Suami Fanatik dengan Ajaran dan Tokoh Tertentu Tanpa Melihat Dalil
Bismillah. Assalamu’alaikum. Afwan, saya ingin minta solusi. Ceritanya, saya sedang belajar mengaji dan memperbaiki diri. Saya rajin mengikuti taklim yang ada di sekitar daerah saya. Sedikit banyak saya tahu tentang salaf, meskipun belum sepenuhnya bisa mengikuti. Yang menjadi kendala bagi saya adalah antara saya dan suami tidak seiring sejalan. Suami saya fanatik terhadap ajaran atau tokoh tertentu tanpa melihat dalil. Saya sering sekali berusaha menasihatinya, tetapi dia begitu keras dengan ajarannya dan tidak memedulikan ucapan-ucapan saya. Rasanya berat bagi saya mendapati imam yang seperti ini. Kami jadi bertengkar, kukuh pada pendirian masing-masing. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Jazakallahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Semoga Allah memberikan kekokohan kepada Anda dalam meniti jalan yang hak dan memberi hidayah kepada suami Anda yang selama ini masih dalam sikap-sikapnya yang salah.
Yang perlu Anda lakukan adalah:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, Allah akan memberinya pemahaman tentang agama Islam.” (HR. Muslim)
Tersirat makna dalam hadits ini bahwa orang yang tidak paham tentang agama Islam berati tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah.
Ilmu agama (ilmu syar’i) merupakan landasan utama yang akan menentukan diterimanya suatu amalan.
Di antara sifat ilmu agama adalah mendatangkan rasa takut kepada Allah. Allah berfirman,
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ
“Hanyalah yang merasa takut kepada Allah dari kalangan hamba-Nya adalah para ulama (orang-orang yang berilmu).” (Fathir: 28)
Semakin berilmu seseorang, semakin takut dia kepada Allah. Ilmu ini akan mendekatkan seseorang kepada Allah dan mendorongnya untuk beramal saleh.
Tanamkanlah rasa takut kepada Allah dan agungkanlah Allah di hati Anda dan suami Anda.
وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ
“Kejelekan apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan (dosa yang) kalian (lakukan).” (an-Nisa’: 79)
Allah juga berfirman,
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠
“Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa) yang kalian lakukan, dan Allah memaafkan kebanyakan dosa kalian.” (asy-Syura: 30)
Jika Anda mendapati kekurangan dalam menaati Allah, segeralah kembali kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya. Yang jelas, ini adalah ujian bagi Anda yang menuntut kesabaran dan keistiqamahan sampai Allah berikan jalan keluar bagi Anda.
Wallahu a’lam bish shawab.
Pekerjaan untuk Muslimah
Bismillah. Saya ingin bertanya, Ustadz, pekerjaan apa yang pantas untuk seorang muslimah yang sudah menikah? Saya baru saja menikah, dan suami saya meminta saya untuk bekerja karena saya lulusan diploma. Bagaimana solusinya, Ustadz, apakah saya harus bekerja? Kalaupun harus, pekerjaan apa yang pantas untuk seorang muslimah? Mohon jawabannya, Ustadz.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Semoga Allah menjadikan keluarga Anda keluarga sakinah yang dirahmati Allah.
Boleh bagi istri membantu suami mencari nafkah jika tidak melanggar syariat. Dia bisa memilih usaha yang aman bagi muslimah di rumah, seperti menjahit, membuat kue, dll. Dia hindari jenis-jenis usaha yang mengharuskannya untuk sering keluar dari rumah, lebih-lebih untuk safar (bepergian jauh). Jika memang usahanya mengharuskannya keluar dari rumah karena suami tidak mampu menafkahinya, dia harus berpegang pada syariat ketika keluar dari rumah. Hal ini telah kami jelaskan di Majalah Muslimah Qonitah edisi 9 hlm. 95. Jika dia safar, harus ditemani oleh mahramnya.
Bertanya kepada Orang Berilmu yang Bermaksiat
Bismillah. Ustadz, bolehkah bertanya tentang hukum atau masalah agama kepada seseorang yang berilmu tetapi dia sering bermaksiat? Jazakumullahu khairan atas jawabannya.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:
Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya perkataan salah seorang tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah . Beliau berkata,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu adalah agama, maka hendaknya engkau memerhatikan dari siapa engkau mengambil agamamu.”
Karena ilmu adalah agama, maka ambillah agama dari orang-orang yang bertakwa, bersemangat menuntut ilmu al-Kitab dan as-Sunnah, bersemangat mengamalkannya, serta menjaga kehormatan dirinya dengan meninggalkan kemaksiatan, terlebih dosa-dosa besar.
Adapun ahli maksiat, tidak sepantasnya diambil ilmu darinya. Apabila dia menuruti hawa nafsunya untuk bermaksiat kepada Allah, dikhawatirkan ia juga mengikuti hawa nafsunya ketika menyampaikan ilmu atau menjawab pertanyaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطٗا ٢٨
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)
Berbeda halnya jika tidak ada orang yang memiliki ilmu selain dia, sementara keadaan menuntut agar perkara tersebut ditanyakan, maka tidak mengapa bertanya kepadanya. Itupun dengan kita memerhatikan pegangan yang dia jadikan sandaran ketika menjawab pertanyaan tersebut. Allahu a’lam.
Hukum Berziarah Kubur
Ustadz, saya mau bertanya, bagaimana hukumnya ziarah kubur? Mohon jawabannya. Syukran.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:
Ziarah kubur ada dua macam: ziarah yang disyariatkan dan ziarah yang diharamkan.
Ziarah kubur yang disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam atas umatnya adalah ziarah dengan tujuan untuk mengingat kematian. Beliau n bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, (namun sekarang) berziarah kuburlah kalian karena ziarah akan mengingatkanmu kepada negeri akhirat.”
Selain itu, dengan ziarahnya dia bermaksud mendoakan kaum muslimin yang telah mendahului kita, sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada Aisyah ketika seorang berziarah kubur untuk berdoa,
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Semoga Allah melimpahkan keselamatan atas kalian wahai penduduk barzakh dari kalangan muslimin dan mukminin. Kami insya Allah segera menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah kebaikan untuk kami dan kalian.”
Jenis kedua adalah ziarah yang dilarang, yaitu ziarah kubur yang mengandung kebid’ahan atau kesyirikan.
Contohnya, ziarah kubur dengan tujuan berdoa dan meminta pertolongan kepada penghuni kubur, atau menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah) dalam doa. Ziarah yang seperti ini termasuk perbuatan syirik besar.
Termasuk yang terlarang adalah ziarah kubur dengan maksud menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, seperti shalat atau membaca al-Qur’an. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kubur, jangan pula kalian duduk di atasnya.”
Di antara ziarah yang bid’ah adalah bepergian jauh (safar) dengan tujuan untuk berziarah kubur.
Bersuci dari Haid
Assalamu’alaikum. Qonitah, saya mau tanya. Saya dan suami sedang bercumbu dan bermesraan sampai saya mengeluarkan cairan, padahal saya sedang haid. Bagaimana niat saya ketika bersuci nanti? Jazakallahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Cukup bagi Anda niat mandi bersuci dari haid.
Berhias Ketika Menikah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana cara berhias yang syar’i ketika menikah? Barakallahu fiik.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Wanita tidak boleh berhias di hadapan pria yang bukan mahramnya, baik dalam pesta perkawinan maupun yang lainnya. Wanita disyariatkan berhias di depan suaminya. Boleh juga dia berhias di depan wanita lain atau mahramnya, tetapi tidak sebebas ketika dia berhias di depan suaminya. Dia tidak boleh mengenakan pakaian yang pendek, ketat, dan transparan, kecuali di depan suaminya. Silakan Anda baca “Pakaian Wanita di Hadapan Mahram” dalam Qonitah edisi 05 hlm. 95—97.
Dalam acara pesta perkawinan, janganlah wanita berlebihan dalam berhias dengan mengeluarkan biaya yang amat besar. Silakan Anda baca “Penyimpangan di Pesta Pernikahan” dalam Qonitah edisi 08 hlm. 44.
Menyusukan Anak Angkat Perempuan kepada Kakak Perempuan Suami, Menjadi Mahramkah Ia dengan Suami?
Bismillah. Langsung saja, saya mau bertanya tentang anak angkat. Saya memiliki anak angkat perempuan dari pihak keluarga saya, yaitu anak kakak. Yang saya tanyakan, apakah dengan (anak tersebut, -ed.) meminum susu dari kakak perempuan suami saya, bisa dikatakan bahwa dia sudah menjadi mahram suami saya? Sekarang anak saya berumur enam tahun. Bagaimana ini hukumnya? Mohon penjelasannya. Jazakumullahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Disusukannya anak angkat Anda, yang berusia enam tahun tersebut, kepada saudara perempuan suami Anda tidak menjadikan suami Anda sebagai mahramnya. Hukum-hukum yang berkaitan dengan penyusuan berlaku jika anak tersebut menyusu pada usia penyusuan, yaitu tidak lebih dari dua tahun. Wallahu a’lam.
Orang Tua Memaksa agar Menikah dengan Pria yang Sudah Berkeluarga
Bismillah. Saya ingin menanyakan, bagaimana menghadapi orang tua yang memaksa putrinya untuk menikah dengan lelaki yang sudah berkeluarga, padahal putrinya tidak berkeinginan menikah dengan lelaki tersebut. Sang putri sudah berusaha untuk shalat istikharah, dan dia merasa tenang untuk tidak menerima permintaan orang tuanya. Namun, orang tua tetap memaksa. Bagaimana pendapat para ulama mengenai hal seperti ini? Apakah shalat istikharah bisa dilakukan walaupun hati sudah mantap menjawab “tidak” dan memang tidak ada ketertarikan sedikit pun dengan lelaki tersebut?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Di antara syarat pernikahan yang sah adalah keridhaan kedua mempelai.
Orang tua berhak menawarkan lelaki kepada Anda untuk dijadikan suami. Jika Anda tidak ridha dengan lelaki tersebut, Anda berhak menolaknya. Hendaklah Anda menjelaskan ketidaksukaan Anda terhadap lelaki tersebut kepada orang tua dengan adab yang baik.
Anda memang berhak menerima ataupun menolak lelaki yang akan menyunting Anda. Anda bisa menerima lelaki yang Anda sukai, tetapi jangan lupa memerhatikan agama dan akhlaknya. Bahkan, hendaklah Anda menjadikan kedua hal ini sebagai dasar utama yang harus dimiliki oleh lelaki yang akan menyunting Anda. Silakan Anda baca “Pentingnya Ketakwaan Sang Nakhoda” dalam Qonitah edisi 01 hlm. 58—61.
Semoga Allah menjaga Anda dan orang tua Anda dari segala kejelekan.
Cemburu Melihat Suami Bersenda Gurau dengan Wanita Nonmahram
Bismillah. Apakah wajar jika seorang istri merasa cemburu kepada suaminya ketika dilihatnya suaminya bersenda gurau dengan wanita yang bukan mahram, lewat SMS ataupun telepon? Mohon jawabannya. Jazakumullahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Adalah wajar, bahkan harus, apabila istri cemburu terhadap suami yang bersenda gurau dengan wanita lain yang bukan mahramnya.
Hendaknya suami bertakwa kepada Allah dan waspada terhadap fitnah wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah kutinggalkan sepeninggalku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum pria daripada fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Selanjutnya, silakan Anda baca “Suami Masih Suka Bermain Game, FB-an, dll” dalam Qonitah edisi 07 hlm. 97—98 dan “Menghadapi Kekurangan-kekurangan Suami” dalam Qonitah edisi 06 hlm. 99—101.
Semoga Allah membimbing Anda dan keluarga Anda kepada jalan yang diridhai-Nya.
Suami Berbuat Bakhil Terhadap Istri
Bismillah. Afwan, Ustadz, saya pernah mendengar hadits tentang shahabiyah yang bernama Hindun j, yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tentang kebakhilan suaminya. Yang saya tanyakan, apa batasan kebakhilan seorang suami kepada istri? Saya merasa bahwa suami terlalu perhitungan kepada anak dan istri, sedangkan kepada yang lain, suami sangat dermawan. Saya sangat sedih, Ustadz. Sampai-sampai, saya berpikir untuk mencari ma’isyah sendiri. Apakah seorang istri tidak mempunyai hak atas harta warisan suami yang ia peroleh dari orang tuanya? Yang saya tahu, wanita mendapatkan bagian setengah karena laki-laki (suami) mendapatkan satu bagian. Jazakumullahu khairan wa fikum barakallah.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Nafkah yang dimaksud adalah kebutuhan primer. Istri berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak huni walaupun hanya rumah kontrakan. Istri berhak pula mendapatkan pakaian dan makanan, sebagaimana kebutuhan suami terhadap pakaian dan makanan tersebut.
Jika suami bakhil, istri boleh mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya, sekadar untuk memenuhi kebutuhan primer dirinya dan anak-anaknya, tidak boleh lebih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam kepada Hindun Ummu Mu’awiyah radhiyallahu ‘anha,
خُذِي مَايَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah harta suami tersebut (tanpa sepengetahuannya) sekadar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf.” (HR. al-Bukhari)
Silakan baca artikel “Suami Tidak Memberi Nafkah” dalam Qonitah edisi 09 hlm. 95.
Adapun harta suami yang dia dapatkan dari warisan orang tuanya, istri tidak mendapat bagian sedikit pun. Sebab, istri tidak termasuk ahli waris mertua.
Kami nasihatkan kepada para pemimpin rumah tangga untuk berbuat baik kepada anggota keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
“Orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. at Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Jika seseorang bisa berbuat baik kepada orang lain, tentu keluarganya lebih berhak mendapatkan kebaikan darinya.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish shawab.
Mencantumkan Hadits Lemah
Assalamu’alaikum. Afwan, pada Qonitah edisi 07, rubrik Keagungan al-Qur’an hlm. 22 tentang kaidah menjaga diri dari setan, pada poin f disebutkan di footnote bahwa haditsnya lemah. Apa tidak mengapa menaruh hadits lemah di situ untuk diamalkan? Karena yang di luar Ahlus Sunnah juga mengamalkan perkara yang sumbernya dari hadits lemah, sedangkan ada di antara kita yang menyampaikan kepada mereka yang awam perkara yang diamalkan salafiyyun dari sumber hadits yang shahih setelah sebelumnya mereka beramal dengan hadits yang lemah. Mohon penjelasannya. Jazakumullahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abdurrahman Dani:
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini pertanyaan dan kritik yang bagus, barakallahu fik. Masalah hukum mengamalkan hadits dha’if adalah masalah yang sudah masyhur di antara para ahli ilmu.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits dha’if tidak bisa digunakan untuk berdalil dan tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, kecuali jika disampaikan untuk menjelaskan bahwa hadits tersebut dha’if. Barang siapa menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, padahal dia tahu bahwa hadits tersebut dha’if, maka dia termasuk salah satu pembohong. Telah tsabit dari Nabi ` bahwa beliau bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berbohong atas namaku dengan sengaja, tempat kembalinya adalah neraka.”
Maka dari itu, tidak boleh beramal dengan hadits dha’if.
Berkaitan dengan penyampaian hadits dha’if, sebagian ahli ilmu memberikan beberapa syarat:
Akan tetapi, yang lebih berhati-hati dan lebih selamat adalah meninggalkan hadits tersebut.
Adapun kami menyebutkan hadits dha’if dalam catatan kaki poin keenam adalah min bab al-ikhbar (sebagai pemberitahuan) bahwa hadits tersebut adalah dha’if dan agar tidak diamalkan, karena sebagian awam mengamalkannya.
Wabillahi at-taufiq wa jazakumullahu khairan.