لِي، وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَشَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي، وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْلِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّنِي بِه

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon ketentuan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang agung karena Engkau Mahakuasa sedangkan aku tidak mampu, Engkau Mahatahu sedangkan aku tidak tahu, dan Engkau mengetahui segala sesuatu yang gaib. Ya Allah, apabila Engkau tahu bahwa urusan ini—disebutkan urusannya—baik bagiku, untuk agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku, takdirkanlah dia untukku dan mudahkanlah serta berkahilah. Apabila Engkau tahu bahwa urusan ini buruk bagiku, untuk agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku, palingkanlah dia dariku dan palingkanlah aku darinya. Takdirkanlah bagiku kebaikan di mana saja, lalu jadikanlah aku ridha dengannya.”

Hendaknya dia menyebutkan urusannya dengan mengganti lafadz هَذَا الْأَمْرَ. Misalnya, diganti dengan هَذَا الزَّوَاجَ (pernikahan ini).

Setelah seseorang melakukan shalat istikharah, di antara tanda-tanda kebaikan adalah dimudahkannya sebab-sebab yang mengantarkan kepada urusan yang sedang dihadapinya. Tidak benar istikharah yang bersandar kepada mimpi-mimpi atau hal-hal lain yang tidak ada landasannya dalam agama kita ini.

Taaruf

Taaruf secara bahasa artinya saling mengenal. Untuk mengenal calon pasangannya, seorang pemuda tidak perlu berkenalan langsung dengan seorang pemudi, mengobrol berdua, pergi berdua, dan lain-lain. Semua itu bukan tuntunan Islam. Dia bisa mencari informasi tentang calon istri salihah melalui ibunya, saudarinya, atau orang lain yang tepercaya.

Setelah mendapatkan calon dengan kriteria yang diinginkan, dia bisa mencari informasi lebih detail tentangnya melalui walinya atau orang lain yang mengenal baik wanita tersebut. Hal itu bisa dilakukan sendiri atau melalui perantara. Segala hal tentang si wanita yang ingin diketahuinya bisa ditanyakan, seperti daerah asal, kondisi fisik, pengalaman belajar, kegemaran, prestasi, dan lain-lain. Perlu diingat, hendaknya orang yang ditanya adalah orang yang jujur dan amanah sehingga tidak memberi informasi yang dibuat-buat, dan tidak menyebarkan rahasia sesuatu yang mestinya dirahasiakan.

Sebelum taaruf hendaklah seseorang melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebagaimana dijelaskan di atas. Apa pun yang diputuskan oleh Allah l setelah istikharah tersebut, itulah yang terbaik baginya.

Nazhor

Setelah seseorang merasa mantap dengan calon pasangannya, Islam menganjurkan melakukan nazhor. Nazhor artinya melihat wanita yang hendak dilamar dan mengamatinya dengan saksama. Dalam hal ini, memandang wanita bukan mahram yang hukum asalnya dilarang, menjadi halal. Nabi n bersabda kepada seorang pria yang hendak menikahi seorang wanita,

أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَاذْهَبْ فَانْظُرْهَا

“Sudahkah engkau melihatnya?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau n bersabda, “Pergilah dan lihatlah dia!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Sebaiknya, nazhor dilakukan sebelum lamaran agar pihak pria bisa mundur—ketika merasa tidak cocok—tanpa menyakitinya. Namun, nazhor bisa juga dilakukan saat melamar atau setelahnya.

Persyaratan Nazhor

Nazhor yang syar’i memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut.

  1. Nazhor dilakukan dengan ditemani oleh mahram si wanita, tidak berkhalwat (menyendiri berduaan dengan wanita yang bukan mahram).

Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut sebagaimana dalam sabda beliau,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

“Tidak boleh seorang pria berduaan dengan seorang wanita, dan tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) melainkan dengan mahramnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

  1. Nazhor dilakukan tanpa syahwat.

Jika dengan syahwat, hukumnya haram. Sebab, tujuan nazhor adalah untuk mengetahui keadaan si wanita, bukan untuk bersenang-senang.

  1. Nazhor dilakukan jika si lelaki memiliki persangkaan kuat bahwa lamarannya akan diterima.
  2. Hendaknya si lelaki hanya melihat bagian tubuh wanita yang biasa tampak, seperti wajah, leher, dua tangan, dan dua betis.
  3. Adanya tekad dari si lelaki untuk melamar. Jika sekedar coba-coba, nazhor tidak diperbolehkan.
  4. Hendaknya si wanita tidak dinazhor dalam keadaan berdandan, berminyak wangi, bercelak, atau jenis berhias yang lain, karena hal itu akan menimbulkan kejelekan.

Hal-hal di atas semestinya dilakukan oleh seorang wanita di depan suaminya. Selain itu, hal-hal tersebut akan menjadi mafsadah baginya. Sebab, jika setelah menikah ternyata suami tidak mendapati kecantikan yang pernah dipertontonkannya, suami bisa kecewa dan tidak menyukainya. Akhirnya, penyesalan dan penderitaanlah yang akan dituainya.

Nazhor boleh dilakukan lebih dari sekali jika si pria belum mantap dengan nazhor pertama. Namun, perlu tetap diingat, tujuannya bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan hawa nafsu. Selain itu, nazhor boleh dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita, apabila hal ini aman dari dampak yang jelek. Jika dia ingin mengetahui hal-hal yang lebih detail tentang si wanita, dia bisa mengutus ibu atau saudarinya untuk meneliti keadaannya, seperti bau mulut, bau badan, keindahan rambut, dan lain-lain. Sebaliknya, si wanita bisa meminta bantuan ayah atau mahramnya yang lain untuk mendapatkan informasi yang ingin diketahuinya tentang pria yang menazhornya.

Demikianlah sekelumit pembahasan taaruf dan nazhor dalam proses pernikahan syar’i. Semoga Allah, al-Hadi (Yang Maha Memberi Petunjuk) memberikan taufik kepada kita semua untuk mengamalkan syariat-Nya dan mengampuni dosa-dosa kita yang melanggar syariat-Nya yang agung ini. Sesungguhnya, Dia Dzat Yang Maha Pengampun.

Wallahu a’lam bish-shawab.