Silsilah Kisah Berita Bohong atas Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (Bagian 3)
Al-Ustadzah Hikmah
Ummul Mukminin ‘Aisyah menyebutkan bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan nafkah lagi kepada Misthah barang sepeser pun selama-lamanya setelah dia ikut menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah.”
Sebelum peristiwa ini, Abu Bakr biasa memberikan nafkah kepada Misthah karena adanya hubungan kekerabatan di antara mereka berdua dan karena kondisi Misthah yang fakir.
Allah pun menurunkan surat an-Nur ayat 22,
وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ٢٢
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nur: 22)
Setelah diturunkannya ayat di atas, Abu Bakr berkata, “Demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintai dan mengharap ampunan Allah untukku.” Kemudian, Abu Bakr kembali memberikan kepada Misthah nafkah yang dahulu biasa beliau berikan kepadanya, seraya berkata, “Aku tidak akan menghentikan nafkah ini dari Misthah selama-lamanya.”[1]
‘Aisyah bercerita, “Rasulullah juga pernah bertanya kepada Zainab bintu Jahsy, istri beliau, berkenaan dengan fitnah yang menimpaku ini. Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apa pendapatmu?’ Zainab bintu Jahsy menjawab, ‘Wahai Rasulullah, saya menjaga pendengaran dan penglihatan saya. Demi Allah, saya tidak mengetahui (tentang diri ‘Aisyah) kecuali kebaikan’.” Maksudnya, ‘Aisyah adalah wanita yang baik.
‘Aisyah juga berkata, “Di antara para istri Rasulullah, Zainab bintu Jahsy-lah yang menjadi tandinganku (dalam hal kecantikan dan kedudukan) di sisi Rasulullah. Allah telah melindunginya dengan sikap wara’[2] yang menghiasinya. Namun, saudara perempuannya yang bernama Hamnah bintu Jahsy malah menyangkalnya. Jadilah Hamnah terlibat bersama orang-orang yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong ini. Yang ikut menyebarkan berita bohong itu adalah Misthah, Hassan bin Tsabit, dan si gembong munafik, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul.”
‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwam, salah seorang perawi hadits al-ifk dan sekaligus keponakan ‘Aisyah karena merupakan putra Asma’ bintu Abu Bakr ash-Shiddiq, mengisahkan[3], “’Aisyah tidak suka apabila Hassan dicela di sisi beliau. Beliau menuturkan, ‘Sesungguhnya Hassan pernah melantunkan sebuah syair (membela Rasulullah)[4],
فَإِنَّ أَبِيْ وَوَالِدَهُ وَعِرْضِيْ لِعِرْضِ مُحَمَّدٍ مِنْكُمْ وِقَاءُ
Maka sesungguhnya ayahku dan kakek moyangku serta kehormatanku
Siap menjaga kehormatan Muhammad dari (cercaan) kalian’.”
(HR. al-Bukhari no. 4415 dan Muslim no. 2770)
Masruq, salah seorang perawi hadits al-ifk dan termasuk murid senior ‘Aisyah, juga mengisahkan, “Hassan bin Tsabit pernah memohon izin untuk menemui ‘Aisyah. ‘Aisyah pun mempersilakannya masuk. Hassan bin Tsabit menyanjung Ummul Mukminin dengan menuturkan hari-hari mudanya dalam untaian syair yang indah,
حَصَانٌ رَزَانٌ مَا تُزَنُّ بِرِيْبَةٍ وَتُصْبِحُ غَرْثَى مِنْ لُحُومِ الْغَوَافِلِ
فَإِنْ كُنْتُ قَدْ قُلْتُ الَّذِيْ زَعَمُوْا لَكُم فَلَا رَفَعَتْ سَوْطِيْ إِلَيَّ أَنَامِلِيْ
وَإِنَّ الَّذِيْ قَدْ قِيْلَ لَيْسَ بِلَائِقٍ بِكِ الدَّهْرَ بَلْ قِيْلَ امْرُؤٌ مُتَحَامِلُ[5]
Wanita nan terjaga dari kaum lelaki dan dari pandangan mereka, tidak banyak tingkah, tidak pantas tertuduh kehormatannya,
Wanita nan lapar dari memakan daging-daging orang-orang yang lalai (dari melakukan perbuatan keji)[6]
Jika aku dahulu memang ikut menyebarkan berita bohong yang telah mereka sangkakan kepada Anda sekalian
Maka jari-jemariku tidak lagi mengangkat cemetiku atas diriku
Dan sesungguhnya berita bohong yang telah tersiar itu tidaklah pantas ditujukan untuk Anda selama-lamanya
Namun, berita bohong itu tidak lain tersiar oleh orang yang telah teperdaya
Ummul Mukminin menjawab, ‘Namun, Anda tidaklah demikian.’
Setelah Hassan pergi, aku (Masruq) pun bertanya kepada Ummul Mukminin, ‘Apakah Anda mempersilakan Hassan bin Tsabit menemui Anda, padahal Allah telah menurunkan firman-Nya,
وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar. (an–Nur: 11)
‘Aisyah balik bertanya, ‘Bukankah ia telah ditimpa azab yang besar?’
(Sufyan, salah satu perawi hadits ini, berkata, “Yang dimaksud oleh Ummul Mukminin dengan azab yang besar adalah bahwa Hassan telah ditimpa kebutaan.”)
‘Aisyah berkata lagi, ‘Azab apa yang lebih besar daripada kebutaan? Sungguh Hassan pernah membela Rasulullah (dengan syairnya)’.”[7]
Secara ringkas, maksud bait syair di atas adalah pujian untuk Ummul Mukminin ‘Aisyah sebagai wanita mulia yang terjaga kehormatannya, yang telah digunjing oleh banyak orang, tetapi beliau sendiri selamat dari berbuat ghibah. Tuduhan dusta itu tidaklah pantas ditimpakan atas beliau selama-lamanya. Berita bohong itu tidak lain disebarkan oleh orang-orang yang teperdaya.
Oleh karenanya, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahan beliau dan menyatakan tobat beliau di hadapan Ummul Mukminin. Wallahu a’lam.
Pembaca, buah dari kesabaran Ummul Mukminin ‘Aisyah adalah bertambahnya kemuliaan beliau, terbuktinya kesucian beliau, dan terkuaknya kedok jahat kaum munafikin.
Namun, semua itu, bersama sederetan keutamaan Ummul Mukminin ‘Aisyah lainnya, tidak menumbuhkan kesombongan di kalbu beliau sedikit pun.
Tersebutlah sebuah kisah penuh hikmah yang terjadi menjelang wafatnya Ummul Mukminin. Al-Imam al-Bukhari membawakan sanadnya sampai kepada seorang perawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Abi Mulaikah, beliau mengisahkan bahwa menjelang wafatnya ‘Aisyah, ketika beliau menghadapi kepayahan sebelum kematian tiba (sakaratul maut), ‘Abdullah bin ‘Abbas memohon izin untuk menemui beliau.
“Aku khawatir dia akan memuji-mujiku,” ujar ‘Aisyah. Keponakan ‘Aisyah yang bernama ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr ash-Shiddiq mengingatkan sang bibi, “Sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Abbas adalah anak paman Rasulullah dan termasuk pemuka kaum muslimin.”
“Izinkan dia (untuk masuk),” jawab ‘Aisyah.
Setelah masuk, ‘Abdullah bin ‘Abbas menyapa Ummul Mukminin, “Bagaimana Anda merasakan kondisi Anda?”
‘Aisyah menjawab, “Baik-baik saja selagi aku bertakwa.”
‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Anda dalam keadaan baik, insya Allah. Anda adalah istri Rasulullah. Beliau tidak menikah dengan seorang gadis pun selain Anda. Telah turun pembelaan untuk Anda dari langit.”
Setelah ‘Abdullah bin ‘Abbas keluar, masuklah ‘Abdullah bin az-Zubair. Berkatalah ‘Aisyah, “Baru saja ‘Abdullah bin ‘Abbas masuk menemuiku lalu memuji-muji diriku, padahal aku sangat ingin menjadi orang yang tidak diperhatikan lagi dilupakan.”[8]
Faedah Hadits
Pembaca, kisah di atas mengandung faedah ilmu yang sangat banyak. Mari kita menitinya satu per satu lalu mengaitkannya dengan kisah yang telah kita simak bersama.
Faedah Hukum Seputar Wanita
Faedah Seputar Hubungan Suami Istri
C. Faedah Adab Secara Umum
وَأَبَنُوْهُمْ بِمَنْ وَاللهِ مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ مِنْ سُوْءٍ وَلَا يَدْخُلُ بَيْتِيْ قَطُّ إِلَّا وَأَنَا حَاضِرٌ وَلَا غِبْتُ فِيْ سَفَرٍ إِلَّا غَابَ مَعِيْ
“Mereka menuduh keluargaku (melakukan perzinaan) dengan seorang pria yang, demi Allah, aku tidak mengetahui adanya keburukan pada dirinya. Dia tidak masuk rumahku sama sekali kecuali ketika aku sedang ada di rumah. Tidak pula aku melakukan safar kecuali dia ikut melakukan safar bersamaku.” (HR. al-Bukhari no. 4757)
Keutamaan Shafwan juga ditunjukkan oleh sikap mulia beliau ketika mempersilakan ‘Aisyah menaiki tunggangan sebagaimana telah dijelaskan.
Maksud perkataan Usaid, sesungguhnya kamu melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang munafik. Bukan maksud beliau menggolongkan Sa’d bin ‘Ubadah sebagai orang munafik yang sebenarnya (hakiki; munafik i’tiqadi).
Pembaca, kami cukupkan sampai di sini. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita menuju ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Referensi
[1] HR. al-Bukhari no. 2593 dan Muslim no. 2770.
[2] Wara’ adalah meninggalkan perkara-perkara/perbuatan-perbuatan yang dikhawatirkan mudaratnya (bahayanya) di akhirat. Ini pengertian yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v. Wallahu a’lam.
[3] HR. Muslim no. 57/6952. Dalam Shahih al-Bukhari no. 4145, ‘Urwah berkata, “Aku pernah mencela Hassan bin Tsabit di sisi ‘Aisyah (karena Hassan termasuk orang yang menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah). Namun, ‘Aisyah melarangku seraya berkata, ‘Janganlah kamu mencelanya karena ia pernah membela Rasulullah dengan syairnya. Hassan pernah meminta izin kepada Rasulullah untuk menjawab ejekan orang-orang musyrik. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Bagaimana dengan nasabku?’ Hassan menjawab, ‘Sungguh saya akan melepaskan Anda dari ejekan mereka bagai mencabut rambut dari adonan’.”
[4] HR. al-Bukhari no. 4756.
[5] Bait pertama dikeluarkan oleh al-Bukhari no. 4146, 4755, 4766, sedangkan bait kedua dan ketiga dibawakan dalam Fathul Bari, syarah hadits no. 4755 dan 4756.
[6] Karena wanita tersebut tidak menggunjing seorang pun. (Fathul Bari, syarah hadits no. 4755—4756)
[7] HR. al-Bukhari no. 4755—4756.
[8] HR. al-Bukhari no. 4753 dan 4754.
[9] Dan aman dari fitnah (-pent.).
[10] Dengan ilmu dan agamanya (-pent.).