Qonitah
Qonitah

shalat dan kewajibannya

9 tahun yang lalu
baca 10 menit
Shalat dan Kewajibannya

fikih-ibadah-16Shalat dan Kewajibannya

Al-Ustadz Utsman

Setelah melalui beberapa bahasan seputar thaharah, tiba saatnya kita mengupas bahasan lain di balik topik thaharah yang sebenarnya merupakan intinya: bahasan tentang shalat.

Makna Shalat

Secara bahasa, shalat dimaknai oleh kebanyakan ulama sebagai doa kebaikan.

Adapun dalam bahasan bab ini, shalat berarti suatu ibadah yang mengandung gerakan dan zikir khusus, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[1]

Kedudukan Shalat Fardhu

Shalat fardhu yang lima merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya), “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat/bersaksi la ilaha illallah dan Muhammad rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[2]

Allah berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا ١٠٣

“Sungguh shalat merupakan suatu ibadah yang telah diwajibkan atas kaum muslimin pada waktu tertentu.” (an-Nisa’: 103)                  

Kewajiban shalat lima waktu telah diketahui bersama oleh semua muslim. Bahkan, ahlul bid’ah sekalipun mengakui dan tidak mengingkarinya.[3]

Kepada Siapa Shalat Diwajibkan

Shalat diwajibkan atas setiap muslim yang balig dan berakal. Ketiga hal ini dinamakan syarat wajib shalat, dan menjadi syarat wajib ibadah-ibadah wajib lainnya.

Beberapa Masalah Terkait

  • Tidak sah jika seorang kafir melakukan shalat, demikian pula seorang musyrik yang kesyirikannya telah mengeluarkannya dari Islam.
  • Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Kewajiban ibadah apa pun yang ditinggalkan oleh seorang kafir asli, baik shalat, zakat, maupun puasa, tidak wajib dia ganti ketika dia sudah masuk Islam. Ini merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Sebab, ketika masih kafir, dia tidak meyakini kewajibannya. Hal ini sama, baik risalah Islam sudah sampai kepadanya maupun belum sampai.” (Majmu’ Fatawa 22/7)

Demikian pula seseorang yang murtad. Setelah masuk Islam lagi, dia tidak wajib mengganti kewajiban ibadah, termasuk shalat, yang dia tinggalkan semasa murtad.[4]

  • Tidak sah shalat yang dilakukan seseorang dalam keadaan tidak berakal, seperti orang yang mabuk sampai dengan tingkat makhmur (tidak menyadari apa yang diucapkan atau dilakukan).[5] Adapun orang yang mabuk tetapi masih bisa menyadari apa yang diucapkan dan dilakukan (diistilahkan dengan ghairu makhmur), sah shalat yang dilakukan dalam keadaan demikian meskipun dia berdosa karena mabuknya.[6]
  • Tentang orang yang pingsan sampai meninggalkan beberapa shalat, pendapat yang kuat di kalangan ulama ialah dia tidak perlu mengganti shalat yang dia tinggalkan selama pingsan. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang harus dibius untuk menjalani operasi dalam waktu yang lama dan melewati satu atau beberapa waktu shalat.

Kepada al-Lajnah ad-Dai’mah diajukan sebuah pertanyaan tentang seseorang yang tertabrak mobil sampai koma. Kondisinya sangat kritis dalam waktu yang lama. Selama itu dia tidak bisa mengingat apa pun, bahkan terlewat darinya bulan Ramadhan. Setelah itu, Allah memberinya kesembuhan sehingga dia berangsur-angsur pulih. Apakah wajib baginya mengganti shalat dan puasa yang ditinggalkannya?

Al-Lajnah ad-Da’imah menjawab, “Jika memang kenyataan seperti yang tersebut dalam soal, yakni orang tersebut hilang akal, tidak sadar sama sekali dalam waktu yang lama—termasuk bulan Ramadhan—karena pengaruh tabrakan yang dialami, tidak wajib baginya mengganti shalat dan puasa yang ditinggalkannya selama hilang akalnya. Ini menurut pendapat yang terkuat di antara dua pendapat para ulama. Yang demikian karena dia dianggap tidak mukallaf/tidak terbebani syariat selama waktu tersebut.”[7]

Dalam kesempatan lain, al-Lajnah ad-Da’imah juga ditanya tentang orang yang tertabrak mobil di bagian kakinya. Dia masuk rumah sakit selama tujuh belas hari dan tidak mengerjakan shalat. Kemudian, dia sadar dan hendak mengganti shalat.

Al-Lajnah ad-Da’imah menjawab, “Jika selama meninggalkan shalat itu dia masih berakal (dalam kondisi sadar, –ed.), dia menggantinya sesuai dengan kemampuannya, apakah shalat sambil berdiri, duduk, miring ke kanan, atau terlentang. Dia mengurutkan sejak hari pertama meninggalkan shalat dan dimulai dari shalat pertama yang ditinggalkan, lalu shalat berikutnya; kemudian shalat-shalat hari kedua, hari ketiga, dan seterusnya. Adapun jika selama meninggalkan shalat itu dia hilang akal, tidak perlu menggantinya.”[8]

  • Para ulama membedakan hukum antara orang yang gila terus-menerus dan orang gila yang kambuhan (kadang gila dan kadang sembuh). Untuk orang gila jenis kedua, ketika dalam keadaan sembuh dia tetap terkena syariat shalat.
  • Adapun orang yang tertidur, kapan pun dia terbangun, wajib baginya melakukan shalat-shalat yang telah ditinggalkan selama tidur. Demikian pula orang yang terlupa dari suatu shalat. Dalilnya adalah hadits (artinya), “Barang siapa tertidur atau terlupa dari suatu shalat, hendaklah dia mengerjakan shalat ketika ingat.” ( al-Bukhari dan Muslim)[9]

Peringatan: Tidak boleh seseorang menyengaja begadang sampai larut malam—walaupun untuk belajar dan semisalnya—jika dia menduga bahwa dengan begadang itu akan terlewat darinya shalat subuh pada waktunya.

  • Jika seseorang lupa belum mengerjakan shalat subuh tetapi mengerjakan shalat-shalat yang lainnya, termasuk shalat isya, kemudian ingat bahwa dia belum mengerjakan shalat subuh, dalam hal ini shalat zhuhur, asar, maghrib, dan isya yang dia kerjakan sah. Cukup baginya mengerjakan shalat subuh yang terlupakan, tidak perlu mengulang shalat-shalat lainnya.[10]
  • Apabila seseorang lupa atau tertidur dari beberapa shalat sekaligus, dia wajib mengerjakannya dengan bersegera secara berurutan dari shalat yang paling awal. Seandainya dia menunda sedikit waktunya, juga diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan bahwa dalam suatu safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tertidur dari shalat subuh. Mereka baru terjaga ketika matahari sudah terbit. Ketika itu, beliau tidak langsung melakukan shalat subuh. Beliau melanjutkan perjalanan sebentar, baru kemudian singgah untuk menegakkan shalat subuh ( al-Bukhari dan Muslim).
  • Shalat anak kecil yang sudah mumayyiz sah dan dia mendapat pahala walaupun belum balig. Kalau dia belum mumayyiz, tidak sah shalat dan ibadah lain yang dia lakukan.
  • Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan tamyiz atau kapan seorang anak dikatakan mumayyiz. Sebagian ulama membatasi tamyiz dengan usia (banyak ulama berpendapat bahwa usia tamyiz adalah tujuh tahun). Sebagian ulama yang lain membatasinya dengan sifat, yaitu pemahaman yang dimiliki oleh seorang anak, dan tidak membatasinya dengan usia tertentu.[11] Pemahaman yang dimaksud di sini misalnya anak kecil itu sudah bisa memahami pembicaraan orang lain, sudah mampu menjawab pertanyaan dengan baik, dan sebagainya.[12]
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahlah anakanak kalian untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka ketika berada di tempat tidur.[13]

Hadits ini memerintah kita untuk menyuruh anak mengerjakan shalat sejak kecil. Bahkan, kita diperbolehkan memukul mereka dengan pukulan yang bersifat mendidik, bukan pukulan yang menyakiti, kalau mereka meninggalkan shalat ketika sudah berusia sepuluh tahun.

Setiap orang yang memiliki kuasa/wewenang atas anak kecil tersebut berhak menyuruhnya shalat, baik ayah, kakak, paman, maupun ibunya.[14]

Faedah: Yang dimaksud dengan usia tujuh tahun ketika anak mulai diperintah untuk shalat adalah ketika dia sudah genap tujuh tahun dan masuk tahun kedelapan, bukan ketika genap enam tahun dan masuk tahun ketujuh.[15]

Hukum Meninggalkan Shalat

Orang yang meninggalkan shalat fardhu karena mengingkari kewajibannya berarti kafir, dengan kesepakatan para ulama.

Adapun jika meninggalkannya karena malas padahal dia meyakini kewajibannya, dalam hal ini ada perbedaan pendapat yang sangat kuat di kalangan ulama apakah dia kafir atau tidak. Masing-masing memiliki sisi-sisi pendalilan yang kuat.[16] Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkannya karena malas tidak kafir adalah hadits,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ تَعَالَى، مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلَّاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ، كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Shalat lima waktu yang telah diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, barang siapa memperbagus wudhunya, mengerjakan shalat tersebut pada waktunya, dan menyempurnakan rukuk dan sujudnya, dia berhak mendapatkan janji Allah untuk mengampuninya. Barang siapa tidak melakukannya, dia tidak berhak mendapatkan janji Allah. Jika Allah mau, akan mengampuninya, dan jika Dia berkehendak lain, akan mengazabnya.”[17]

Wallahu a’lam.

Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa udzur syar’i kemudian bertobat, apa yang harus dia lakukan? Perlukah dia mengganti seluruh shalat yang ditinggalkannya tersebut?

Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah dia wajib bertobat dengan benar. Namun, tidak disyariatkan baginya mengganti shalat yang dia tinggalkan dengan sengaja tanpa udzur syar’i tersebut.[18]

[1] Asy-Syarhul Mumti’.

[2] Demikian riwayat yang disepakati al-Bukhari dan Muslim, dengan mendahulukan penyebutan haji sebelum puasa Ramadhan. Adapun mendahulukan puasa Ramadhan sebelum haji adalah riwayat Muslim saja.

[3] Asy-Syarhul Mumti’.

[4] Ini pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Fatawa libni Taimiyah 22/46 dan setelahnya.

[5] Syaikhul Islam menukil kesepakatan dalam masalah ini sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa 22/6.

[6] Silakan merujuk ke Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 12082 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, dan al-Ghudayyan rahimahumullah. Dalam fatwa ini disebutkan bahwa shalat orang yang makhmur tidak sah dan dia harus menggantinya.

[7] Fatwa no. 2883, ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, al-Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud rahimahumullah.

[8] Fatwa no. 2259 dan ditanda tangani oleh Ibnu Baz dan al Ghudayyan rahimahumallah

[9] Muttafaqun ‘alaih dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[10] Silakan merujuk ke Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 8972 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, al-Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud rahimahumullah.

[11] Bisa dirujuk ke Fathul Bari li Ibni Hajar pada penjelasan beliau tentang “Bab Kapan Teranggap Sah Mendengarnya Seorang Anak Kecil terhadap Suatu Hadits”. Bisa juga dirujuk ke an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibni Shalah li az-Zarkasyi.

[12] Al-Qawa’id wal Fawa’id al-Ushuliyyah karya Ibnu Lahham al-Ba’li al-Hanbali rahimahullah.

[13] HR. Abu Dawud dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani menilainya hasan ataupun shahih dalam berbagai kitab beliau, seperti al- Irwa’.

[14] Asy-Syarhul Mumti’.

[15] Silakan merujuk ke Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 5133, yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, al-Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud rahimahumullah. Anda juga bisa merujuk ke asy-Syarhul Mumti’.

[16] Terlepas dari mana pendapat yang lebih kuat di antara kedua pendapat tersebut, jika di suatu negeri telah tegak hukum syar’i, orang yang meninggalkan shalat karena malas tetap diancam bunuh. Menurut pendapat yang menyatakan bahwa orang itu kafir, dia dibunuh karena murtad. Adapun menurut pendapat yang menyatakan bahwa orang tersebut belum kafir, dia dibunuh sebagai penegakan hukum had. Syaikhul Islam berkata, “Orang yang tidak mau shalat sehingga dibunuh, pada dasarnya dia dalam batinnya tidak mengakui wajibnya shalat.” (Majmu’ Fatawa 22/48—49)

[17] HR. Abu Dawud dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh al-Wadi’i menyatakan hadits ini shahih.

[18] Inilah pendapat Ibnu Hazm, Syaikhul Islam, Ibnu Rajab, dan sejumlah muhaqqiq pada zaman ini rahimahumullah. Di antara dalil/alasan pendapat ini adalah kaidah bahwa suatu ibadah yang memiliki waktu tertentu kemudian sengaja ditinggalkan sampai habis waktunya, tidak bisa dikerjakan di luar waktu tersebut.