Qonitah
Qonitah

ruang konsultasi edisi 13

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Ruang Konsultasi Edisi 13

konsultasi-13Wanita Keluar dari Rumah Karena Ada yang Membutuhkan Bantuannya

Bismillah. Afwan jiddan, mau tanya, bolehkah seorang wanita keluar dari rumah karena ada yang membutuhkan bantuannya, tetapi saat itu pihak wali tidak ada di rumah? Pihak wali sudah biasa mengizinkan. Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh al-Ustadz Hamzah:

Boleh bagi wanita keluar dari rumah dalam kondisi tersebut dengan tidak melanggar syariat ketika keluar dari rumah. Akan tetapi, wanita tidak diizinkan untuk sering keluar dari rumah.

Hukum asal wanita adalah tinggal di rumah, kecuali jika ada kebutuhan yang mengharuskannya keluar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (al-Ahzab: 33)

Hendaklah kaum wanita senantiasa mengingat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita. Di antaranya ialah sabda beliau `,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah kutinggalkan sepeninggalku sebuah godaan yang amat berbahaya terhadap kaum pria daripada godaan wanita.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Rasulullah juga bersabda (yang artinya), “Waspadalah kalian terhadap fitnah dunia dan waspadalah kalian dari fitnah wanita. Sesungguhnya awal fitnah Bani Israil adalah tentang wanita.” (HR. Muslim)

Rasulullah juga bersabda, … ternyata mayoritas penghuni neraka adalah wanita. (Muttafaqun ‘alaihi)

Saya nasihatkan kepada wanita agar tidak bermudah-mudah keluar dari rumah. Jangan sampai sirna fitrah kewanitaan pada diri Anda, seperti rasa malu, kelembutan, dan lain-lain, disebabkan sering keluar dari rumah.

Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari azab-Nya dan memasukkan kita semua ke dalam jannah-Nya. Amin, ya Mujibas Sailin (kabulkanlah, wahai Dzat yang Maha Mengabulkan orang-orang yang meminta).

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Beban Syariat Dimulai Ketika Sudah Balig atau Mumayyiz?

Assalamu’alaikum. Ustadz, saya ingin bertanya. Syariat ini mulai dibebankan atau diwajibkan kepada siapa? Yang sudah balig atau mumayyiz/tamyiz? Misalnya, anak berumur sebelas tahun belum balig, tetapi ia sudah tamyiz. Apabila tidak melakukan shalat, apakah ia sudah berdosa? Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:

Syariat dibebankan kepada mukallaf, yaitu mereka yang telah balig[1] dan berakal.

Jadi, anak-anak yang belum balig atau mereka yang tidak berakal (seperti gila), tidak dibebani syariat, berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena dari tiga golongan: orang gila sampai dia sadar, orang yang tertidur hingga dia bangun, dan anak kecil hingga dia balig. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Namun, penting diingatkan, meskipun anak belum balig dan masih diangkat pena darinya, bukan berarti mereka dibiarkan tanpa pendidikan, tidak dikenalkan dengan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah membimbing orang tua agar serius dalam memperkenalkan syariat, baik perintah maupun larangan, kepada putra-putrinya sejak dini, jauh-jauh hari sebelum mereka balig.

Ketika anak telah mencapai usia tamyiz, wajib bagi kedua orang tua memerintah mereka melakukan shalat walaupun belum ada kewajiban atas si anak.

Batasan tamyiz adalah ketika anak berusia tujuh tahun, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak mau melakukan shalat) ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 395)

Ketika anak genap berusia tujuh tahun, orang tuanya wajib memerintahnya untuk melakukan shalat dengan perintah yang kontinu, bukan hanya sekali dua kali. Orang tua tidak boleh bosan untuk memerintah anaknya di setiap shalat lima waktu. Setiap kali datang waktu shalat, sang putra diingatkan dan diperintah untuk shalat.

Perintah terus dilakukan selama tiga tahun, hingga anak memasuki usia sepuluh tahun. Jika dalam usianya yang kesepuluh anak tidak mau menunaikan shalat, orang tua diizinkan untuk memukul si anak, tentu dengan pukulan yang tidak membahayakan, pada bagian tubuh yang tidak termudaratkan dan diizinkan oleh syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ

“Dan pukullah mereka (jika tidak mau melakukan shalat) ketika berumur sepuluh tahun.”

Dalam hal perintah shalat, orang tua wajib memerintah anaknya di usia tamyiz. Adapun dalam hal larangan, seperti larangan berdusta, makan dengan tangan kiri, mengucapkan kata-kata kotor, mencuri, memakan makanan haram, dan sebagainya, orang tua harus mencegah dengan penuh kelembutan meski si anak belum mencapai usia tamyiz. Hal ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كِخْ كِخْ (ثَلاَثًا) (اِرْمِ بِهَا) لِيَطْرَحَهَا، ثُمَّ قَالَ: أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟

Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebutir kurma dari kurma-kurma sedekah, lalu meletakkannya dalam mulutnya. Melihat hal itu, Nabi n bersabda, ‘Ih, ih.’ Beliau menyabdakannya tiga kali. ‘Buanglah itu,’ lanjut beliau, supaya al-Hasan membuangnya. Kemudian, beliau bersabda, ‘Tidak tahukah engkau bahwa kita tidak (boleh) memakan harta sedekah?’.” (HR. al-Bukhari no. 1396, Muslim no. 1778, dan Ahmad no. 9785)

Lihatlah, dalam hadits ini Rasulullah sejak dini melarang al-Hasan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah. Meskipun al-Hasan masih sangat belia, belum mencapai usia tamyiz, tetap beliau perintah untuk mengeluarkan kurma sedekah yang telah masuk ke mulutnya.

Dengan tarbiah yang terus menerus ini, bi idznillah, ketika mencapai usia balig, sang anak telah mampu menunaikan ibadah sebagaimana mestinya dan telah terbimbing dengan akhlak karimah.

 

Hukum Merayakan Ultah

Bismillah. Afwan, Ustadz, saya mau tanya. Apa hukum merayakan hari ulang tahun kelahiran dan mengucapkan selamat ultah? Bagaimana Islam menuntun kita ketika bertambah umur? Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:

Tidak boleh seseorang merayakan ulang tahun, baik ulang tahun dirinya maupun ulang tahun orang lain, seperti merayakan kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam (Maulid Nabi), atau merayakan peristiwa-peristiwa tertentu, seperti Isra’ Mi’raj dan Nuzulul Qur’an.

Ada beberapa sisi yang menunjukkan tidak bolehnya perayaan ulang tahun, di antaranya:

  1. Perayaan-perayaan seperti ini tidak memiliki tuntunan dalam syariat Islam, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan salaf (pendahulu) umat ini, baik para sahabat, tabi’in, maupun atba’ at-tabi’in. Sungguh, seandainya hal ini merupakan kebaikan, niscaya mereka adalah orang-orang yang terdepan dalam
  2. Perayaan ulang tahun adalah salah satu kebiasaan atau adat nonmuslim. Sungguh kita dilarang menyerupai mereka dalam perkara yang merupakan kekhususan mereka atau kejelekan-kejelekan mereka. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk dari mereka.

  1. Dalam perayaan-perayaan tersebut sering kita jumpai banyak kemungkaran, seperti adanya ikhtilath (bercampurbaurnya lelaki dan perempuan yang bukan mahram), tabdzir (penyia-nyiaan harta), musik, lagu-lagu, dan kemungkaran lain yang sering mengiringi acara-acara tersebut.

Atas dasar itu, selain tidak boleh merayakan ulang tahun, kita tidak boleh pula mengucapkan selamat ulang tahun kepada orang yang merayakannya meskipun dia muslim, apalagi jika dia nonmuslim.

Lalu, apa yang seharusnya ditempuh seorang muslim dengan bertambahnya usia? Yang seharusnya sering dilakukan adalah muhasabah (berintrospeksi) dan mengingat kematian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berwasiat kepada kita agar sering-sering mengingat kematian, sebagaimana dalam sabda beliau,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ: اَلْمَوتَ

“Sering-seringlah kalian mengingat pemutus kenikmatan-kenikmatan, yakni kematian.

[1] Anak dinyatakan balig jika telah tampak salah satu dari tiga tanda: telah ber-ihtilam (mimpi basah), telah tumbuh bulu di sekitar kemaluan, atau telah mencapai umur lima belas tahun. Bagi perempuan ada tanda keempat, yaitu telah datang bulan (haid).