Qonitah
Qonitah

ruang konsultasi qonitah edisi 03

10 tahun yang lalu
baca 5 menit
Ruang Konsultasi Qonitah Edisi 03

konsultasi-03Al-Ustadz Qamar Su’aidi, Lc.

pertanyaanApakah Mempelai Pria Wajib Ditemani Wali?

Assalamualaikum. Afwan, Ustadz. Ada seorang ikhwan yang hendak menikah, tetapi tidak ditemani oleh orang tua atau walinya. Yang saya tanyakan, apakah pernikahan yang dilakukan itu sah atau batal? Saya mohon penjelasan Ustadz.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Secara hukum agama, pernikahan sah selama syarat dan rukunnya terpenuhi walaupun mempelai pria tidak didampingi walinya. Sebab, wali bagi mempelai pria tidak termasuk syarat sah pernikahan ataupun rukunnya.

Meskipun demikian, kami sarankan agar pihak wanita dan keluarganya tidak menerima begitu saja pria yang datang tanpa wali, kecuali jika memang si wali tidak memungkinkan untuk datang. Setidak-tidaknya, mempelai pria didampingi anggota keluarga yang lain agar tampak jelas keseriusannya dalam pernikahan tersebut. Selain itu, agar terlihat bahwa dia bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab dalam keluarganya kelak.

pertanyaanMenikah dengan Pria yang Tidak Dicintainya

Afwan, Ustadz, saya mau bertanya. Seorang wanita menikah karena paksaan orang tua. Dengan berjalannya waktu, ia tetap belum mencintai suaminya, tetapi suaminya mencintainya. Dari awal suaminya tahu bahwa sebetulnya istrinya enggan menikah dengannya. Apa nasihat Ustadz untuk mereka berdua? Jazakumullahu khairan.

Jawaban:

Apabila mereka berdua adalah orang yang bagus agamanya dan masing-masing melakukan kewajibannya serta menunaikan hak pasangannya, kami sarankan agar mereka tetap mempertahankan hubungan keluarga tersebut. Bagi sang istri yang kurang mencintai suaminya, bersabarlah selama keluarga Anda berjalan dengan baik. Nikmatilah karunia Allah tersebut dan jalanilah dengan bahagia. Bisa jadi, kita membenci sesuatu, tetapi itu baik bagi kita.

Allah berfirman,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٢١٦

“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (alBaqarah: 216)

Bisa jadi, lahir dari pasangan itu anak-anak yang menyenangkan dan barmanfaat bagi agama dan masyarakat. Bisa jadi pula, keberlangsungan keluarga tersebut akan lebih baik daripada perpisahannya.

Kebahagiaan bukan hanya karena cinta. Betapa banyak keluarga yang awalnya saling cinta—cinta mati, kata orang—tetapi setelah itu hancur berantakan. Tragis. Apalah artinya jika demikian. Nikmati yang ada dan syukurilah, semoga Allah memberkahi keluarga Anda.

pertanyaanKriteria Miskin

Bismillah. Afwan, Ustadz, saya mau bertanya. Apa kriteria miskin menurut syariat? Saya bekerja di sekolah swasta dengan gaji Rp450.000,00/bulan. Gaji sebesar ini tidak cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga. Apakah kami termasuk miskin? Saya mohon doa Ustadz agar kami diberi kelapangan rezeki dan kesabaran.

Jawaban:

Berdasarkan pertanyaan di atas, Anda termasuk miskin. Definisi miskin dalam hal ini adalah orang yang berpenghasilan lebih dari setengah kebutuhannya, tetapi belum mencukupi. Adapun fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhannya. Semoga Allah menjadikan Anda sebagai orang yang berkecukupan dan berbarakah. Amin.

pertanyaanWanita Menjadi Guru Privat

Bismillah. Langsung saja, saya mau bertanya tentang pembahasan fenomena wanita karier pada Majalah Qonitah. Insya Allah sudah saya pahami. Saya ingin sekali berdiam di rumah sesuai dengan perintah agama bagi seorang muslimah. Tetapi, kenyataan hidup yang saya alami mengharuskan saya mencari tambahan penghasilan di luar rumah. Sekadar jelasnya, saya seorang janda dengan lima orang anak yang masih butuh biaya, dan alhamdulillah, dua orang sudah di pondok salaf. Bagaimana seharusnya yang saya lakukan, mengingat saya tidak punya keahlian yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Saya sekarang menjadi guru privat, namun di banyak tempat sehingga harus meninggalkan anak-anak. Bagaimana hukumnya itu Ustadz? Mohon penjelasannya. Jazakumullahu khairan.

Jawaban al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf:

Alhamdulillah wash-shalatu was salam ‘ala Rasulillah. Wa ba’du,

Terkait dengan masalah yang Saudari tanyakan, para ulama menjelaskan, apabila seorang wanita terpaksa harus bekerja di luar rumahnya untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya, ia boleh bekerja dengan catatan tidak bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) dengan laki-laki. Selain itu, hendaknya ia tetap mengenakan hijab yang syar’i. Jika ia terpaksa harus berbicara dengan lawan jenis, tidak boleh dengan suara yang lembek, seperti halnya telah dijelaskan oleh firman Allah l di surat al-Ahzab: 32.

Pekerjaan Saudari sebagai guru privat tidaklah mengapa. Hanya saja, ada yang harus Saudari perhatikan selain beberapa hal yang disebutkan di atas, antara lain:

  1. Berusahalah dan berdoalah kepada Allah l agar dimudahkan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat dilakukan di dalam rumah sehingga tidak sering keluar rumah dan meninggalkan anak-anak.
  2. Hendaknya murid privat Saudari adalah anak-anak perempuan. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t menjelaskan, lapangan pekerjaan bagi seorang wanita adalah mengerjakan sesuatu yang menjadi kekhususan kaum wanita, baik pekerjaan tersebut memang sudah menjadi tugasnya maupun karena ia memiliki keahlian pada bidang tersebut. Contohnya, mengajar anak-anak perempuan, menjahit pakaian wanita, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang bisa dikerjakan dalam rumah. (Fatawa Mar’ah Muslimah)
  3. Hendaknya ia tidak menghabiskan waktu seharian penuh melakukan pekerjaan ini.
  4. Hendaknya tempat yang dituju—meskipun berbeda-beda—bukanlah tempat masuk dalam kategori safar.
  5. Hendaknya ia tetap memerhatikan kewajiban utamanya, yaitu menjaga anak-anak dan tidak meninggalkannya dalam waktu yang lama.

Semoga Allah subhanallahu wa ta’ala memudahkan segala urusan kita.

Wallahu alam.