Pada dua edisi berturut-turut sebelum ini, kami telah membahas sebagian hak suami atas istri. Sungguh, perkara tersebut adalah perkara yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah menerangkan keagungannya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan selainnya, dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu,
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ فِيْهِ قَرْحَةٌ فَلَحِسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
“Hak suami atas istrinya adalah andaikan pada sang suami ada luka bernanah lalu sang istri menjilatinya, dia belum menunaikan hak suaminya.” (Shahihul Jami’ no. 3148)
Wanita cerdas tentu akan mengagungkan perkara yang diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena mengharapkan jannah yang kekal nan penuh kenikmatan.
Pada edisi kali ini kami sebutkan hak-hak suami yang lain sebagai berikut.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala ,
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
“Wanita-wanita salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).” (an-Nisa’: 34)
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (Shahihul Jami’ no. 4534, an-Nasa’i dalam al-‘Isyrah, dan lain-lain)
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkanmu jika engkau pandang, menaatimu jika engkau perintah, dan menjaga dirinya serta hartamu saat engkau tidak ada.” (Shahihul Jami’ no. 3299)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (al-Baqarah: 264)
Jangan sampai ia memarahi anak-anaknya di hadapan suami, mendoakan mereka dengan kejelekan, dan mencaci maki mereka. Sebab, terkadang hal itu menyakiti hati suami. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda,
لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيلٌ عِنْدَكِ، يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari mengatakan, ‘Jangan sakiti dia, semoga Allah memerangimu. Sesungguhnya dia hanyalah tamu yang singgah di sisimu dan hampir meninggalkanmu menuju kami’.” (HR. at-Tirmidzi)
Istri yang buruk pergaulannya terhadap orang tua dan kerabat suami belum bisa dikatakan mempergauli suaminya dengan baik.
Di antara rahasia berbahaya yang para wanita bermudah-mudah untuk menyiarkannya adalah urusan ranjang dan hal-hal yang terjadi antara suami dan istri, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sungguh telah melarang hal tersebut.
Dari Asma’ bintu Yazid radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia pernah berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam , sedangkan para pria dan wanita tengah duduk-duduk. Beliau n bersabda, “Barangkali ada pria yang menceritakan apa yang dilakukannya bersama istrinya, dan barangkali ada wanita yang menceritakan apa yang dilakukannya bersama suaminya.” Orang-orang pun terdiam.
Aku (Asma’) pun berkata, “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah. Sesungguhnya mereka (para wanita) melakukannya, dan sesungguhnya mereka (para pria) melakukannya pula.”
Beliau bersabda, “Janganlah kalian melakukannya, karena permisalan hal itu adalah sebagaimana setan laki-laki yang bertemu setan perempuan di jalan lalu menggaulinya dalam keadaan dilihat orang-orang.” (Shahih, lihat Adabuz Zifaf hlm. 72)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Perempuan mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab, haram baginya bau surga.” (Shahih, lihat al-Irwa’ no. 2035)
Demikianlah tugas-tugas istri di dalam rumah tangganya. Hendaknya para istri bersungguh-sungguh mengerjakannya tanpa perlu menoleh pada kekurangan-kekurangan suami. Jika suami adalah pria yang baik, niscaya ia akan mempergauli istrinya dengan penuh kebaikan. Namun, jika Allah menakdirkan sang suami tidak atau kurang memerhatikan hak istri, hendaknya istri bersabar dengan tetap menjalankan kewajiban dan memberikan nasihat kepada suami. Harus senantiasa diingat bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan kebaikan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Biarlah Anjing Menggonggong, Kafilah Tetap Berlalu
Pembaca yang budiman, hak dan kewajiban suami istri telah diatur dalam syariat nan mulia ini. Kita tinggal mempelajari, memahami, dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Di sana ada pahala yang menanti bagi yang taat dan azab bagi yang bermaksiat.
Sayang, sungguh sayang, ada pihak-pihak yang berupaya mendobrak tatanan yang sudah sedemikian rapi tersebut, terutama yang berkenaan dengan kewajiban istri. Para pengusung slogan emansipasi wanita dan orang-orang yang telah terpengaruh propaganda kapitalis tidak henti-hentinya menyuarakan suara-suara sumbang untuk meruntuhkan ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya n tersebut.
Menurut akal mereka yang telah menyimpang, Islam adalah agama yang memihak kepada kaum pria dan membekukan setengah potensi masyarakat. Wanita dalam Islam mereka katakan dipenjara dalam rumah, harus taat bagai budak, tidak bebas menyalurkan potensi dan kemampuannya. Wanita yang bekerja seharian di rumahnya mereka anggap sebagai pengangguran. Peran mulia wanita mengurus suami, rumah, dan anak-anaknya mereka ibaratkan dengan ungkapan-ungkapan sinis semisal “macak, masak, manak” (Jawa; berdandan, memasak, dan beranak) atau “dapur, sumur, kasur”, dan semisalnya. Tujuan mereka adalah membuat wanita alergi dengan pekerjaan tersebut, seolah-olah semua itu adalah peran yang rendah dan tidak berarti.
Wanita yang bekerja, dalam pandangan mereka, adalah yang pekerjaannya menghasilkan uang sebagaimana halnya pria. Wanita karier yang bercampur baur dan bersaing dengan kaum pria itulah yang mereka anggap mulia dan modern. Sudah barang tentu mereka tidak memikirkan tingginya nilai kesalehan, ketaatan, dan semisalnya. Itulah hasil kebutaan hati mereka terhadap syariat yang mulia ini.
Mereka tidak mau mengakui bahwa fitrah wanita berbeda dengan pria. Mereka tidak mau menerima aturan Dzat yang telah menciptakan manusia, yang Mahatahu tentang kondisi mereka, yang memberikan untuk masing-masing dari kaum pria dan kaum wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.
Saudariku, Islam tidak melarang wanita bekerja mencari uang. Dia boleh membantu suaminya mencari nafkah setelah menunaikan kewajiban-kewajibannya. Namun, pekerjaan yang ditekuni harus selamat dari berbagai penyimpangan syariat, seperti pamer aurat, khalwat (berduaan antara pria dan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (bercampur baur dengan pria nonmahram), dan lain-lain. Aturan ini sebenarnya merupakan benteng untuk melindungi kaum wanita dari berbagai gangguan dan tipu daya. Akan tetapi, oleh para penggerak emansipasi wanita, aturan ini dianggap sebagai batu sandungan. Mereka tidak akan puas sebelum wanita benar-benar mendapatkan kebebasan yang sama dengan pria di segala bidang kehidupan.
Tentu saja kita tidak perlu berkecil hati di hadapan mereka. Sebaliknya, kita harus bangga karena parameter kita bukanlah pandangan manusia, melainkan penilaian Allah l. Dialah Dzat yang mampu memasukkan kita ke surga atau ke neraka, bukan mereka. Bukankah akhirat itu lebih baik dan lebih kekal? Cukuplah bagi kita sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ
“Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu surga mana pun yang engkau kehendaki.” (Shahihul Jami’ no. 660)
Adakah kenikmatan di dunia ini yang mengalahkan surga? Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Saudariku, demikianlah bahasan tentang kewajiban-kewajiban istri yang bisa kami sampaikan. Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk mengamalkan syariat-Nya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam bish shawab.