Al-Ustadz Utsman
Setelah melalui beberapa bahasan seputar thaharah, tiba saatnya kita mengupas bahasan lain di balik topik thaharah yang sebenarnya merupakan intinya: bahasan tentang shalat.
Makna Shalat
Secara bahasa, shalat dimaknai oleh kebanyakan ulama sebagai doa kebaikan.
Adapun dalam bahasan bab ini, shalat berarti suatu ibadah yang mengandung gerakan dan zikir khusus, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[1]
Kedudukan Shalat Fardhu
Shalat fardhu yang lima merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya), “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat/bersaksi la ilaha illallah dan Muhammad rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[2]
Allah berfirman,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا ١٠٣
“Sungguh shalat merupakan suatu ibadah yang telah diwajibkan atas kaum muslimin pada waktu tertentu.” (an-Nisa’: 103)
Kewajiban shalat lima waktu telah diketahui bersama oleh semua muslim. Bahkan, ahlul bid’ah sekalipun mengakui dan tidak mengingkarinya.[3]
Kepada Siapa Shalat Diwajibkan
Shalat diwajibkan atas setiap muslim yang balig dan berakal. Ketiga hal ini dinamakan syarat wajib shalat, dan menjadi syarat wajib ibadah-ibadah wajib lainnya.
Beberapa Masalah Terkait
Demikian pula seseorang yang murtad. Setelah masuk Islam lagi, dia tidak wajib mengganti kewajiban ibadah, termasuk shalat, yang dia tinggalkan semasa murtad.[4]
Kepada al-Lajnah ad-Dai’mah diajukan sebuah pertanyaan tentang seseorang yang tertabrak mobil sampai koma. Kondisinya sangat kritis dalam waktu yang lama. Selama itu dia tidak bisa mengingat apa pun, bahkan terlewat darinya bulan Ramadhan. Setelah itu, Allah memberinya kesembuhan sehingga dia berangsur-angsur pulih. Apakah wajib baginya mengganti shalat dan puasa yang ditinggalkannya?
Al-Lajnah ad-Da’imah menjawab, “Jika memang kenyataan seperti yang tersebut dalam soal, yakni orang tersebut hilang akal, tidak sadar sama sekali dalam waktu yang lama—termasuk bulan Ramadhan—karena pengaruh tabrakan yang dialami, tidak wajib baginya mengganti shalat dan puasa yang ditinggalkannya selama hilang akalnya. Ini menurut pendapat yang terkuat di antara dua pendapat para ulama. Yang demikian karena dia dianggap tidak mukallaf/tidak terbebani syariat selama waktu tersebut.”[7]
Dalam kesempatan lain, al-Lajnah ad-Da’imah juga ditanya tentang orang yang tertabrak mobil di bagian kakinya. Dia masuk rumah sakit selama tujuh belas hari dan tidak mengerjakan shalat. Kemudian, dia sadar dan hendak mengganti shalat.
Al-Lajnah ad-Da’imah menjawab, “Jika selama meninggalkan shalat itu dia masih berakal (dalam kondisi sadar, –ed.), dia menggantinya sesuai dengan kemampuannya, apakah shalat sambil berdiri, duduk, miring ke kanan, atau terlentang. Dia mengurutkan sejak hari pertama meninggalkan shalat dan dimulai dari shalat pertama yang ditinggalkan, lalu shalat berikutnya; kemudian shalat-shalat hari kedua, hari ketiga, dan seterusnya. Adapun jika selama meninggalkan shalat itu dia hilang akal, tidak perlu menggantinya.”[8]
Peringatan: Tidak boleh seseorang menyengaja begadang sampai larut malam—walaupun untuk belajar dan semisalnya—jika dia menduga bahwa dengan begadang itu akan terlewat darinya shalat subuh pada waktunya.
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak–anak kalian untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka ketika berada di tempat tidur.”[13]
Hadits ini memerintah kita untuk menyuruh anak mengerjakan shalat sejak kecil. Bahkan, kita diperbolehkan memukul mereka dengan pukulan yang bersifat mendidik, bukan pukulan yang menyakiti, kalau mereka meninggalkan shalat ketika sudah berusia sepuluh tahun.
Setiap orang yang memiliki kuasa/wewenang atas anak kecil tersebut berhak menyuruhnya shalat, baik ayah, kakak, paman, maupun ibunya.[14]
Faedah: Yang dimaksud dengan usia tujuh tahun ketika anak mulai diperintah untuk shalat adalah ketika dia sudah genap tujuh tahun dan masuk tahun kedelapan, bukan ketika genap enam tahun dan masuk tahun ketujuh.[15]
Hukum Meninggalkan Shalat
Orang yang meninggalkan shalat fardhu karena mengingkari kewajibannya berarti kafir, dengan kesepakatan para ulama.
Adapun jika meninggalkannya karena malas padahal dia meyakini kewajibannya, dalam hal ini ada perbedaan pendapat yang sangat kuat di kalangan ulama apakah dia kafir atau tidak. Masing-masing memiliki sisi-sisi pendalilan yang kuat.[16] Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkannya karena malas tidak kafir adalah hadits,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ تَعَالَى، مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلَّاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ، كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Shalat lima waktu yang telah diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, barang siapa memperbagus wudhunya, mengerjakan shalat tersebut pada waktunya, dan menyempurnakan rukuk dan sujudnya, dia berhak mendapatkan janji Allah untuk mengampuninya. Barang siapa tidak melakukannya, dia tidak berhak mendapatkan janji Allah. Jika Allah mau, akan mengampuninya, dan jika Dia berkehendak lain, akan mengazabnya.”[17]
Wallahu a’lam.
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa udzur syar’i kemudian bertobat, apa yang harus dia lakukan? Perlukah dia mengganti seluruh shalat yang ditinggalkannya tersebut?
Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah dia wajib bertobat dengan benar. Namun, tidak disyariatkan baginya mengganti shalat yang dia tinggalkan dengan sengaja tanpa udzur syar’i tersebut.[18]
[1] Asy-Syarhul Mumti’.
[2] Demikian riwayat yang disepakati al-Bukhari dan Muslim, dengan mendahulukan penyebutan haji sebelum puasa Ramadhan. Adapun mendahulukan puasa Ramadhan sebelum haji adalah riwayat Muslim saja.
[3] Asy-Syarhul Mumti’.
[4] Ini pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Fatawa libni Taimiyah 22/46 dan setelahnya.
[5] Syaikhul Islam menukil kesepakatan dalam masalah ini sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa 22/6.
[6] Silakan merujuk ke Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 12082 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, dan al-Ghudayyan rahimahumullah. Dalam fatwa ini disebutkan bahwa shalat orang yang makhmur tidak sah dan dia harus menggantinya.
[7] Fatwa no. 2883, ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, al-Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud rahimahumullah.
[8] Fatwa no. 2259 dan ditanda tangani oleh Ibnu Baz dan al Ghudayyan rahimahumallah
[9] Muttafaqun ‘alaih dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[10] Silakan merujuk ke Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 8972 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, al-Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud rahimahumullah.
[11] Bisa dirujuk ke Fathul Bari li Ibni Hajar pada penjelasan beliau tentang “Bab Kapan Teranggap Sah Mendengarnya Seorang Anak Kecil terhadap Suatu Hadits”. Bisa juga dirujuk ke an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibni Shalah li az-Zarkasyi.
[12] Al-Qawa’id wal Fawa’id al-Ushuliyyah karya Ibnu Lahham al-Ba’li al-Hanbali rahimahullah.
[13] HR. Abu Dawud dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani menilainya hasan ataupun shahih dalam berbagai kitab beliau, seperti al- Irwa’.
[14] Asy-Syarhul Mumti’.
[15] Silakan merujuk ke Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 5133, yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, al-Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud rahimahumullah. Anda juga bisa merujuk ke asy-Syarhul Mumti’.
[16] Terlepas dari mana pendapat yang lebih kuat di antara kedua pendapat tersebut, jika di suatu negeri telah tegak hukum syar’i, orang yang meninggalkan shalat karena malas tetap diancam bunuh. Menurut pendapat yang menyatakan bahwa orang itu kafir, dia dibunuh karena murtad. Adapun menurut pendapat yang menyatakan bahwa orang tersebut belum kafir, dia dibunuh sebagai penegakan hukum had. Syaikhul Islam berkata, “Orang yang tidak mau shalat sehingga dibunuh, pada dasarnya dia dalam batinnya tidak mengakui wajibnya shalat.” (Majmu’ Fatawa 22/48—49)
[17] HR. Abu Dawud dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh al-Wadi’i menyatakan hadits ini shahih.
[18] Inilah pendapat Ibnu Hazm, Syaikhul Islam, Ibnu Rajab, dan sejumlah muhaqqiq pada zaman ini rahimahumullah. Di antara dalil/alasan pendapat ini adalah kaidah bahwa suatu ibadah yang memiliki waktu tertentu kemudian sengaja ditinggalkan sampai habis waktunya, tidak bisa dikerjakan di luar waktu tersebut.