Qonitah
Qonitah

ruang konsultasi edisi 06

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Ruang Konsultasi Edisi 06

konsultasi-06Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah bin Halil

Mengunjungi Kerabat yang Masih Jauh dari Tuntunan Syariat

Pertanyaan:

Bismillah, assalamu’alaikum. Saya mau tanya. Bolehkah saya, sebagai istri, cemburu kepada suami ketika suami ikut berkumpul dengan kerabat wanitanya (saudari-saudari, bibi, bahkan ibunya sendiri), sementara mereka, meski berpakaian, masih suka mengumbar aurat, dan pakaian mereka pun pendek dan ketat? Semua ini membuat saya merasa berat hati jika diajak mengunjungi mereka. Sementara itu, suami hanya membiarkan mereka berpakaian seperti itu tanpa mendakwahi mereka. Saya sendiri hanya mendakwahi mereka lewat tulisan, misalnya dengan memberikan buku. Saya ingin mengunjungi mereka setelah mereka mau berubah. Benarkah tindakan saya? Mohon nasihat dari Ustadz. Jazakumullahu khairan.

Jawab:

Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang benar.

Istri harus memiliki sifat cemburu kepada suaminya, demikian juga sebaliknya. Akan tetapi, sifat cemburu ini tidak boleh berlebihan.

Adalah wajar jika suami bersilaturahmi dengan familinya—saudara perempuan atau bibinya—terkhusus dengan ibunya sendiri dalam rangka birrul walidain. Jangan sampai sifat cemburu yang berlebihan mengakibatkan suami memutuskan jalinan silaturahmi dengan kerabatnya sendiri, padahal silaturahmi ini diwajibkan oleh syariat.

Jika Anda melihat beberapa kejanggalan yang bertentangan dengan syariat ketika suami berjumpa dengan kerabat ataupun ibunya sendiri, nasihati suami dengan cara yang baik.

Kita tahu bahwa kebanyakan manusia—mungkin termasuk kerabat kita sendiri—masih jauh dari bimbingan syariat. Kerabat inilah yang lebih utama mendapatkan sentuhan-sentuhan iman (dakwah) daripada orang lain. Di sinilah pentingnya birrul walidain dan silaturahmi. Kita ingatkan mereka akan jalan yang benar dengan cara yang penuh hikmah, baik dengan ilmu maupun amalan, seperti menyebarkan salam, memberikan hadiah, dan lain-lain.

Jika Anda diajak suami mengunjungi kerabat wanitanya atau ibunya, taatilah dia dalam rangka membantunya dalam birrul walidain dan menjalin silaturahmi. Target minimal kunjungan tersebut adalah mereka memahami syariat Islam ini dan tidak menentangnya walaupun mereka belum mampu mengamalkannya.

Anak-anak—jika ada—sebaiknya tidak terlalu sering diajak mengunjungi mereka jika kondisi mereka seperti yang Anda sebutkan. Sebab, dikhawatirkan anak-anak akan mencontoh mereka. Lebih-lebih jika di sana ada kemungkaran lain yang akan merusak akidah, akhlak, dan adab anak-anak. Jika situasinya seperti ini, cukup suami yang mengunjungi mereka sebatas untuk birrul walidain dan menjalin silaturahmi. Suami pun tidak boleh larut dalam kemungkaran tersebut. Jika suami mengkhawatirkan agamanya ketika berkunjung, silaturahmi bisa dijalin melalui telepon.

Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin.

 

Lebih Utama Taat kepada Suami atau kepada Orang Tua?

Pertanyaan:

Bismillah, assalamu’alaikum. Maaf, saya mau bertanya tentang hukum-hukum dalam berumah tangga. Saya menghadapi masalah yang membingungkan. Mana yang lebih utama, taat kepada suami atau kepada ibu kandung? Bagaimana jika suami menuruti istri untuk membangkang kepada ibu kandung? Jazakumullahu khairan atas jawaban Ustadz.

Jawab:

Semoga Allah memberkahi Anda sekeluarga.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ

Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita. (anNisa’: 34)

Istri wajib menaati dan melayani suami sesuai dengan kemampuannya. Ketaatan kepada suami ini dalam hal yang ma’ruf, bukan dalam kemaksiatan kepada Allah k. Jika suami memerintahkan kemungkaran (kemaksiatan), istri tidak boleh menaatinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. (HR. Ahmad)

Ketaatan kepada suami lebih diutamakan daripada ketaatan kepada kedua orang tua. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَوْكُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Kalau aku boleh memerintah seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya kuperintah istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi)

Suami tidak boleh menuruti keinginan istri untuk membangkang kepada orang tua. Suami adalah pemimpin istri. Dia harus membimbing istri dan mengarahkannya ke jalan yang diridhai oleh Allah.

 

Menghadapi Kekurangan-Kekurangan Suami

Pertanyaan:

Bismillah. Sekian tahun sudah saya mengenal manhaj yang lurus ini, tetapi tidak seiring sejalan dengan suami. Beberapa tahun terakhir ini keadaan sudah mendingan. Pada awalnya, suami sangat keras menentang, bahkan pernah mengusir saya dari rumah kami karena perbedaan ini. Walhamdulillah, sekarang penentangan tersebut berkurang. Allah memberi saya kemudahan untuk tetap berpegang teguh pada al-haq. Qaddarallah, yang namanya manusia, kadang saya berbuat salah, dan kadang tidak mampu membendung emosi. Saya sekarang berstatus sebagai PNS—suatu hal yang tidak saya kehendaki, karena tempat kerja saya sangat kental dengan ikhtilath—, tetapi suami justru menempatkan saya di dalamnya dengan senang hati dan lapang dada. Apabila perselisihan terjadi, suami senantiasa mengingatkan, buat apa saya mengaji, buat apa sering ikut taklim dan mendengarkan kajian, kalau tetap melawan suami. Bahkan, suami kerap menghina manhaj ini dan mengatakan bahwa apa yang saya kaji tidak sesuai dengan perilaku saya. Ya Allah, padahal sungguh, saya masih sangat memerlukan bimbingan suami sebagai orang terdekat saya. Suami tidak mau belajar ataupun mengenal bagaimana sebenarnya manhaj ini. Suami hanya melihatnya pada diri saya. Apabila saya baik, bisa berkarier dengan bagus, itulah saya, istrinya. Namun, jika saya salah, keliru dalam bertindak, suami berkomentar, “Beginikah orang yang sudah mengaji? Mending orang yang biasa-biasa saja!” Kadang saya sedih, merasa seorang diri dalam keluarga saya, walau saya tahu bahwa Nabi Ibrahim pun memulai dan mengakhiri dakwah dalam kesendirian. Doakanlah saya, semoga Allah tetap mengukuhkan hati saya di atas kebenaran, dan memberi saya kekuatan dan kesabaran yang belum pernah Dia berikan sebelumnya. Mohon nasihat Ustadz tentang sikap saya dan apa yang harus saya lakukan.

Jawab:

Semoga Allah mengokohkan hati Anda di atas agama-Nya, memberikan kesabaran ketika Anda menghadapi musibah, dan menjadikan Anda sebagai orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya.

Anda wajib mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Anda, terutama nikmat Islam dan as-Sunnah (ajaran Nabi n). Sebagai bentuk syukur kepada Allah, Anda harus melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan.

Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Jika Anda berada dalam kenikmatan, jagalah kenikmatan tersebut karena kemaksiatan akan melenyapkan nikmat.”

Menjaga nikmat Allah adalah dengan mensyukurinya, yaitu dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Di samping menjadi sebab terjaga dan tetapnya nikmat Allah atas hamba-Nya, syukur juga menjadi sebab bertambahnya nikmat Allah atas hamba tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ

“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambah (nikmat-Ku) kepada kalian.” (Ibrahim: 7)

Hendaklah Anda sering berdoa kepada Allah l—baik ketika shalat maupun di luar shalat—untuk kebaikan diri Anda dan suami Anda. Bersabarlah menghadapi kekurangan suami dan tetaplah menasihatinya dengan cara yang penuh hikmah pada waktu dan kondisi yang tepat. Taati suami Anda dalam perkara yang ma’ruf. Jika dia memerintahkan kemungkaran, tolaklah dengan penuh kelembutan karena takut akan murka Allah. Sentuhlah hati suami dengan mengingatkannya akan kebesaran dan keagungan Allah. Tanamkan di hatinya kecintaan, rasa takut, harapan, dan tawakal hanya kepada Allah, Rabb semesta alam.

Di samping itu, cobalah Anda koreksi amalan Anda selama ini. Bagaimana hubungan Anda dengan Allah, Rabb semesta alam? Sejauh manakah Anda melakukan ketaatan kepada Allah? Pernahkah Anda melanggar syariat Allah? Bisa jadi, ada kekurangan pada diri Anda, maka bersegeralah kembali kepada Allah, kepada agama-Nya yang hak ini. Allah berfirman,

وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ

“Kejelekan apa saja yang menimpamu, maka disebabkan oleh (dosa yang) kamu (lakukan).” (an-Nisa’: 79)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠

“Musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan (dosa) yang kalian lakukan; dan Allah memaafkan kebanyakan dosa kalian.” (asy-Syura: 30)

Bisa jadi pula, Anda merasa belum mampu melakukan ketaatan kepada Allah atau belum mampu meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya. Ini bisikan setan yang diembuskan ke dalam dada kaum mukminin. Maka dari itu, minta tolonglah kepada Allah. Hanya Dialah yang mampu memberikan kekuatan kepada hamba-Nya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Lawanlah bisikan setan tersebut dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan penuh keikhlasan.

Jika Anda berada dalam kemaksiatan, segeralah meninggalkannya dengan ikhlas karena Allah, niscaya Allah akan memberikan pengganti yang lebih baik daripada apa yang Anda tinggalkan.

Hiasi diri Anda dengan ketakwaan, yaitu melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dalam rangka mengharapkan pahala di sisi-Nya; dan meninggalkan kemaksiatan berdasarkan cahaya dari Allah dalam rangka takut akan azab-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka.” (ath-Thalaq: 2—3)

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan urusannya mudah.” (ath-Thalaq: 4)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا وَيُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢٩

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian benar-benar bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian furqan (sesuatu yang bisa membedakan antara yang hak dan yang batil), menghapus kesalahan-kesalahan kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah adalah Dzat yang memiliki keutamaan yang besar.” (al-Anfal: 29)

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bertakwa. Amin.