Qonitah
Qonitah

ta’aruf via facebook, masalah atau solusi ?

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Ta’aruf via Facebook, Masalah atau Solusi ?

alam-wanita-14Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia terdiri atas pria dan wanita. Allah juga menjadikan mereka memiliki naluri condong satu sama lain. Islam pun telah memberikan batasan dan konsep hubungan yang terjalin antara keduanya. Bisa jadi, hubungan itu berupa hubungan mahram, seperti hubungan seorang pria dengan ibu dan anak-anak perempuannya, atau hubungan pernikahan. Adapun hubungan antara pria dan wanita di luar wilayah ini telah dilarang oleh Islam.

Demikian pula halnya pembicaraan antara pria dan wanita, baik melalui lisan, isyarat, maupun tulisan, tidak boleh dilakukan kecuali ketika ada kebutuhan, dengan senantiasa memerhatikan adab dan akhlak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسۡ‍َٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ

Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.(al-Ahzab: 53)

إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٣٢

 

“… jika kalian bertakwa. Maka dari itu, janganlah kalian tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkitlah nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.(al-Ahzab: 32)

Seiring dengan perkembangan teknologi, maraklah situs jejaring sosial di jagat maya. Hal ini menyebabkan semakin luasnya fungsi media, menjadi sarana berkenalan (taaruf) dan berhubungan di seluruh dunia. Ada yang sekadar menjalin pertemanan, ada pula yang sengaja mencari pasangan. Semuanya menganggap bahwa interaksi melalui situs ini jauh lebih mudah dan memungkinkan daripada interaksi normal. Maka dari itu, keberadaan situs ini memiliki peran besar dalam menembus batas-batas antara semua orang. Banyak yang mulai berpikir untuk menjadikan situs sebagai lokasi komunikasi.

Facebook, Yahoo Messenger (YM), Twitter, blog, dan sejenisnya sudah sangat populer di tengah-tengah kita. Interaksi pria dan wanita atau ikhwan dan akhwat pun semakin mudah, nyaris tanpa batas, begitu lembut dan halus. Alasan mereka bermacam-macam, dari menjalin pertemanan, berdakwah, memberikan nasihat, hingga berbagi faedah. Namun, tanpa disadari, yang terjadi malah saling tebar pesona. Wallahul musta’an.

Tidak dimungkiri, memang sangat banyak manfaat teknologi komunikasi dan informasi. Namun, ada sejumlah dampak negatif yang perlu diwaspadai. Dalam kehidupan keluarga, SMS (short message service; layanan pesan singkat), Facebook, dan berbagai layanan komunikasi lainnya telah menjadi pemicu konflik antara suami dan istri.

“(Cerai) gara-gara Facebook, ada. Saya sendiri pernah menangani perkaranya, banyak,” tutur Humas Pengadilan Agama Bandung Jawa Barat, Acep Saefuddin, kepada wartawan, Selasa (3/5/2011). (okezone.com)

Bukan hanya di Jawa Barat, kasus perceraian di daerah lain juga banyak. Di Kabupaten Jember, misalnya. Diberitakan bahwa Kabupaten Jember menduduki peringkat tiga besar angka perceraian terbanyak secara nasional. Masalah ekonomi dan media sosial menjadi pemicunya. (beritajatim.com)

Begitulah Facebook, bayangan tentang dunia yang sangat bebas. Tidak ada yang bisa mengontrol seseorang, kecuali kewaspadaan yang ada pada dirinya dan, tentu saja, keimanan dalam hatinya. Seseorang bisa dengan bebas membuat akun Facebook, baik dengan identitas asli maupun dengan identitas palsu. Setelah masuk ke sana, dia bisa bebas berteman dengan siapa saja: laki-laki atau perempuan, orang saleh atau orang fasik, bahkan orang kafir sekalipun. Dia pun bisa berkomunikasi dengan siapa pun, tidak peduli apakah dengan sejenis atau lawan jenis, mahram atau bukan mahram, dengan pembicaraan apa saja yang diinginkannya.

Di Facebook, seseorang bisa berbagi gambar atau foto, dari yang sopan sampai yang (maaf) telanjang. Akibat kebebasan ini, dia pun bisa mengumbar sesuatu yang seharusnya menjadi privasinya. Ini semua sesuai dengan misi Facebook, yaitu “Give people the power to share and make the world more open and connected” (memberikan kekuatan untuk berbagi, dan membuat dunia lebih terbuka dan terhubung).

Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan al-Haritsi hafizhahullah mengemukakan, “Situs jejaring sosial Facebook ini telah banyak mengubah perilaku dan akhlak muslimin, bahkan pada orang-orang yang kami kenal sebagai orang-orang baik, saleh, dan bertakwa. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang dikenal berkecimpung dalam dakwah Islam, bahkan dalam dakwah salafiyyah. Facebook ini mengandung kejelekan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap syariat serta hal-hal yang diharamkan dan tidak diridhai oleh syariat.” (Disampaikan dalam nasihat berjudul “At-Tahdzir min Musyabahati Man La Khalaqa Lahum” (Peringatan agar Tidak Menyerupai Orang-orang yang Tidak Mendapat Bagian [di Akhirat], -ed.). (www.noor-alyaqeen.com)

Tidak pantas seorang muslim terjerat dalam perangkap setan semacam ini. Islam telah melarang mengikuti langkah-langkah setan. Islam juga melarang segala hal yang dapat menjerumuskan seseorang kepada keharaman, meskipun hukum asalnya mubah. Inilah yang dikenal ulama dengan istilah kaidah saddu adz-dzara-i’ (menutup pintu kejelekan, -ed.). Allah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.” (an-Nur: 21)

Apabila ada seorang pemuda yang memiliki semangat dakwah, sedangkan di hadapannya ada jutaan pemuda (ikhwan) yang membutuhkan dakwah, hendaknya dia bersegera mendakwahi mereka. Demikian juga bagi para pemudi (akhwat) yang menginginkan kemanfaatan dan faedah, hendaknya mereka melakukan hal itu dengan sesama jenisnya.

Celakanya, bagi sebagian orang, Facebook dan jejaring sosial lainnya menjadi jalan untuk melakukan taaruf, mengenal lawan jenis dengan tujuan menikahinya. Mungkin dalam sangkaannya hal ini dibolehkan dan tidak termasuk ikhtilath. Seorang pria berbicara langsung atau mengirim pesan kepada seorang wanita tanpa adanya pihak ketiga, alias berkhalwat.

Sebenarnya, berkirim-kiriman surat atau pesan antara pria dan wanita yang bukan mahram, dan berbicara secara langsung walau dengan alasan taaruf dan tujuan menikah, adalah hal yang tidak boleh menurut syariat, sama saja apakah dilakukan dengan cara normal atau melalui situs jejaring sosial. Sebab, hal itu berarti membuka pintu fitnah (bahaya, bencana) yang memungkinkan lahirnya sekian kejelekan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidak ada sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi pria daripada (fitnah) wanita.” (HR. alBukhari, Muslim, dan lain-lain)

Atas dasar ini, wajib hukumnya menjauhi fitnah. Meninggalkan fitnah harus didahulukan daripada mencapai maslahat taaruf dan nikah. Ada kaidah dalam syariat yang berbunyi,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Meninggalkan kerusakan diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”

Untuk itu, syariat Islam datang dalam rangka mewujudkan kemaslahatan makhluk dan menjauhkan kerusakan dari mereka. Di antara kerusakan itu adalah terfitnahnya (tergodanya) pria oleh wanita, dan sebaliknya. Lebih jauh lagi, syariat datang untuk menutup pintu-pintu menuju fitnah dan segala hal yang memicu terjadinya fitnah.

Maksud dari semua ini adalah membantu muslim dan muslimah menjauhi perangkap setan. Allah lebih tahu tentang kita daripada diri kita sendiri. Allah pun lebih menyayangi kita daripada diri kita sendiri. Maka dari itu, segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah kepada kita senantiasa selaras dengan ilmu, hikmah, dan rahmat-Nya.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak diperbolehkan bagi siapa saja (pria) untuk berkirim surat atau pesan kepada wanita asing karena hal ini mengandung fitnah. Mungkin saja si pengirim mengira tidak ada fitnah. Akan tetapi, setan tetap bersamanya sehingga dapat menipu keduanya. Orang yang mendengar kabar tentang Dajjal diperintah oleh Nabi n untuk menjauh darinya. Beliau mengabarkan bahwa Dajjal bisa saja mendatanginya, sementara dia dalam keadaan beriman. Akan tetapi, Dajjal akan tetap bersamanya sehingga menjadi fitnah baginya. Jadi, berkirim-kiriman surat atau pesan antara pemuda dan pemudi adalah fitnah yang besar, bahaya yang besar, wajib dijauhi.… Adapun antara sesama pria dan antara sesama wanita, hal itu tidaklah mengapa, kecuali jika ada hal yang membahayakan.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

Asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah menegaskan, “Saya katakan kepada setiap muslimah yang ingin agama dan kehormatannya terjaga, janganlah dia menawarkan dirinya (taaruf) kepada kaum pria melalui situs internet. Kaum pria itu tidak dapat diketahui seluk-beluknya kecuali oleh sesama kaum pria, sebagaimana kami tidak dapat mengetahui segala sesuatu tentang wanita. Cara seperti ini (dalam taaruf) adalah ideologi Barat yang diadopsi oleh banyak muslim dan muslim.” (http://www.tasfiatarbia.org)

Untuk kalian, ikhwan…. Jagalah kesucian muslimah. Pasanglah tabir pembatas dalam berinteraksi dengan mereka. Jaga hati mereka dan jangan memberikan banyak harapan yang dapat melunturkan keimanan. Mereka ingin meneladani wanita-wanita mulia, yaitu para shahabiyyah (para wanita sahabat Nabi).

Untuk kalian, akhwat…. Jagalah hijab kalian. Jangan bangga karena banyak pria yang ingin bertaaruf dengan kalian. Jika mereka benar dan serius untuk taaruf, tentu akan memakai cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berhiaslah dengan akhlak Islam. Jangan mengumbar kegenitan pada pria yang bukan mahram. Biarkan apa yang ada pada diri kalian menjadi kado cantik untuk suami kalian. Sesungguhnya taaruf itu harus berdasarkan cara Islam, bukan dengan mengumbar rasa sebelum akad nikah.

Wallahu a’lam.