Zikir Setelah Shalat Sunnah
Bismillah. Saya mau bertanya, apakah dituntunkan melakukan zikir setelah shalat sunnah seperti zikir setelah shalat wajib?
Jawab:
Zikir-zikir tersebut hanya disyariatkan seusai shalat fardhu, sebagaimana zahir (lahiriah) hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Di antaranya sabda beliau,
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِي دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا أَنْ يَمُوتَ
“Barang siapa membaca ayat kursi setiap selesai shalat fardhu, tidak ada yang menghalanginya masuk ke dalam surga selain kematian.”
Allahu a’lam.
Hukum Menggunting Rambut dan Memotong Kuku saat Berhadats Besar
Bismillah. Saya mau bertanya, bagaimana hukumnya menggunting rambut dan memotong kuku bagi wanita yang sedang berhadats besar?
Jawab:
Memotong kuku, membersihkan rambut di sekitar kemaluan, atau mencabut bulu ketiak termasuk sunnah-sunnah fitrah. Hal ini disebutkan oleh riwayat yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Syariat ini berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan dalam segala keadaan, baik suci maupun berhadats. Berbeda halnya jika seseorang dalam keadaan ihram (haji atau umrah). Dalam keadaan ihram, lelaki atau perempuan, suci atau berhadats, dilarang dengan sengaja menggunting kuku atau mencukur rambut.
Walhasil, seorang wanita yang sedang haid, nifas, atau berhadats besar lain, tidak ada halangan untuk melaksanakan sunnah fitrah ini. Tidak ada dalil yang melarangnya. Silakan menggunting kuku atau membersihkan rambut walaupun masih dalam keadaan haid, nifas, atau janabah.
Perlu diingatkan di sini tentang anggapan atau keyakinan sebagian orang bahwa wanita haid atau nifas tidak boleh menggunting kuku atau rambutnya selama haid; jika dia lakukan, kuku dan rambut yang telah diambil harus dikumpulkan untuk dimandikan (dicuci) bersama saat mandi besar (mandi janabah). Anggapan ini keliru karena tidak dilandasi oleh dalil. Wabillahit taufiq.
Sulit Meninggalkan Perbuatan Maksiat
Bismillah. Saya mau bertanya. Seseorang sering melakukan suatu kemaksiatan, tetapi setiap kali ia mendengar nasihat ia menyesali perbuatannya dan ingin meninggalkan kemaksiatan tersebut. Akan tetapi, jika waktu telah berlanjut terkadang hawa nafsu selalu mengajak kembali pada kemaksiatan tersebut, seakan-akan ia sulit untuk meninggalkannya. Bagaimana yang harus dia lakukan? Atas jawabannya ana ucapkan jazakallahu ahsanal jaza’ wa barakallahu fikum.
Jawab:
Bersyukurlah kepada Allah ketika seseorang masih bisa menyesali dosa yang diperbuatnya. Bersyukurlah kepada Allah ketika jiwa masih bisa bersedih saat mendengar peringatan. Semoga hal ini menjadi tanda kebaikan.
Manusia memang lemah, sementara godaan setan dan hawa nafsu selalu mengintai anak Adam dan mengajaknya kepada perbuatan buruk. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila manusia sering terjatuh dalam kemaksiatan.
Bagaimana caranya agar seseorang dimudahkan meninggalkan kemaksiatan dan apa obat bagi kita yang seakan-akan berat meninggalkan kemaksiatan?
Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,
اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنَ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar bisa berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Jika Engkau menginginkan suatu fitnah terhadap hamba-hamba-Mu, wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terfitnah.”
Di antaranya, memperbanyak ibadah, seperti shalat dan puasa. Banyaklah menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat, baik dalam urusan agama maupun dunia. Allah berfirman tentang shalat,
وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
“Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabut: 45)
Tentang ibadah puasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Sesungguhnya puasa adalah benteng baginya.”
Maksudnya, benteng dari kemaksiatan dan benteng dari neraka.
Dengan sering mengingat kematian, seseorang akan mudah meninggalkan kemaksiatan, bertobat, dan bersegera memperbanyak bekal berupa amalan saleh.
Terus dan segeralah bertobat. Jangan berputus asa dan jangan berhenti dari upaya untuk bertobat dan memperbaiki diri meskipun melakukan dosa itu kembali.
Semoga Allah menutup hidup kita dalam kebaikan, dalam keadaan bertobat kepada-Nya.
Wallahul musta’an.
Majelis Tafsir al-Qur’an (MTA), Ahlus Sunnah?
Bismillah. Apakah majelis tafsir al-Qur’an (MTA) termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Jawab:
MTA bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Adapun MTA, betapa banyak pengingkaran mereka terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Selain itu, MTA banyak menyimpang dalam pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Di antara penyimpangan MTA dalam masalah akidah adalah mengingkari ru`yatullah (melihat Allah di akhirat bagi kaum mukminin), padahal hadits-hadits tentang melihat Allah mencapai derajat mutawatir, lebih dari 30 orang sahabat meriwayatkannya. Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, Jarir bin Abdillah berkata,
كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ: أَمَّا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
“Ketika kami sedang bermajelis bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, tiba-tiba beliau memandang bulan purnama, seraya bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dapat melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini, dan kalian tidak berdesak-desakan ketika melihat-Nya.”
Seluruh sahabat Nabi, tabi’in, atbaut-tabi’in dan seluruh imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, al-Auza’i dan ulama Ahlus Sunnah seluruhnya, berada di atas keyakinan ini.
Ketika menafsirkan al-Quran, MTA pun tidak menggunakan metode Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal tafsir. Tafsir mereka tidak dibekali ilmu hadits, tidak pula dibekali pemahaman Ahlus Sunnah dalam hal tafsir. Mereka lebih mengedepankan akal.
Mereka juga memiliki bai’at bid’ah, yang di atasnya mereka membangun al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan permusuhan).
Walhasil, jalan mereka menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan telah menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allahul musta’an.
Hukum Menyimpan Foto dalam Album
Bagaimana hukumnya foto yang disimpan dalam album foto? Jazakumullahu khairan.
Jawab:
Tidak boleh menyimpan foto kecuali untuk urusan yang darurat, seperti foto dalam paspor, kartu kependudukan, ijazah, atau yang semisalnya.
Adapun menyimpan foto di dalam album untuk kenang-kenangan atau semisalnya, tidak diperbolehkan. Semoga Allah memudahkan kita menjaga batasan-batasan-Nya. Allahu a’lam.
————————————————
Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah
Suami temperamental
Saya memiliki suami yang temperamental, kaku, kasar, keras kepala, sedikit-sedikit mau membunuh orang. Kalau dia marah, pasti keluar dari mulutnya kata cerai. Dia pun sering mengusir saya dari rumahnya. Intinya, saya benar-benar terzalimi. Kalau saya sakit lalu memberitahunya, dia malah marah-marah. Akhirnya, saya harus berobat sendiri dengan uang hasil kerja sendiri. Apa nasihat Ustadz? Perlu diketahui bahwa saya sudah dikaruniai anak.
Jawab:
Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda sekeluarga.
Jika kata cerai keluar dari suami Anda dalam keadaan dia marah tetapi sadar ketika mengucapkannya, jatuhlah hukum talak. Jika hal ini terulang tiga kali, Anda tidak lagi menjadi istri yang sah baginya. Untuk memastikan hukum ini, Anda dan suami bisa datang kepada ustadz yang bermanhaj salafi. Adukan permasalahan Anda tersebut dengan jujur supaya ustadz tersebut bisa memberikan hukum yang adil.
Jika terjadi talak tiga, Anda bukan istri yang sah baginya. Anda harus berpisah dengannya karena dia bukan suami yang sah bagi Anda secara syar’i.
Jika belum terjadi talak tiga, bekal Anda yang paling utama dalam menghadapi suami adalah kesabaran. Tunaikanlah kewajiban Anda sebagai istri dan mintalah kepada Allah hak Anda yang tidak dipenuhi oleh suami Anda.
Selanjutnya, silakan Anda membaca majalah Qonitah edisi 06 hlm. 99—101 dan edisi 07 hlm. 97—98.
Menolak Lamaran untuk Menuntut Ilmu
Bismillah. Afwan, tolong nasihati kami. Seorang akhwat telah berniat tafaqquh fiddin. Namun, di tengah-tengah langkahnya, beberapa ikhwan datang ingin meminangnya, hingga tibalah seorang ikhwan yang saleh dan berilmu. Dalam kondisi ini, bolehkah akhwat tersebut menolaknya dan tetap melangkah dengan niat awalnya, ataukah menjatuhkan pilihan kepada ikhwan tersebut? Dia memahami bahwa jalan untuk menuntut ilmu tidak akan berakhir karena pernikahan, meski kadarnya berbeda-beda tergantung pada kondisi setiap individu, karena selamanya seorang salafi adalah penuntut ilmu. Jazakumullahu khairan.
Jawab:
Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada Anda.
Jika ada seorang laki-laki saleh, yang baik adab dan akhlaknya, datang melamar Anda, hendaklah lamaran tersebut diterima. Sebab, laki-laki yang saleh, apalagi berilmu, niscaya akan mementingkan pendidikan keluarganya.
Untuk lebih lengkapnya, silakan baca Qonitah edisi 05 hlm. 98—102.
Menyampaikan Keinginan Menikah kepada Orang Tua
Bismillah. Saya seorang wanita yang sedang menuntut ilmu dan jauh dari orang tua. Saya sudah berniat menikah dalam waktu dekat ini, tetapi orang tua menginginkan agar saya bisa menyelesaikan kuliah, kerja, baru menikah. Bagaimana cara menyampaikan niat saya kepada orang tua agar mereka bisa memakluminya? Apa kriteria orang yang sudah mampu menikah? Syukran.
Jawab:
Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi Anda.
Seorang wanita yang ingin menempuh bahtera rumah tangga hendaklah membekali diri dengan ilmu, terkhusus ilmu tentang kerumahtanggaan, seperti hak suami terhadap istri dan hak istri terhadap suami. Alhamdulillah, sudah tersebar buku-buku yang mengupas masalah pernikahan, yang ditulis oleh para ulama yang bermanhaj salaf dan diterbitkan oleh salafiyyun. Silakan Anda baca buku-buku tersebut.
Adapun yang berkaitan dengan orang tua, saran kami sebagai berikut.
Wallahu a’lam bish shawab.