Qonitah
Qonitah

tayammum

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Tayammum

fikih-ibadah-14Al-Ustadz Utsman

Tayammum dalam pengertian syariat adalah ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengusapkan apa-apa yang ada di muka bumi yang suci ke wajah dan kedua telapak tangan dengan cara tertentu.

Dalil Syariat Tayammum

Banyak sekali dalil tentang tayammum, baik berupa ayat al-Qur’an, hadits nabawi yang shahih, maupun ijma’ (kesepakatan) para ulama. Di antaranya ialah firman Allah dalam surat al-Maidah ayat ke-6 setelah disebutkan syariat tentang wudhu dan mandi,

يَفَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ

“… lalu kalian tidak menemukan air, bertayammumlah dengan sha’id thayyib[1], maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian dengannya.”

Bahasan mengenai tayammum diuraikan setelah bahasan mengenai wudhu dan mandi serta hal-hal yang terkait dengan keduanya. Sebab, dalam Islam memang telah ditetapkan dua zat untuk bersuci:

  1. Untuk bersuci dengannya, ada syariat wudhu dan mandi. Air merupakan zat utama yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk bersuci.
  2. Tanah dan apa saja yang berada di permukaan bumi yang suci. Bersuci dengannya merupakan pengganti bersuci dengan air.

Oleh karena itu, tayammum disyariatkan ketika orang yang hendak bersuci tidak bisa memakai air, baik dia dalam kondisi safar maupun mukim.

 

Kapan Seseorang Dianggap Tidak Bisa Memakai Air?

  1. Jika tidak ada air. Orang yang yakin bahwa di sekitarnya tidak ada air boleh langsung bertayammum tanpa perlu mencari air. Adapun orang yang masih menduga bisa mendapatkan air, wajib untuk mencari air.[2]
  2. Jika memakai air untuk bersuci bisa menimbulkan bahaya atau dampak negatif. Misalnya, orang yang sakit dan kalau dipaksakan bersuci dengan air, sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya. Dalam hal ini boleh baginya bertayammum.

 

Makna Sha’id Thayyib yang Boleh Digunakan untuk Bertayammum

Sha’id artinya permukaan bumi. Makna ini disampaikan oleh para ahli bahasa Arab.[3]

Thayyib artinya suci dari najis.

Berdasarkan uraian di atas, pendapat yang kuat dalam hal ini ialah bahwa seluruh permukaan bumi, baik tanah, pasir, bebatuan, maupun yang lainnya, yang suci dari najis masuk ke dalam makna sha’id thayyib sehingga kita boleh bertayammum dengannya.[4]

 

Faedah

Al-Imam al-Bukhari[5] meriwayatkan sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bertayammum dengan mengusapkan telapak tangan beliau ke dinding. Terkait dengan hal ini, para ulama menjelaskan bahwa boleh mengusapkan telapak tangan ke dinding jika di permukaannya menempel atau terdapat zat/unsur yang biasa ada di permukaan bumi, seperti debu. Oleh karena itu, boleh menepukkan telapak tangan ke benda/permukaan yang terdapat debu padanya.[6] Wallahu a’lam.

 

Kedudukan Tayammum

Tayammum merupakan pengganti wudhu dan mandi. Dengan demikian, tayammum juga berfungsi mengangkat/menghilangkan hadats (rafi’un lil hadats), baik hadats kecil maupun hadats besar. Hal ini berdasarkan penegasan Allah subhanahu wa ta’ala (al-Maidah: 6) bahwa dengan tayammum, Allah ingin menyucikan para hamba-Nya.

Berdasarkan penjelasan ini, maka:

  1. Boleh melakukan tayammum sebelum waktu shalat tiba.
  2. Tayammum tidak batal dengan semata-mata keluarnya waktu shalat tertentu.
  3. Boleh melakukan beberapa shalat dengan sekali tayammum selama tidak terjadi pembatal tayammum.

 

Anggota Tayammum

Anggota tayammum adalah wajah dan kedua telapak tangan. Adapun lengan, baik lengan atas maupun lengan bawah, tidak termasuk anggota tubuh yang diusap ketika tayammum. Hal ini berdasarkan:

  1. Riwayat yang jelas dalam hadits ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam masalah tayammum, menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan bahwa ketika tayammum, yang diusap hanya wajah dan telapak tangan.
  2. Penyebutan kata الْيَد (tangan) dalam ayat di atas dan tidak disebutkan batasan pengusapan tangan.

Ayat ini serupa dengan ayat tentang hukum potong tangan bagi pencuri (al-Maidah: 38), yang di dalamnya juga disebutkan الْيَد (tangan) tanpa disebutkan batasan sampai mana dipotong. Sementara itu, telah diketahui bahwa tangan pencuri dipotong hingga pergelangannya saja. Berbeda halnya dengan penyebutan الْيَد (tangan) dalam ayat tentang wudhu. Sebab, dalam ayat tersebut disebutkan batasannya, yaitu sampai kedua siku.

Kesimpulannya, jika kata الْيَد (tangan) disebutkan begitu saja tanpa batasan (seperti ayat dalam masalah tayammum dan hukum potong tangan), yang dimaksud adalah kedua telapak tangan.

 

Tata Cara Tayammum

  1. Niat tayammum.
  2. Menepukkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi sekali tepukan saja.[7]
  3. Meniup kedua telapak tangan tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa hal ini dilakukan jika debu yang menempel di telapak tangan terlalu banyak.[8]
  4. Mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah dan punggung telapak tangan.

Dalil tentang tata cara tayammum di atas adalah hadits dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim.

  • Tidak disunnahkan mengucapkan bismillah di awal tayammum karena tidak adanya dalil yang jelas dalam hal ini. Terlebih jika kita melihat teks hadits ‘Ammar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengajari ‘Ammar yang belum mengetahui tata cara tayammum. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengajarinya untuk mengucapkan bismillah terlebih dulu. Wallahu a’lam.[9]
  • Mana yang lebih dahulu diusap, wajah atau kedua telapak tangan? Sebagian dalil menyebutkan wajah dahulu baru telapak tangan, seperti dalil dalam al-Qur’an dan di sebagian riwayat hadits ‘Ammar. Namun, sebagian yang lain menyebutkan telapak tangan dahulu baru wajah, seperti ditunjukkan oleh sebagian riwayat lain dari hadits ‘Ammar. Oleh karena itu, kita boleh melakukan keduanya walaupun yang lebih utama adalah mendahulukan wajah, sebagaimana ayat al-Qur’an menyebutkan wajah terlebih dah Di sisi lain, didahulukannya wajah berarti sesuai dengan urutan dalam berwudhu, sementara wudhu merupakan asal tayammum. Wallahu a’lam.

 

Pembatal Tayammum

  1. Segala yang membatalkan wudhu atau mengharuskan mandi.
  2. Adanya kemampuan memakai air.

Bagi orang yang bertayammum karena tidak menemukan air, tayammumnya batal jika ada air yang bisa dipakai bersuci. Adapun bagi orang yang bertayammum karena mengkhawatirkan bahaya, tayammum batal dengan hilangnya bahaya atau sesuatu yang dikhawatirkan tersebut. Contohnya, orang yang ketika sakit harus bertayammum, karena jika bersuci dengan air, ia khawatir sakitnya semakin parah. Ketika sudah sembuh sakitnya, saat itu pula batal tayammumnya.

 

Beberapa Masalah Lain Terkait dengan Tayammum

  • Ada air untuk bersuci, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Kalau air ini dipakai bersuci, tetap tidak akan mencukupi. Apakah seseorang harus memakai air itu sampai habis baru bertayammum, atau ia boleh langsung bertayammum? Pendapat yang kuat dalam hal ini ialah dia boleh langsung bertayammum tanpa perlu menghabiskan air yang memang tidak mencukupi untuk bersuci tersebut.[10]
  • Waktu shalat tiba dan tidak didapatkan air untuk bersuci. Namun, diperkirakan bahwa di akhir waktu shalat akan datang air. Apakah dalam hal ini seseorang boleh langsung bertayammum ataukah harus menunggu datangnya air? Pendapat yang kuat dalam masalah ini ialah dia boleh langsung bertayammum. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan beberapa keistimewaan yang beliau miliki dan tidak dimiliki oleh para nabi yang lain. Di antara sabda beliau, “… dan dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan sarana bersuci. Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang tiba waktu shalat kepadanya, hendaklah dia shalat .” ( al-Bukhari dan Muslim)
  • Ada beberapa kemungkinan yang terkait dengan tayammum dan datangnya air serta shalat yang dilakukan.
  1. Air ada setelah tayammum dilakukan dan sebelum shalat dikerjakan, maka tayammum batal dan seseorang wajib bersuci dengan air, baru menegakkan sha
  2. Air ada setelah tayammum dilakukan dan setelah shalat ditegakkan dengan sempurna (baik waktu shalat sudah berakhir maupun masih tersisa), maka pendapat yang kuat ialah shalat tidak perlu diulang, tetapi tayammum batal. Artinya, jika seseorang hendak melakukan shalat lainnya, harus bersuci dengan air.
  3. Air datang ketika seseorang sedang menegakkan shalat (belum selesai). Dalam hal ini, pendapat yang kuat dan lebih berhati-hati ialah dia keluar dari shalat, kemudian bersuci dengan air dan mengulang shalat dari awal.
  • Seseorang mengalami luka di anggota wudhunya dan tidak mungkin mengalirkan air ke luka tersebut, atau lukanya diperban dan tidak boleh dibasuh dengan air. Apakah disyariatkan mengusap perbannya? Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah tidak disunnahkan mengusap di atas perban dan sejenisnya. Sebab, berbagai hadits yang datang dalam hal ini tidak ada yang shahih.[11]
  • Tayammum tidak disyariatkan sebagai pengganti menghilangkan najis.
  • Jika seseorang tidak memiliki air untuk bersuci, tetapi ada air yang dijual, dia harus membelinya selama memiliki kemampuan dan tidak terbebani.
  • Jika seseorang khawatir bahwa memakai air akan membahayakan dirinya karena dinginnya air atau cuaca, dia harus berusaha terlebih dahulu memanaskan air atau melakukan cara-cara lain agar bisa bersuci dengannya. Jika berbagai cara tidak memungkinkan, barulah dia diperbolehkan bersuci dengan tayammum.
  • Bukan syarat sah tayammum meratakan usapan debu dan sejenisnya ke seluruh bagian wajah dan telapak tangan.[12] Sebab, tayammum bertujuan memberikan kemudahan kepada para hamba-Nya.
  • Orang yang tidak mendapatkan air sekaligus sha’id thayyib untuk bersuci diistilahkan dengan faqid aththarurain. Dalam keadaan ini, pendapat yang kuat ialah dia tetap wajib menunaikan shalat pada waktunya dan tidak perlu mengulang shalat jika sudah ada air atau sha’id thayyib.
  • Jika seorang pria tidak memiliki air yang cukup untuk mandi, padahal dia ingin berhubungan badan dengan istrinya, dia boleh melakukannya dan sama sekali tidak tercela. Namun, setelah itu, dia harus bertayammum untuk sha

 

[1] Akan datang penjelasan mengenai makna sha’id thayyib, insya Allah.

[2] Termasuk dianggap tidak mendapatkan air adalah orang yang melihat air di dalam sumur yang sangat dalam dan tidak mungkin mengambil air tersebut dengan cara apa pun. (ad-Darari)

[3] Seperti al-Khalil, Ibnul ‘Arabi, dan az-Zajjaj. Bahkan, az-Zajjaj berkata bahwa beliau tidak mengetahui adanya beda pendapat di kalangan pakar bahasa Arab dalam hal ini. (Adhwa’ul Bayan)

[4] Adapun pendapat sebagian ulama yang mengkhususkan permukaan bumi yang berupa tanah saja yang boleh ditepuk ketika tayammum adalah pendapat yang lemah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para muhaqqiq, seperti asy-Syinqithi, as-Sa’di (dalam kitab beliau, al-Mukhtarat al-Jaliyyah ), Ibnul ‘Utsaimin, dll.

[5] Al-Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini, tetapi secara mu’allaq (tanpa menyebutkan guru beliau).

[6] Silakan merujuk ke Syarh Shahih Muslim dan Adhwa’ul Bayan.

[7] Adapun berbagai riwayat yang menjelaskan bahwa ketika tayammum, telapak tangan ditepukkan dua kali atau lebih, semuanya tidak shahih. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para pakar hadits, seperti Ibnul Qayyim dan al-Albani. Bahkan, sebagian hadits tersebut berderajat sangat lemah. (Bisa dirujuk ke Tafsir Ibn Katsir)

[8] Fath Dzil Jalal dan Syarh Shahih Muslim.

[9] Inilah yang dipilih oleh guru kami, asy-Syaikh Abdurrahman al-‘Adani hafizhahullah, sebagaimana dalam rekaman pelajaran Syarh Muntaqal Akhbar.

[10] Inilah pendapat yang dipilih oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman. Di antara alasan beliau ialah bahwa hal ini sebagaimana orang yang melakukan zhihar (mengatakan kepada istrinya, “Kamu seperti punggung ibuku”). Penebus/kaffarahnya adalah membebaskan budak, dan jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika seseorang hanya mempunyai harta sebanyak separuh harga seorang budak, dia dianggap tidak mampu. Oleh karena itu, dia tidak diperintah untuk membayar semampunya, baru berpuasa. Namun, dia langsung berpuasa.

[11] Irwa’ul Ghalil dan Tamamul Minnah.

[12] Inilah yang dikuatkan oleh al-Albani dalam ats-Tsamr al-Mustathab ­dan oleh Syaikhuna ‘Abdurrahman al-‘Adani.

Sumber Tulisan:
Tayammum