Qonitah
Qonitah

ruang konsultasi edisi 14

10 tahun yang lalu
baca 6 menit
Ruang Konsultasi Edisi 14

konsultasi-14Puasa ‘Asyura, Tanggal 9 atau 10?

Afwan, saya mau tanya. Puasa ‘Asyura itu tanggal 9 atau 10 Muharram? Mohon disertai dalilnya. Jazakallahu khair.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:

Puasa ‘Asyura adalah puasa pada tanggal 10 Muharram. Pada mulanya, puasa ini disyariatkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam hijrah ke Madinah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟ فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram). Beliau pun bertanya kepada mereka, Hari apakah ini sehingga kalian berpuasa?

Mereka menjawab, ‘Ini hari yang agung. Pada hari inilah Allah memenangkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya. Oleh karena itulah, Musa berpuasa setiap hari tersebut sebagai bentuk syukur, lalu kami pun melakukannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, Kami lebih berhak dan lebih pantas (mengikuti) Musa daripada kalian. Beliau pun berpuasa dan memerintahkan puasa pada hari itu. (HR. al-Bukhari no. 3145, 3649, 4368 dan Muslim no. 1130)

Pada awal pensyariatannya, puasa ‘Asyura ini wajib. Setelah datang kewajiban puasa Ramadhan pada tahun 2 H, puasa ‘Asyura tetap disyariatkan, hanya saja berubah hukumnya menjadi mustahab (sunnah).

Ibadah yang mudah ini memiliki keutamaan besar sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Qatadah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya mengenai puasa pada hari ‘Asyura, maka beliau menjawab, ‘Puasa tersebut akan menghapus dosa-dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Termasuk yang disunnahkan dalam puasa ‘Asyura adalah berpuasa satu hari sebelumnya, yakni tanggal 9 Muharram, untuk menyelisihi orang Yahudi. Dalil disunnahkannya berpuasa tanggal 9 mengiringi puasa ‘Asyura adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam riwayat al-Imam Muslim,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Kalau aku masih hidup tahun depan, insya Allah kita akan berpuasa pula pada tanggal 9 Muharram (yakni bersama 10 Muharram).

Allahu a’lam.

 

Cara Rasulullah Mendidik Para Sahabat

Afwan, Qonitah, ana mau tanya. Bagaimana cara Rasulullah mentarbiah para sahabat beliau? Atas jawabannya, ana ucapkan jazakallahu khairan. Wassalamu’alaikum.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:

Tidak diragukan bahwa tarbiah (pendidikan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah tarbiah terbaik. Rasulullah adalah teladan paling utama dalam hal tarbiah sehingga para sahabat menjadi generasi terbaik di muka bumi setelah para nabi dan rasul.

Sesungguhnya, segala perikehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah tarbiah beliau kepada sahabat. Oleh karena itu, untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan ini, kita harus mempelajari segala perikehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam .

Dengan melihat kehidupan Rasulullah secara utuh, kita akan melihat bagaimana beliau mendidik sahabat pada masa awal dakwah di Makkah, saat kaum muslimin masih sedikit dan tekanan kuffar demikian besar. Kita juga akan menyaksikan bagaimana beliau mendidik mereka pada saat muslimin telah berjumlah besar dan memiliki kekuatan. Sahabat yang beliau didik pun memiliki beragam watak dan sifat, sehingga muamalah beliau tentu berbeda antara sahabat yang satu dan sahabat yang lain.

Akan tetapi, yang terpenting, beliau selalu mengawali tarbiah dengan menanamkan masalah pokok yang tidak bisa ditawar, yaitu iman kepada Allah. Bahkan, masalah pokok ini selalu mengiringi tarbiah beliau.

Selama hidup beliau, Rasulullah terus memperkenalkan Allah, hak-hak-Nya, nama-nama-Nya yang Mahaindah, dan sifat-sifat-Nya yang Mahatinggi kepada manusia.

Mari sejenak kita perhatikan al-Qur’an. Betapa banyak ayat yang menjelaskan sifat rububiyyah Allah, yang mengingatkan bahwa Allah adalah Rabbul ‘alamin, pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta. Banyak pula ayat al-Qur’an yang menjelaskan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang Mahaagung. Lebih dari itu, beliau selalu menegaskan tujuan hidup manusia, yaitu menegakkan ibadah hanya kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan.

Seperti itulah tarbiah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam . Beliau tanamkan iman kepada Allah dalam diri umat. Oleh karenanya, ketika keimanan kepada Allah telah mendarah daging pada diri sahabat, jadilah mereka generasi yang penuh ketundukan kepada syariat Allah.

Sebagai contoh, saat Allah memerintahkan jihad, para sahabat segera menyambutnya dan mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki. Ketika datang pengharaman khamr, dengan segera mereka tumpahkan khamr-khamr sehingga jalan-jalan dilalui aliran khamr. Ketundukan para sahabat di hadapan syariat itu tidak lain karena mereka telah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

 

Bayi Perempuan Digunduli?

Bismillah. Afwan, Ustadz. Menurut pendapat yang rajih, ketika bayi perempuan itu diaqiqahi pada hari ketujuh, apakah juga harus digunduli seperti bayi laki-laki? Mohon jawaban, Ustadz. Jazakallahu khairan wa barakallahu fik.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa menggunduli kepala bayi laki-laki disunnahkan.

Adapun dalam masalah membuang rambut kepala bayi perempuan, terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama sebagai berikut.

  1. Menggunduli kepala hanya bagi bayi laki-laki, tidak untuk bayi perempuan. Demikian pendapat Hanabilah (pengikut mazhab Hanbali, -ed.).
  2. Menggunduli kepala berlaku umum, baik untuk bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Demikian pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah. Ash-Shan’ani memilih pendapat ini sebagaimana tampak dalam kitab beliau, Subulus Salam (4/203).

Pendapat kedua inilah yang kuat, insya Allah, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ,

إِذَا كَانَ يَوْمُ السَّابِعِ لِلْمَوْلُودِ فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الْأَذَى وَسَمُّوهُ

“Jika tiba hari ketujuh dari kelahiran bayi, curahkanlah darah (yakni sembelihlah hewan aqiqah, -pen.), buanglah adza darinya, dan berilah dia nama.”

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath (2/526) dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/589).

Adza (gangguan/kotoran) dalam hadits ini ditafsirkan para ulama dengan makna rambut kepala dan bekas-bekas kelahiran yang menempel pada bayi.

Allahu a’lam.