Bahtera membutuhkan awak-awak yang terampil dan andal agar bisa berlayar dengan lancar. Tiap awak harus memahami dan menjalankan tugasnya di bawah kepemimpinan sang nakhoda. Kelalaian dan pembangkangan seorang awak bisa membuat bahtera oleng, bahkan tenggelam di tengah lautan, atau tersesat hingga terdampar di selain negeri tujuan.
Rumah tangga yang kerap diibaratkan sebagai bahtera pun demikian keadaannya. Suami sebagai nakhoda, dan istri serta anak-anak sebagai anak buahnya, harus menjalankan tugas masing-masing dengan sabar dan penuh tanggung jawab. Jika tidak, sungguh sulit bagi bahtera itu untuk sampai ke negeri tujuan dengan selamat. Jika dia sekadar terhempas di dunia, mungkin masih bisa dicarikan jalan keselamatan meski dengan susah payah. Namun, jika dia terdampar di negeri kesengsaraan di akhirat, itulah kerugian yang sesungguhnya.
Pada edisi kali ini kami sajikan dua dari sekian banyak kewajiban istri kepada suaminya. Berikut pembahasannya.
Sebagaimana telah disinggung, suami adalah nakhoda bahtera rumah tangga. Kepemimpinan suami adalah kedudukan yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bukan sekadar kebiasaan yang berlaku di kelompok masyarakat tertentu atau adat negeri tertentu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
“Kaum pria adalah pemimpin bagi para wanita, karena keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena nafkah yang mereka keluarkan dari sebagian harta mereka.” (an-Nisa’: 34)
Setinggi dan semulia apa pun seorang wanita, tidak pantas baginya memprotes pembagian Allah Yang Mahatahu dan Mahabijaksana ini. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسَۡٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٣٢
“Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa’: 32)
Karena pria adalah pemimpin, hal ini berkonsekuensi ketaatan istri kepadanya. Dalil-dalil menunjukkan bahwa wanita yang baik adalah wanita yang patuh kepada suaminya, bukan wanita yang bebas berbuat semaunya atau yang justru terbalik keadaannya, yakni dialah yang mengatur suaminya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ditanya siapakah wanita yang terbaik, beliau menjawab, “Yang menyenangkan suami ketika dipandang, menaatinya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya dengan sesuatu yang membangkitkan kebencian suami.” (HR. an-Nasa’i, dinyatakan shahih oleh al-Albani)
Saudariku yang semoga disayang oleh Allah, suami memiliki hak yang amat besar atas istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, tentu kuperintah istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al–Baihaqi, dari hadits Abu Hurairah z. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”)
Dari hadits ini kita bisa mengetahui betapa besarnya hak suami atas istrinya. Maka dari itu, istri wajib menaati suami, karena hak terbesar—setelah hak Allah dan Rasul-Nya—yang harus dia tunaikan adalah hak suami. Jika istri durhaka dan terus-menerus dalam kedurhakaannya, dia telah menghadapkan dirinya kepada kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala hingga suaminya ridha kepadanya.
Duhai para istri yang semoga dirahmati Allah, pembangkangan kepada suami akan mengakibatkan seorang istri masuk neraka jika Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengampuninya—wal ’iyadzu billah. Disebutkan dalam hadits Hushain bin Mihshan, dia berkata, “Bibiku telah bercerita kepadaku, katanya: Saya telah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk suatu keperluan. Beliau bertanya, ‘Wahai wanita, apakah kamu bersuami?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi, ‘Bagaimana sikapmu terhadapnya?’ Dia (bibi Hushain, –pent.) menjawab, ‘Saya tidak pernah mengurangi ketaatan kepadanya, kecuali pada urusan yang saya tidak mampu.’ Beliau bersabda, ‘Perhatikanlah di mana kedudukanmu terhadapnya, karena dia adalah surga dan nerakamu’.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, an-Nasa’i, Ahmad, dan lain-lain. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Saudariku yang mulia, kewajiban taat kepada suami ini berlaku bagi semua wanita walaupun dia adalah putri raja yang mulia, kaya raya, cantik jelita, dan semisalnya. Dia wajib menaati suaminya dalam setiap perkara yang makruf meskipun sang suami memiliki status sosial yang lebih rendah. Istri harus membuang jauh-jauh sikap sombong dan angkuh terhadap sang suami. Dikecualikan dari hal ini jika sang suami memerintahnya untuk bermaksiat dan durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kondisi ini, ketaatan kepada Allah-lah yang didahulukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Ketaatan itu hanyalah pada perkara yang makruf.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Beliau juga bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim mendengar dan taat, baik pada perkara yang disukai maupun yang dibenci, kecuali jika dia diperintah untuk suatu kemaksiatan. Jika dia diperintah untuk suatu kemaksiatan, tidak boleh mendengar dan taat.”
Terkadang seorang istri ingin beribadah sunnah, tetapi sang suami tidak menyetujuinya. Dalam kondisi ini ketaatan kepada suami harus dikedepankan karena hukumnya wajib, dan perkara wajib harus didahulukan daripada perkara sunnah.
Secara umum, laki-laki memiliki syahwat jima’ yang lebih tinggi daripada perempuan. Dia lebih tidak sabar untuk meninggalkan jima’ daripada perempuan. Faktor terbesar yang mendorongnya untuk menikah adalah penyaluran syahwat secara halal. Oleh karena itu, syariat mewajibkan istri untuk menaati suaminya jika dipanggil ke ranjangnya, agar tidak terjadi kerusakan yang besar. Penolakan istri tanpa adanya uzur yang bisa diterima, seperti haid atau sakit, akan menghadapkannya kepada kemurkaan Allah dan laknat para malaikat serta mengurangi pahala shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika istri dipanggil suami ke ranjang lalu dia menolak sehingga sang suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, malaikat akan melaknatnya hingga ia memasuki waktu pagi.” (HR. al-Bukhari)
Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke ranjangnya lalu si istri enggan memenuhi panggilan tersebut, melainkan yang di langit marah kepadanya hingga sang suami ridha kepadanya.” (HR. Muslim)
Mendurhakai suami dalam urusan ini termasuk dosa besar. Oleh karena itu, hendaknya para ibu rumah tangga mencamkan sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di atas. Janganlah rasa lelah setelah mengurus rumah tangga seharian membuatnya enggan melayani suami. Bangkitlah meskipun diri sendiri terkadang tidak berhasrat akibat didera penat yang sangat. Jangan pula kesibukan membuatnya berlambat-lambat. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seorang wanita tidak dikatakan memenuhi hak Rabbnya sebelum ia memenuhi hak suaminya. Walau sang suami meminta dirinya dalam keadaan dia di atas sekedup, dia tidak boleh menolaknya.” (Hadits shahih riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan lain-lain)
Jadi, andai seorang istri tengah berada di atas punggung seekor unta lantas suaminya ingin berhubungan dengannya, dia tidak boleh menolaknya. Lalu, bagaimana pada selain kondisi tersebut?
Sebagai penutup, kami sebutkan berita gembira dari junjungan kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam , bagi wanita yang menaati suaminya. Beliau n bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita menunaikan shalat (fardhu) lima waktu, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, dia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.” (HR. ath–Thabarani, Ibnu Hibban, dan selainnya. Al-Albani berkata, “Hadits hasan atau shahih dengan beberapa jalur periwayatan.”)
Inilah balasan terbaik baginya. Bukankah tidak ada kenikmatan di dunia ini yang menandingi surga? Cukuplah balasan surga ini menjadi pengusir rasa lelah dan berat karena menaati suami.
Demikianlah dua kewajiban istri yang menjadi hak sang suami. Mudah-mudahan pembahasan yang singkat ini dapat menjadi tambahan ilmu dan amal bagi penulis secara khusus dan bagi kaum muslimin secara umum. Amin ya Rabbal ’alamin.
Referensi:
– Al-Qur’anul Karim
– Adabuz Zifaf, asy-Syaikh al-Albani
– Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah
– Risalah ilal ‘Arusain, Abu ‘Abdirrahman ash-Shubaihi