Qonitah
Qonitah

surat an-nisa’ ayat 34

10 tahun yang lalu
baca 12 menit
Surat An-Nisa’ Ayat 34

tadabur-alquran-9Al-Ustadz Abdurrahman Dani

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka dari itu, wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’alaagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”

 

Jenis Surat dan Sebab Turunnya

Surat an-Nisa’, yang terdiri atas 176 ayat ini, telah diperselisihkan oleh para ulama tentang jenisnya sebagai berikut.

  1. Makkiyyah. Pendapat ini diriwayatkan oleh ‘Athiyyah dari Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat al-Hasan, Mujahid, Jabir bin Zaid, dan Qatadah.
  2.  Madaniyyah. Pendapat ini diriwayatkan oleh ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat Muqatil

Ada yang berpendapat bahwa surat an-Nisa’ adalah madaniyyah kecuali satu ayat yang turun di Makkah, yaitu tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam hendak mengambil kunci Ka’bah dari ‘Utsman bin Thalhah al-Hajji pada Hari Fathu Makkah, dan akan menyerahkannya kepada al-‘Abbas. Ayat tersebut adalah ayat ke-58,

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (an-Nisa’: 58) (Zadul Masir 2/2)

Sebab turunnya ayat ini (an-Nisa: 34) adalah bahwa seorang suami menampar istrinya[1] dengan keras, lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memutuskan hukum qishash untuknya. Kemudian, turunlah ayat ini, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pun bersabda, “Aku menginginkan suatu perkara (qishash), tetapi Allah menginginkan perkara yang lain (bukan qishash).”[2] Akhirnya, dihapuslah hukum qishash di antara suami dan istri.

 

Tafsir Ayat

1.  ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ

 

Artinya, “kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita”.

Ibnu ‘Abbas rahimahullah berkata, “Qawwamun artinya kaum pria diberi kekuasaan untuk mendidik kaum wanita dalam masalah hak.”

Kaum pria diberi kekuasaan untuk mengharuskan kaum wanita menunaikan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu menjaga perkara-perkara yang diwajibkan-Nya (seperti shalat dan semisalnya), dan mencegah mereka dari berbuat kerusakan dan kemaksiatan. Selain itu, kaum pria juga diberi kemampuan untuk memberikan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal kepada kaum wanita. (at-Taisir lis Sa’di hlm. 178)

 2. بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ

Artinya, “karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita)”.

Inilah sebab kaum pria menjadi pemimpin bagi kaum wanita, yaitu keutamaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka, kaum pria, atas kaum wanita.

Berikut di antara keutamaan dan kekhususan pria.

  • Pemimpin pemerintahan adalah pria.

Dalam Islam, wanita adalah makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang dimuliakan, bahkan telah diangkat menjadi pemimpin. Akan tetapi, wanita menjadi pemimpin di dalam rumahnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ

“Wanita adalah pemipin atas penghuni rumah suaminya dan atas anak suaminya. Dia (wanita) bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (Muttafaqun alaih)

Wanita bukanlah pemimpin umat, pemimpin negara, dan yang semisalnya, dengan dalih emansipasi wanita. Syariat agama ini telah melarang wanita menjadi pemimpin, kecuali pemimpin bagi anggota keluarganya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda,

اَلْآنَ هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ. هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ . . . ثَلَاثًا

“Sekarang, celakalah kaum pria jika menaati kaum wanita, celakalah kaum pria jika menaati kaum wanita….” (Beliau menyabdakannya) tiga kali. (HR. Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 1/38, Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan 2/34, dan al-Hakim 4/291; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-‘Irwa 2/227).

Beliau juga bersabda,

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Tidak akan menang suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HSR. al-Bukhari dari Abu Bakrah z)

Jabatan pemimpin adalah amanat yang, tentu saja, harus diserahkan kepada ahlinya. Mayoritasnya, kaum pria lebih berhak mengemban amanat tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (al-Nisa’: 58)

  • Kaum pria lebih berakal dan lebih beragama.

Disebutkan dalam hadits,

أَنَّ أَبَا سَعِيْدٍ قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: لِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ عَقْلِنَا وَدِيْنِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam keluar ke mushalla (lapangan shalat Id) untuk menunaikan shalat Idul Adha atau Idul Fitri[3]. Tatkala melewati kaum wanita, beliau bersabda, ‘Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian! Sesungguhnya, telah diperlihatkan kepadaku bahwa kalian menjadi mayoritas penduduk neraka.’[4] Mereka (kaum wanita) bertanya, ‘Mengapa demikian, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Kalian sering melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.[5] Aku tidak melihat kaum yang kurang akal dan agamanya, yang lebih mampu menghilangkan akal seorang pria—yang kokoh hatinya—daripada salah seorang dari kalian.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang dimaksud dengan kekurangan akal dan agama kami, wahai Rasulallah?’ Beliau bersabda, ‘Bukankah persaksian seorang wanita seperti separuh persaksian seorang pria? Mereka berkata, ‘Ya, benar.’ Beliau bersabda lagi, ‘Itulah yang menunjukkan kekurangan akalnya. Bukankah ketika haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka berkata, ‘Ya, benar. Beliau bersabda, ‘Itulah yang menunjukkan kekurangan agamanya’.” (HR. al-Bukhari)

  • Pria mendapat jatah harta warisan yang lebih banyak.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ

“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta warisan) anak-anak kalian, (yaitu bagian jatah) untuk seorang anak lelaki sama dengan (bagian) dua orang anak perempuan.” (an-Nisa: 11)

  1. Kaum pria dikenai kewajiban shalat Jumat dan shalat berjamaah, dan merekalah yang melakukan khotbah, azan, dan i’tikaf.
  2. Hak talak dan rujuk ada di tangan kaum pria.
  3. Anak keturunan dinisbahkan kepada bapak.
  4. Kaum pria terkena kewajiban berjenggot, disunnahkan mengenakan imamah (serban), dan boleh menampakkan wajah.
  5. Pria boleh menikahi wanita lebih dari satu (poligami).
  6. Pria boleh berhubungan (halal bersetubuh) dengan budak perempuannya.
  7. Para nabi dan rasul adalah dari kalangan pria.
  8. Kaum pria mengikuti jihad dan berhak mendapat ghanimah (harta rampasan perang).

3.  وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ3

Artinya, “dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang dimaksud adalah mahar dan nafkah.

Ibnu Katsir menambahkan, termasuk pula segala biaya yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas pria untuk istrinya.

4.  فَٱلصَّٰلِحَٰتُ

Artinya, “maka wanita yang salihah”.

Ada dua pendapat tentang tafsir potongan ayat tersebut.

  1. Wanita yang baik terhadap suaminya. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas.
  2. Wanita yang beramal kebaikan. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnul Mubarak, dan lainnya.

 5. قَٰنِتَٰتٌ

Artinya, “yang taat.

Ibnu ‘Abbas dan yang selainnya berkata bahwa maksudnya adalah wanita yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada suami mereka.

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

خَيْرُ النِّسَاءِ امْرَأَةٌ إِنْ نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِنْ أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِهَا وَنَفْسِهَا؛ وَتَلَا قَوْلَهُ تَعَالَى: فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ … اَلآيَةَ

“Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika kamu melihatnya, dia menyenangkanmu, jika kamu memerintahnya, dia menaatimu, dan jika kamu tidak ada di sisinya, dia menjagamu dalam hal hartanya dan dirinya.” Kemudian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membaca ayat (ini), Fash-shaalihaatu qaanitaatun.”[6]

6. حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ

Artinya, “menjaga diri ketika suaminya tidak ada”.

‘Atha, Qatadah, as-Suddi, dan yang selainnya berkata bahwa mereka adalah (wanita) yang menjaga dirinya dan harta suaminya tatkala sang suami tidak ada.

7. بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ

Artinya, “karena Allah telah menjaga mereka”.

Ada tiga pendapat tentang tafsir potongan ayat tersebut.

  1. Mereka terjaga dengan penjagaan Allah terhadap mereka. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Muqatil.
  2. Mereka terjaga dengan penjagaan Allah untuk mereka dengan mahar (maskawin) dan kewajiban nafkah kepada mereka. Ini pendapat az-Zajjaj.
  3. Ketika suami tidak ada, mereka (para wanita) menjaga sesuatu yang dengannya suami menjaga perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Ini pendapat az-Zajjaj dan yang lainnya. (Zadul Masir 2/47)

 8. وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ

Artinya, Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya.

  1. Pendapat ulama tentang tafsir al-khauf (khawatir)
  2. Maknanya al-‘ilmu (tahu). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas.
  3. Maknanya dugaan terhadap munculnya tanda-tanda nusyuz. Ini pendapat al-Farra’.

(Zadul Masir 2/47)

  1. Pendapat ulama tentang tafsir nusyuz
  2. Kemaksiatan para istri[7]. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas. Lihat Tafsir ath-Thabari 8/300, Tafsir Ibni Katsir 1/492, dan Ahkam al-Quran 1/418.
  3. Istri tidak mau mendatangi suami, mencegah suami dari dirinya, dan mengubah segala sesuatu yang sepatutnya dilakukan oleh pasangan suami istri. Ini pendapat ’Atha.

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ بَاتَتْ هَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Wanita mana pun yang bermalam dengan pisah ranjang (dengan) suaminya, malaikat melaknatnya sampai pagi.” (HR. al-Bukhari 6/214 dalam Bad’il Khalqi)

  1. Kebencian sang istri kepada suaminya. Ini pendapat Abu Manshur.
  2. Istri merasa lebih tinggi daripada suaminya (mengatur suaminya), menentang perintah suami, dan benci saat melihat suaminya. Ini pendapat Ibnu Katsir.

Istri yang seperti ini adalah seperti wanita sakit yang perlu diterapi. Adapun ayat yang setelahnya menyebutkan bimbingan al-Khaliq tentang cara mengobati penyakit tersebut secara bertahap.

9. فَعِظُوهُنَّ

Artinya, maka nasihatilah mereka”.

Al-Khalil t berkata, “Menasihatinya dengan kebaikan yang bisa melembutkan hatinya.”

Suami menjelaskan hukum Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ketaatan istri kepada suami dan hukum bermaksiat dan berbuat makar kepadanya. Suami juga menjelaskan pahala bagi istri yang taat dan balasan azab bagi istri yang berbuat makar dan bermaksiat.

Ar-Razi berkata, “Suami mengawalinya dengan perkataan yang lembut. Jika hal ini tidak bermanfaat, suami menasihatinya dengan perkataan yang lebih keras, kemudian tidak tidur seranjang dengannya, kemudian berpaling darinya sepenuhnya, kemudian memukulnya dengan pukulan yang ringan[8].” (al-Bahr al-Muhith 3/252)

10. وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ

 Artinya, “dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka.”

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud ayat ini.

  1. Meninggalkan persetubuhan (dengan istrinya). Pendapat ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair, Ibnu Abi Thalhah, dan al-Aufi dari Ibnu ‘Abbas. Ini juga merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Muqatil.
  2. Tidak mengajaknya berbicara, bukan meninggalkan persetubuhan. Ini riwayat Abudh Dhuhha dari Ibnu ‘Abbas, dan riwayat Khushaif dari ‘Ikrimah. Ini juga merupakan pendapat as-Suddi dan ats-Tsauri.
  3. Tidak mengajaknya berbicara di ranjang. Ini riwayat Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan ‘Ikrimah.
  4. Pisah ranjang. Ini riwayat al-Hasan, asy-Sya’bi, Mujahid, an-Najmi, Miqsam, dan Qatadah.

Para ulama berkata bahwa ayat ini menunjukkan tahapan yang berurutan. Nasihat diberikan tatkala istri dikhawatirkan nusyuz, alhajr (pisah ranjang) dilakukan tatkala mulai tampak perbuatan nusyuznya, dan adh-dharb (pemukulan) dilakukan tatkala istri sering atau terus-menerus berbuat nusyuz. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada awal nusyuz. (Zadul Masir 2/48)

11. فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ

Artinya, Kemudian, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”.

12. إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Artinya, Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar”.

Ini ancaman bagi suami jika menganiaya istri tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah-lah wali mereka (para istri), Yang Mahatinggi dan Mahabesar. Dia adalah Pembalas bagi siapa saja yang menzalimi dan menganiaya mereka. (Tafsir Ibni Katsir 1/177)

Wallahu a’lam bish shawab.

 

[1] Para ulama berbeda pendapat tentang siapa wanita tersebut.

  1. Habibah bintu Zaid bin Abi Zuhair, istri ar-Rabi’ bin ‘Amr, salah satu pemuka Anshar. Hal ini disebutkan oleh at-Tibrizi, az-Zamakhsyari, dan Ibnu ‘Athiyyah.
  2. Habibah bintu Muhammad bin Salamah, istri Sa’id bin ar-Rabi’. Pendapat ini disebutkan oleh al-Kalbi. Lihat Tafsir al-Baghawi 1/422.
  3. Jamilah bintu ‘Abdillah bin Abi Aufa, istri Tsabit bin Qais bin Syammas. Pendapat ini disebutkan oleh Abu Rauq. Lihat al-Bahr al-Muhith hlm. 248.

Wallahu alam bish shawab.

[2] Lihat Tafsir Mujahid hlm. 155, Musnad Ahmad 5/444, Muntakhab al-Kanz 1/430, Ibnu Katsir 1/491, Fathul Qadir 1/462, al-Wasith 472, at-Thabari 8/291, ar-Razi 10/88, Ahkamul Qur’an libnil Arabi 1/415, dan al-Bahr al-Muhith 3/248.

[3] Periwayat hadits ragu, apakah yang dimaksud Idul Adha atau Idul Fitri.

[4] Ini menjadi dalil bahwa sedekah bisa menghapus dosa di antara manusia.

[5] Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda,

لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidaklah (termasuk orang yang) mensyukuri Allah siapa saja yang tidak mensyukuri manusia.” (Dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 1/776)

Kedudukan suami amat mulia di hadapan istri. Beliau bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku (boleh) memerintah seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya kuperintah wanita untuk bersujud kepada suaminya. (HR. at-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan 1853, dan Ahmad no. 18913; dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 2/197 dan Shahihul Jami no. 5294)

[6] Hal ini diriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin Sallam g. An-Nawawi berkata, “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya shahih.” Al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dalam Mustadraknya dan menyatakannya shahih. Dan dinyatakan shahih pula oleh as-Syaikh al-Albany dalam Silsilah al-ahadits ash-Shahihah 1/8.

[7] As-Sa’di t berkata dalam Tafsirnya, “Bermaksiat kepada suami dengan perkataan dan perbuatan.”

[8] Sebagaimana hadits,

فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (HR. Muslim no. 1218 dari Jabir z)