Qonitah
Qonitah

sebab-sebab perpecahan umat

10 tahun yang lalu
baca 11 menit
Sebab-sebab Perpecahan Umat

titian-sunnah-10Al-Ustadz Abu Hafs Umar

Sesungguhnya musuh-musuh Islam, baik dari kalangan setan maupun orang-orang kafir, sangat bersemangat dalam memecah belah persatuan umat Islam. Sebab, dengan perpecahan, umat ini akan melemah dan mudah dikuasai oleh musuh-musuhnya. Seorang mukmin yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya tentu mendambakan persatuan umat dan tidak menginginkan perpecahan. Perpecahan dalam menjalankan agama memang sangat dicela dalam ajaran Islam.

Perhatian Islam terhadap Persatuan Umat

Di dalam banyak ayat, Allah memerintah segenap hamba-Nya untuk bersatu, dan melarang segala bentuk perpecahan.

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

“Dan berpegangteguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Bukan kepada umat ini saja, perintah untuk bersatu dalam mengamalkan agama ternyata sudah diwasiatkan oleh Allah kepada umat-umat terdahulu juga, yaitu umat Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi ‘Isa ‘alaihimussalam. Hal ini menandakan betapa besarnya arti persatuan umat di sisi Allah. Allah berfirman,

۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ

“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepada kalian agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu tegakkanlah oleh kalian agama ini dan janganlah kalian bercerai-berai di dalamnya.” (asySyura: 13)

Al-Imam al-Baghawi berkata, “Allah mengutus seluruh nabi agar mereka melaksanakan agama ini, berkasih sayang, bersatu, dan meninggalkan perpecahan dan perselisihan.”

Demikianlah besarnya perhatian Islam terhadap persatuan umat. Namun, sayang, kita dapati realitas bahwa dalam melaksanakan agama Islam, sesama muslim berpecah belah menjadi banyak golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. Kelompok yang ini membanggakan pendidikannya, kelompok yang itu membanggakan perekonomiannya, kelompok yang lain membanggakan banyaknya pesantrennya, dan seterusnya.

Bukankah semua mukmin itu mengetahui bahwa Rabb mereka adalah Rabb yang satu, yakni Allah, rasul mereka satu, yakni Muhammad, dan kitab mereka satu, yakni al-Qur’an? Namun, mengapa mereka berpecah menjadi banyak golongan? Sungguh, ini kenyataan yang memprihatinkan.

Pembaca Qonitah yang semoga dirahmati Allah, memang perpecahan umat merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah. Dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits (yang artinya), “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok; 1 kelompok di surga, sedangkan 72 kelompok di neraka.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapa mereka (yang satu kelompok)?” Beliau menjawab, “al-Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh al-Albani rahimahullah)

Di Antara Sebab Perpecahan

Kiranya, apakah yang menyebabkan terjadinya perpecahan pada umat ini?
Perlu kita mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakangi fenomena perpecahan umat ini dalam rangka menjauhinya dan mengingatkan orang lain agar tidak terjatuh padanya. Seorang penyair Arab mengatakan,

Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek,

tetapi untuk menjaga diri agar tidak terjatuh padanya.

Barang siapa tidak mengenali kejelekan,

dia akan terjatuh padanya.

Berikut di antara sebab perpecahan umat yang mesti dijauhi setiap muslim.

  1. Sikap fanatik (ta’ashshub) terhadap mazhab, organisasi, atau golongan tertentu.

Ketika sebagian mukminin memiliki sikap fanatik buta, dia tidak lagi bersikap objektif dalam menilai hakikat kebenaran. Di matanya, kebenaran hanyalah yang sesuai dengan mazhab, kelompok, atau golongannya, sedangkan yang menyelisihi golongan atau mazhabnya adalah salah. Al-Kitab dan as-Sunnah tidak lagi menjadi ukuran dalam menilai kebenaran.

Dia pun siap membela pendapat mazhab, kelompok, atau golongannya tersebut, sekalipun menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Sampai-sampai, di antara mereka ada yang tidak mau bermakmum kepada orang yang tidak semazhab dengannya. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengisahkan, “Dahulu di Masjidil Haram ada empat mihrab. Setiap pengikut mazhab mengerjakan shalat berjamaah bersama orang (imam) yang semazhab dengan mereka di sebuah sisi Ka’bah. Kemudian, Allah membangkitkan orang yang mengumpulkan mereka di belakang seorang imam shalat, dan hilanglah pemandangan yang jelek ini. Segala pujian hanya milik Allah.” (Syarh al-Ushul as-Sittah hlm. 27)

Semestinya, seorang muslim hanya berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, dalam rangka mengamalkan sabda Nabi,

إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا تَمَسَكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian (sesuatu) yang selama kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Malik)

Demi mencegah perpecahan, seorang muslim harus mengutamakan al-Qur’an dan as-Sunnah di atas segala perkataan. Dia harus siap meninggalkan segala perkataan dan pendapat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, walaupun pendapat mazhab atau organisasinya.

Allah berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ

“Hanya saja ucapan orang-orang mukmin apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka hanya berkata, ‘Kami mendengar dan kami taat’.” (an-Nur: 51)

Allah juga berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (alHujurat: 1)

  1. Kebid’ahan dalam beragama.

Sebagai agama yang telah sempurna, tentu Islam tidak membutuhkan perkara yang diada-adakan oleh manusia (bid’ah). Siapa saja yang mengada-adakan suatu bid’ah dalam syariat ini, pada hakikatnya dia telah membuka pintu perpecahan dalam agama. Sebab, dengan bid’ah, umat akan beramal dengan beragam model syariat buatan manusia sehingga terjadilah perpecahan umat.

Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam hadits dari Ibnu Mas’ud z, ia berkata, “Rasulullah membuat sebuah garis untuk kami lalu bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Kemudian, beliau membuat garis-garis (pendek) ke arah kanan dan kiri garis itu, lalu bersabda, Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru kepadanya.’ Beliau membaca firman Allah,

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ

“Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang menyimpang), karena kalian akan terpecah dari jalan-Nya.” (al-An’am: 153) (HR. Ahmad)

Mujahid, salah seorang ulama ahli tafsir terkemuka, berkata, “Jalan-jalan yang menyimpang itu adalah bid’ah dan syubhat (kerancuan dalam beragama).”

Seolah-olah Allah menyatakan, janganlah kalian mengikuti bid’ah dan syubhat karena akan memecah belah kalian dari jalan-Nya. Demikianlah realitasnya, tatkala di antara umat ini ada yang melakukan kebid’ahan, terjadilah perpecahan demi perpecahan di antara mereka. Mereka tidak akan bersatu selain dengan meninggalkan kebid’ahan dan kembali mengamalkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

  1. Taklid buta (ikut-ikutan tanpa ilmu) terhadap tokoh atau pemimpin tertentu.

Sebagian muslimin mengukur kebenaran dengan standar tokoh-tokoh mereka. Terkadang, apa saja yang diajarkan oleh tokoh tersebut mereka ambil sebagai suatu kebenaran mutlak, sekalipun menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka tidak lagi menimbang pendapat tokoh tersebut dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah realitas taklid yang terdapat pada sebagian muslimin. Akibatnya, umat pun semakin terpuruk dalam perpecahan.

Sejatinya, di dalam al-Qur’an, Allah telah melarang setiap mukmin dari taklid. Allah berfirman,

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦

 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (alIsra’: 36)

Para imam empat mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad rahmatullah ‘alaihim, juga telah melarang para pengikut mereka untuk bertaklid kepada mereka. Mereka juga mengingatkan pengikut mereka, apabila ada pendapat mereka yang menyelisihi sunnah Rasul, hendaklah dia mengikuti sunnah Rasul dan meninggalkan pendapat mazhabnya.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Apabila kalian mendapati pada kitabku ini hal-hal yang menyelisihi sunnah Rasulullah, ambillah sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah ucapanku.” Para imam mazhab yang lain juga mengucapkan kalimat serupa.

Kekaguman seseorang terhadap pimpinannya tidak boleh membawanya untuk mengutamakan pimpinan tersebut daripada al-haq. Ibnul Qayyim berkata, “Syaikhul Islam itu sangat kami cintai, tetapi al-haq lebih kami cintai daripada beliau. Ucapan setiap orang selain alMashum (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam) itu bisa diambil dan bisa ditinggalkan.” Inilah sikap adil yang harus dimiliki setiap mukmin: mengutamakan alhaq di atas segala-galanya.

 

  1. Paham hizbiyah yang membolehkan bergolong-golong dalam beragama.

Menurut paham ini, setiap golongan harus menoleransi perbedaan dengan golongan lainnya, sekalipun dalam urusan yang menyelisihi syariat. Pemikiran ini juga diusung oleh golongan Islam pluralis yang membolehkan segala aliran, bahkan menoleransi agama yang kufur sekalipun. Akhirnya, paham hizbiyah ini menyuburkan berbagai kelompok Islam dengan berbagai penyimpangan dari ajaran Islam. Sementara itu, Rasulullah telah menjelaskan kepada kita ajaran yang satu, yang tidak berbilang. Demikian pula dalam banyak ayat, Allah melarang kita semua dari bergolong-golong dalam beragama. Allah berfirman,

وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢

Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka dalam keadaan bergolong-golong. Setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka.(ar-Rum: 31—32)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Perselisihan itu dihilangkan dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Maka dari itu, jika Anda dan saya berselisih, kita wajib kembali kepada al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman,

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ

‘Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah (alQuran) dan RasulNya (asSunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (anNisa’: 59)

Adapun ucapan sebagian orang, ‘Tiap orang dibiarkan dengan mazhabnya, dengan akidahnya…. Tiap orang bebas dengan pendapatnya’—dalam rangka menuntut kebebasan berakidah dan kebebasan berbicara, ini adalah kebatilan yang dilarang oleh Allah. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman,

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

‘Dan berpegangteguhlah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.’ (Ali Imran: 103)—selesai ucapan beliau hafizhahullah.

Paham hizbiyah ini menjadikan umat semakin centang-perenang dalam perpecahan. Oleh karena itu, setiap mukmin wajib mengingkari segala bentuk perpecahan dalam agama, dan wajib menyeru kepada persatuan di bawah Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

  1. Meninggalkan sebagian perintah Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman,

وَمِنَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّا نَصَٰرَىٰٓ أَخَذۡنَا مِيثَٰقَهُمۡ فَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦ فَأَغۡرَيۡنَا بَيۡنَهُمُ ٱلۡعَدَاوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ

“Dan di antara orang-orang yang menyatakan, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani’, ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka dari itu, Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. (al-Maidah: 14)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Allah mengabarkan bahwa perbuatan mereka melupakan sebagian apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, yakni tidak mengamalkan apa yang telah diperintahkan kepada mereka, merupakan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian di antara mereka.” (Majmu’ Fatawa 1/14—15)

Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan dalam Sunnah beliau bahwa meninggalkan sebagian urusan yang dianggap enteng oleh sebagian muslimin akan berpengaruh jelek terhadap ukhuwah dan persatuan kaum muslimin. Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

اِسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

‘Luruskanlah shaf kalian dan janganlah kalian berselisih (bengkok shaf kalian), sehingga hati kalian akan ikut berselisih karenanya.’ (HR. Muslim)

Dalam Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi berkata, ‘Maksudnya, Allah akan menanamkan di antara kalian permusuhan, kebencian, dan perselisihan hati’.” (al-Ibanah hlm. 59)

Pembaca Qonitah yang semoga dirahmati Allah, inilah salah satu akibat buruk meninggalkan sebagian sunnah Rasulullah, yaitu terjadi perselisihan dan perpecahan dalam umat ini. Kalau meninggalkan perintah meluruskan shaf shalat saja bisa berakibat perpecahan, bagaimana halnya dengan meninggalkan perintah yang lebih besar? Maka dari itu, setiap muslim hendaknya berpegang teguh pada Sunnah Rasul sebagai upaya menjaga persatuan kaum muslimin.

Demikianlah pembahasan ringkas tentang sebab-sebab perpecahan umat. Tentu masih ada sebab-sebab lain yang dijelaskan oleh para ulama, tetapi tidak mungkin disebutkan di sini karena keterbatasan ruang. Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita dan kaum muslimin, sehingga kita terselamatkan dari berbagai fitnah perpecahan. Sesungguhnya Dia Mahamampu untuk itu semua.

Wallahu a’lam bish shawab.