Qonitah
Qonitah

shafiyyah bintu huyai bin akhthab

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab

figur-mulia-08Al-Ustadzah Hikmah

Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab – Cahaya Taufik Ilahi di Hati Sang Putri

Bermula dari Tawanan Perang Khaibar

Khaibar adalah sebuah kota yang memiliki benteng-benteng dan perkebunan-perkebunan luas lagi subur. Kota inimembentang jauh antara Madinah hingga ke arah negeri Syam.

Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam selesai mengadakan Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 H, Allah menurunkan surat al-Fath di antara Mekah dan Madinah. Di dalam surat tersebut Allah menjelaskan bahwa Dia akan memberikan Khaibar kepada Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam, yaitu dalam firman-Nya,

وَعَدَكُمُٱللَّهُمَغَانِمَكَثِيرَةٗتَأۡخُذُونَهَا

“Allah menjanjikan kepadamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil.”(al-Fath: 20)

Yang dimaksud adalah Khaibar. Di sanalah tempat bercokolnya Yahudi.

Pada bulan Muharram tahun 7 H, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berhasil mengepung mereka selama 13 sampai 19 hari. Kaum Yahudi terus bersembunyi di dalam benteng mereka. Namun, sebenarnya mereka mengalami penderitaan yang luar biasa, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam,

إِنَّهُمْأَصَابَهُمْمَخْمَصَةٌشَدِيْدَةٌ

“Sesungguhnya mereka tertimpa penderitaan yang luar biasa.” (HR. al-Bukhari,“Kitab al-Maghazi”)

Akhirnya, Yahudi mengajak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berdamai. Pemimpin mereka, dua anak Abul Huqaiq, siap menyerahkan seluruh tanah Khaibar dan harta kekayaan mereka, termasuk perbendaharaan emas dan perak, asalkan mereka dibiarkan keluar dari Khaibar bersama para wanita dan keturunan mereka walau hanya dengan baju yang melekat di badan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun setuju.

Namun, ternyata mereka berkhianat. Mereka menyembunyikan tempat penyimpanan harta kekayaan mereka. Akhirnya, tempat penyimpanan itu—yang berisi harta dan perhiasan milik Huyai bin Akhthab yang dahulu dia bawa ke Khaibar—ditemukan dalam keadaan ditimbun di dalam tanah. Karena pengkhianatan ini, terbunuhlah Kinanah bin Rabi’ bin Abil Huqaiq, pemimpin Yahudi Khaibar.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun bertekad untuk menyerang mereka. Pada suatu pagi seusai Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan shalat subuh di daerah dekat Khaibar, ketika suasana masih gelap, beliau melakukan serangan mendadak. Akibatnya, berhamburanlah orang-orang Yahudi di jalan-jalan dan di gang-gang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyerang mereka yang melakukan perlawanan dan menawan kaum wanita beserta keturunanmereka (anak-anak).

Dari sejumlah tawanan itu ada figur kita kali ini. Allah Yang Mahakuasa telah menyelamatkan beliau dari kekufuran dan berkehendak mengangkat derajat beliau menjadi seorang ummul mukminin.

Beliau adalah Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab bin Sa’nah bin Tsa’labah bin ‘Ubaid bin Ka’b.[1] Beliau dari keturunan Nabi Harun bin ‘Imran, saudara lelaki Nabi Musa shallallahu ‘alaihima wasallam.

Ayah beliau, Huyai bin Akhthab, adalah pemimpin Yahudi Bani an-Nadhir. Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengusirnya, dia lari ke Khaibar. Di sana Huyai bertemu dengan pemimpin Yahudi Khaibar, yaitu Abul Huqaiq. Huyai pun menikahkan putri kesayangannya, Shafiyyah, dengan putra mahkota Yahudi Khaibar, Kinanah bin Rabi’ bin Abil Huqaiq. Belum lama berselang dari pernikahan itu, Kinanah tewas pada peristiwa pengkhianatan perjanjian damai antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan Yahudi Khaibar, sebagaimana telah dijelaskan di atas.Ibu Shafiyyah bernama Barrah bintu Syamuel dari Bani Quraizhah.

Keterangan di atas bisa dilihat dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (9/497,hadits no. 4211).

Pembaca, dari penjelasan di atas tahulah kita bahwa Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab adalah wanita mulia dan terhormat di tengah-tengah Yahudi, baik Bani an-Nadhir, Bani Quraizhah, maupun kalangan Yahudi Khaibar.

 

Tawanan Pilihan Dihyah al-Kalbi radhiyallahu ‘anhu

Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, sahabat yang terkenal dengan ketampanan dan kewibawaannya, datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam guna meminta salah seorang dari tawanan Perang Khaibar. Kata Dihyah, “Wahai Rasulullah, berilah saya seorang budak wanita dari tawanan Khaibar.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pun menyambutnya dan bersabda, “Pergidan ambillah seorang budak wanita dari mereka.” Dihyah pun memilih Shafiyyah bintu Huyai.

Tidak lama kemudian, datanglah seorang sahabat menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, “Wahai Rasulullah, Anda berikan Shafiyyah bintu Huyai kepada Dihyah, padahal Shafiyyah adalah wanita mulia lagi terhormat di kalangan Bani Quraizhah dan Bani an-Nadhir? Shafiyyah itu hanya pantas untuk Anda.”

Di sisi lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga telah mendengar berita tentang kecantikan Shafiyyah.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Panggillah Dihyah agar membawa Shafiyyah (ke sini)!

Dihyah radhiyallahu ‘anhupun datang membawa Shafiyyah ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah melihat Shafiyyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada Dihyah, “Ambillah budak wanita dari tawanan Khaibar itu selain Shafiyyah.”

 

Masuk Islam, Dimerdekakan, dan Dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengajak Shafiyyah agar mau masuk Islam. Shafiyyah pun menyambut ajakan tersebut dan masuk Islam. Akhirnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memerdekakan Shafiyyah lalu menikahinya dengan mahar berupa kemerdekaannya dari perbudakan tersebut.

Setelah kemenangan atas Khaibar diraih oleh kaum muslimin, mereka pun beranjak pulang dari Khaibar ke Madinah. Di tengah-tengah perjalanan, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tiba di sebuah daerah yang bernama Saddush Shahba, Shafiyyah selesai dari masa ‘iddahnya (masa menunggu). Pada suatu malam, Ummu Sulaim merias Shafiyyah dan mempersilakan beliau masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selama 3 hari 3 malam, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tinggal bersama Shafiyyah sebagaimana yang biasa beliau lakukan di awal pernikahan beliau dengan janda.

 

Walimah Pernikahan Rasulullah dengan Shafiyyah

Dalam pernikahan tersebut, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga mengadakan walimah pernikahan walausederhana. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhumengisahkan, “Pada walimah tersebut tidak ada khabz (makanan pokok orang Arab, terbuat dari gandum) dan tidak ada daging. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam hanya memerintah Bilal bin Rabah agar mengambil sebuah wadah kecilberisi campuran kurma, mentega, sawiq (tepung gandum dan sebagainya), serta keju. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepadaku,

أَذِّنْمَنْحَوْلَكَ

“Beritahu para sahabat yang ada di sekitarmu (agar menghadiri walimah ini)!”

 

Shafiyyah: Ummul Mukminin, Bukan Budak

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat melanjutkan perjalanan ke Madinah. Sebagian sahabat saling bertanya, “Apakah Shafiyyah adalah salah seorang ummahatul mukminin atau sekadar budak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maksudnya, mereka bertanya apakah Shafiyyah dinikahi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sehingga menjadi ummul mukminin, atau tidak dinikahi sehingga hanya sebagai budak wanita (jariyah) beliau.

Para sahabat lain menjawab, “Jika Nabi memakaikan hijab kepada Shafiyyah, berarti dia ummul mukminin. Jika Nabi tidak menghijabinya, berarti dia hanya jariyah beliau.” Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam hendak berangkat, beliau memboncengkan Shafiyyah dan memasang hijab untuknya.

Hijab adalah kain penutup seluruh aurat/anggota tubuh wanita, atau kain yang dijadikan pembatas pandangan antara wanita dan pria sehingga wanita tidak terlihat oleh pria.

 

Bekas Tamparan Kinanah

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melihat warna kehijau-hijauan di wajah Shafiyyah. Beliau pun bertanya, “Apa ini?”

Shafiyyah pun menceritakan sebabnya, “Wahai Rasulullah, saya pernah bermimpi seolah-olah bulan menghilang dari tempatnya lalu jatuh di pangkuan saya. Sungguh, demi Allah, pada saat itu, Anda sama sekali tidak terpikirkan oleh saya sedikit pun. Kemudian, saya menceritakan mimpi tersebut kepada suami saya (Kinanah). Lantas ia menampar wajah saya sambil membentak, ‘Kamu mengangankan raja yang berada di Madinah itu, ya?!’.” (ar-Rakhiq al-Makhtum)

 

Wafatnya Beliau

Di antara para ulama ada yang mengatakan bahwa Shafiyyah wafat pada tahun 36 H atau sebelum itu. Namun, yang benar, beliau wafat pada tahun 50 H atau setelahnya, pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Sebab, seorang tabi’in yang bernama ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib menyatakan dengan tegas (HR. al-Bukhari no. 2035) bahwa beliau mendengar hadits secara langsung dari Shafiyyah radhiyallahu ‘anha. ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib baru lahir pada tahun 36 H atau 40 H atau sekitar itu. (Shahih al-Bukhari352035? beserta Fathul Bari)

 

Sumber Artikel:

  1. Hadits-hadits riwayat al-Imam al-Bukhari no. 4200, 4201, dan 4211—4213 beserta Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahumallah.
  2. Ar-Rakhiq al-Makhtum.
  3. Taqrib at-Tahdzib dan Tahdzib at-Tahdzib.
  4. Zadul Ma’ad jilid 1, “Fashl: Fi Azwajihi n”.

 

[1]Dalam Tahdzibut Tahdzib disebutkan, “Shaffiyyah bintu Huyai bin Akhthab bin Sa’nah bin Tsa’labah bin ‘Ubaid bin Ka’b.” Adapun dalam Fathul Bari syarah hadits no. 4211 disebutkan, “Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab bin Sa’yah bin ‘Amir bin ‘Ubaid bin Ka’b.”