Qonitah
Qonitah

ruang konsultasi edisi 04

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Ruang Konsultasi Edisi 04

konsultasi-04Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah bin Halil

MEMILIH TEMPAT BELAJAR (MA’HAD) UNTUK ANAK KITA

Alhamdulillah, pada zaman sekarang pondok pesantren telah menjamur. Namun, mana yang harus diprioritaskan oleh orang tua untuk anak, apakah (1) kualitas dan kuantitas pengajar, atau (2) kualitas para pelajar yang akan menjadi teman sang anak, atau (3) fasilitas lembaga pendidikan?

Jazakallah khairan.

Jawab:

Semoga Allah memberkahi Anda sekeluarga.

Prioritaskan ma’had yang asatidzah (para pengajar)nya berpegang teguh pada agama sesuai dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu dari kalangan sahabat g, tabi’in, dan atba’ut tabi’in—rahimahumullah (semoga Allah merahmati mereka)—walaupun fasilitas yang ada di ma’had tersebut sangat minim.

Jika ma’had itu ada di daerah Anda, masukkanlah anak Anda dalam pendidikan ma’had tersebut. Anak-anak yang masih kecil, yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua, tidak tinggal di asrama ma’had yang mengharuskan mereka berpisah dengan orang tua. Sebaiknya, mereka pada pagi hari belajar di ma’had dan sore hari pulang ke rumah orang tua.

Jika tidak ada ma’had di daerah Anda, hendaklah Anda atau istri Anda mengajari anak-anak yang masih kecil tersebut membaca dan menulis. Jangan lupa, bimbinglah adab dan akhlak mereka. Namun, jika Anda atau istri Anda tidak memiliki kemampuan mengajar, bekerja samalah dengan orang-orang yang baik agamanya (termasuk akhlak dan adabnya) untuk mengajari anak-anak Anda tersebut sekalipun ilmu mereka sedikit. Sebab, yang dibutuhkan anak pada usia ini adalah keteladanan dan perhatian orang tua, ustadz, dan musyrif (pembimbing).

Jika tidak ada ma’had di daerah Anda dan anak Anda memiliki kemauan untuk belajar agama, masukkanlah dia ke ma’had yang terdekat dengan daerah Anda yang mudah Anda kunjungi. Dengan demikian, anak tersebut tetap merasakan jalinan kasih sayang dari Anda, orang tuanya.

SARAN

Jika Anda sudah beristikharah dan menyerahkan pendidikan anak Anda ke sebuah ma’had yang menjunjung tinggi prinsip salafus saleh (generasi terdahulu yang saleh), bekerja samalah dengan ma’had tersebut dalam proses pendidikan anak Anda. Ingat, orang tua memiliki andil besar dalam keberhasilan ataupun kegagalan pendidikan anak-anaknya, tentu setelah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara bentuk kerja sama Anda dengan ma’had tersebut sebagai berikut.

  1. Perbanyak doa kepada Allah untuk kebaikan anak Anda dan para pendidik/pembimbing anak A Semoga Allah memberikan taufik kepada mereka semua.
  2. Hargai dan junjung tinggi kebijakan ma’had.
  3. Jika ada berita-berita negatif tentang ma’had, tatsabbut/klarifikasilah kepada asatidzah (para ustadz) yang diamanahi mengelola ma’had tersebut.
  4. Jika mendapati suatu ganjalan atau kekurangan di ma’had, Anda boleh membantu mengatasinya dengan menyampaikannya kepada asatidzah berikut saran/usulan untuk mengatasinya. Sampaikan dengan adab yang baik, kemudian serahkan kebijakannya kepada asatidzah pengelola ma’had. Anda harus berprasangka baik kepada mereka bahwa kebijakan yang akan diambil berdasarkan ilmu, bukan perasaan atau akal, apalagi hawa nafsu. Asatidzah yang menjunjung tinggi prinsip salaful ummah ini tentu akan menghormati saran Anda, selama tidak bertentangan dengan syariat yang agung ini.
  5. Jangan kecewa atau marah apabila saran Anda ditolak. Sebaliknya, jangan merasa ujub (bangga diri) ketika saran Anda
  6. Tanamkan dalam jiwa Anda bahwa kekurangan yang ada di ma’had adalah kekurangan Anda juga. Jangan menyebarkannya kepada orang-orang yang tidak bisa diharapkan untuk mengatasinya.
  7. Jika Anda ingin berbuat kebaikan untuk ma’had, sampaikanlah niat baik Anda dengan adab yang baik kepada asatidzah pengelola ma’had.
  8. Jaga kewibawaan asatidzah dan musyrifun (para pembimbing).
  9. Tanamkan kepada anak-anak untuk menghormati asatidzah dan musyrifun. Jangan sekali-kali menjatuhkan wibawa mereka di hadapan anak-anak.
  10. Jangan berlebihan menyayangi anak-anak. Hal ini bisa jadi justru mengakibatkan mereka kurang menghargai ustadz atau musyrifun.
  11. Seringlah berkomunikasi dengan asatidzah atau musyrifun untuk menanyakan perkembangan adab dan akhlak anak Anda. Mintalah bimbingan mereka untuk membangkitkan semangat belajar dan beramal pada diri anak A

Jika orang tua mau bekerja sama dan menghormati asatidzah serta musyrifun yang ada di tempat pendidikan anak-anaknya, hal ini akan banyak memberikan pengaruh positif terhadap pendidikan anak-anak tersebut. Adalah kurang bijak seseorang menitipkan anaknya di suatu ma’had, sementara itu dia kurang menghargai asatidzah dan musyrifun yang mendidik anak-anaknya, tidak mau bekerja sama dengan ma’had, tetapi justru menyebarluaskan aib dan kekurangan yang ada.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga kaum muslimin dan ma’had-ma’had ahlus sunnah wal jama’ah dari segala kejelekan. Semoga Dia k juga memberikan kesabaran kepada asatidzah dan musyrifun yang mengelola ma’had tersebut sehingga tetap istiqamah mendakwahkan al-haq dan tegar menghadapi berbagai ujian dalam dakwah yang agung ini. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

PAKAIAN ORANG TUA DI HADAPAN ANAK

Afwan Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang penting untuk dijawab.
1. Bagaimana batasan pakaian orang tua (suami istri) di hadapan anak-anaknya? Bolehkah orang tua memakai celana pendek di hadapan anak-anaknya?

  1. Bagi yang sudah mempunyai anak banyak, bagaimana batasan pakaian yang dipakai istri dalam rangka berhias di hadapan suaminya untuk menyenangkannya, sementara anak-anak melihatnya?
    3. Bolehkah suami istri menampakkan kemesraan di hadapan anak-anak?

Jazakumullahu khairan.

 Jawab:

Pakaian wanita di hadapan sesama wanita atau mahramnya—termasuk anak-anaknya, selain suaminya—harus menutup bagian antara telapak tangan sampai mata kaki. Pakaian tersebut harus longgar (tidak ketat), tebal (tidak tipis/transparan), dan panjang (tidak pendek).

Ada perbedaan aurat wanita dengan pakaian wanita.

Ketika ditanya tentang batasan aurat wanita terhadap sesama wanita, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab, “Aurat wanita terhadap wanita lain adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki lain, yaitu anggota tubuh antara pusar dan lutut.

Hal ini tidak berarti bahwa di hadapan wanita lain, seorang wanita boleh memakai pakaian pendek yang hanya menutupi anggota tubuh antara pusar dan lutut saja. Sebab, hal ini tidak pernah difatwakan oleh seorang ulama pun. Akan tetapi, maknanya, jika wanita memakai pakaian yang longgar, tebal, dan panjang, kemudian di hadapan wanita lain tampak betisnya, lehernya, atau anggota tubuh yang serupa dengannya, hal ini tidak termasuk dosa.

Syaikhul Islam rahimahullah menyebutkan bahwa pakaian wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi anggota tubuh antara telapak tangan sampai mata kaki.

Jika wanita diperbolehkan memakai pakaian pendek, niscaya akan terjadi berbagai pelanggaran dan memperburuk kondisi, sehingga para wanita memakai pakaian yang jauh dari pakaian islami dan justru menyerupai pakaian orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 12/267, soal no. 173)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan ditanya, “Saya memiliki empat orang anak. Saya memakai pakaian pendek di hadapan mereka. Apa hukumnya?”

Jawaban beliau hafizhahullahu ta’ala, “Wanita tidak memakai pakaian mini/pendek di hadapan anak-anaknya dan mahramnya yang lain. Ia tidak boleh membuka anggota tubuh selain yang biasa terbuka dan tidak mengundang godaan. Dia boleh memakai pakaian mini/pendek tersebut hanya di hadapan suaminya.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 587)

Hendaklah kaum wanita takut terhadap berita dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “Ada dua golongan dari penghuni neraka yang belum pernah kulihat sebelumnya….”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan salah satu kelompok tersebut,

نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ

“… sekelompok wanita yang berpakaian tetapi telanjang….”

Dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin v, maksud “wanita yang berpakaian tetapi telanjang” adalah wanita yang memakai pakaian mini/pendek sehingga tidak menutup aurat, atau pakaian yang tipis/transparan sehingga tidak menghalangi terlihatnya kulit di balik pakaian tersebut, atau pakaian ketat yang menampakkan bagian tubuh yang mengundang godaan. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 586)

Muslimah yang takut kepada Allah hendaknya tidak menjadi contoh yang buruk di hadapan wanita lain dan di hadapan mahramnya, lebih-lebih di hadapan anak-anaknya. Jika dia mengenakan pakaian yang tidak pantas mereka lihat, hal ini menunjukkan lemahnya rasa malu dalam hatinya.

Demikian juga dalam hal kemesraan, suami istri hendaknya tidak melakukannya di hadapan anak-anak karena akan mengundang kejelekan. Perlu diingat, hal-hal yang disaksikan oleh anak-anak akan sulit mereka lupakan. Mereka dengan mudah dan cepat meniru apa yang mereka saksikan. Kita, orang tua, tentu tidak rela jika anak-anak kita meniru sesuatu yang tidak pantas mereka lakukan dengan lawan jenis.

Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin, terkhusus muslimah, menanamkan rasa malu di dada mereka, dan mengampuni dosa serta kesalahan mereka.

Wallahu a’lam bish-shawab.

———————————————————————————————

Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Lc

Menunda Nikah untuk Menuntut Ilmu Agama

Pertanyaan:

Bismillah. Saya seorang thalibah (penuntut ilmu agama) berusia 21 tahun. Apakah boleh saya menunda pernikahan karena thalabul ilmi? Min fadhlikum, mohon arahan dan bimbingannya. Sebelumnya kami ucapkan jazakallahu khairan wa barakallahu fik.

Jawaban:

Menanggapi pertanyaan Saudari, boleh saja seseorang menunda pernikahan demi melanjutkan belajar, terutama ilmu agama, mengingat sedikitnya muslimah yang mumpuni dalam bidang ilmu agama. Hal ini dengan catatan asalkan lingkungan belajar mendukung untuk taat kepada Allah dan menghindari berbagai maksiat, terutama yang terkait dengan hubungan dengan lawan jenis. Adapun jika dikhawatirkan akan terjerumus dalam maksiat-maksiat karena menunda pernikahan, segeralah menikah agar terhindar darinya. Semoga Anda mendapat manfaat yang banyak dari ilmu agama yang dipelajari dan dapat bermanfaat pula bagi yang lain.

Bekerja di Pabrik Rambut/Alis Palsu

Pertanyaan:

Bismillah. Bagaimana hukum seorang wanita yang bekerja sebagai pembuat rambut/alis palsu di sebuah pabrik? Jazakumullahu khairan.

Jawaban

Tidak diperkenankan seseorang bekerja di pabrik pembuatan rambut palsu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang rambut palsu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ الله الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta rambutnya disambung.” (Muttafaqun alaihi)

Dengan bekerja di pabrik rambut/alis palsu, berarti dia telah bantu-membantu dalam hal maksiat tersebut.

Karena itu, kami sarankan kepada yang berkerja di tempat tersebut untuk keluar dan mencari pekerjaan lain yang halal dan barakah insya Allah.